|
SUARA MERDEKA, 28 Mei 2013
"Dengan UKT, perguruan tinggi harus
memutar otak mencari berbagai sumber di luar pos mahasiswa"
MULAI
tahun ajaran 2013, pemerintah mengenakan uang kuliah tunggal (UKT) bagi semua
mahasiswa baru perguruan tinggi negeri (PTN). Ditjen Dikti Kemendikbud
menggulirkan gagasan ini sejak awal 2012 tetapi karena belum semua PTN siap,
pelaksanaan diundur sampai tahun ajaran baru ini.
Selama
ini, biaya pendidikan pada PTN terdiri atas berbagai komponen, antara lain
sumbangan pengembangan pendidikan (SPP), praktikum, responsi dan kegiatan
perkuliahan lain (PRKP), sumbangan pengembangan institusi (SPI), dan biaya
operasional pendidikan (BOP).
Berbagai
komponen itu, ditambah biaya kuliah kerja nyata (KKN), praktik lab, wisuda,
asuransi dan sebagainya, kini dijadikan satu, untuk kemudian dibagi 8, dengan
asumsi mahasiswa S-1 menyelesaikan studi dalam waktu 8 semester. Biaya itu
disebut biaya kuliah tunggal per mahasiswa per semester atau di perguruan
tinggi di luar negeri disebut tuition fee. Mengapa pemerintah menetapkan
kebijakan itu, serta apa implikasinya bagi mahasiswa dan PTN?
Pada
tahun ajaran baru, selalu muncul isu tentang kemahalan biaya pendidikan
tinggi. Tahun 2003 muncul isu jalur khusus yang ditengarai jalur bagi
orang berduit yang menimbulkan diskriminasi dan mengingkari fitrah pendidikan
untuk semua. Kemudian, pungutan dari prodi ''gemuk'', yang banyak peminat,
sampai ratusan juta rupiah. Di perguruan tinggi ternama di Bandung ada istilah
mahasiswa angkatan 45, karena ia harus membayar Rp 45 juta untuk bisa
diterima.
Semua
itu tidak lepas dari status beberapa PTN yang menyandang gelar otonomi, yang
kemudian dimaknai sebagai kebebasan dalam menghimpun dana, dan sumber yang
paling gampang adalah dari calon mahasiswa. PTN berstatus badan hukum itu
membuka jalur penerimaaan mahasiswa secara mandiri dengan biaya mahal, jauh
sebelum pengumuman UN. Jumlah mahasiswa yang diterima melalui jalur mandiri
jauh lebih besar ketimbang penerimaan secara bersama secara nasional.
Titik
balik terjadi pada 2011 ketika Dirjen Dikti menetapkan 60% penerimaan mahasiswa
baru harus dilakukan secara bersamayang disebut Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Tahun 2013, istilah itu menunjuk pada
jalur penerimaan mahasiswa baru yang mendasarkan pada penjaringan prestasi
akademik (PPA). Dirjen Dikti juga menggariskan bahwa penerimaan mahasiswa baru
dilakukan setelah pengumuman UN SLTA. Selanjutnya Dikti mewajibkan PTN menerima
dan membantu 20% mahasiswa tidak mampu.
''Pembinaan''
oleh Ditjen Dikti berlanjut dengan penetapan uang kuliah tunggal. Unit cost
untuk per mahasiswa per prodi di PTN tersebut sesungguhnya tidak riil karena
komponen gaji pegawai, pemeliharaan, dan belanja modal masih disubsidi oleh
pemerintah. Dengan pemberlakuan UKT, tak boleh lagi ada pungutan tambahan,
semisal biaya KKN, KKL, jaket, buku pedoman, bahkan asuransi.
Suka
tidak suka, penerapan UKT mengimplikasikan dua hal. Pertama; bagi calon
mahasiswa dan orang tua/ wali, biaya yang dibayar per semester terlihat tinggi.
Komponen SPI dan sumbangan pengembangan mutu pendidikan (SPMP) yang biasanya
dibayar di depan atau dicicil dua kali, kini harus dibagi 8.
Selain
itu, dalam UKT terdapat biaya KKN yang biasanya dibayarkan pada semester VI,
biaya KKL, atribut almamater, laboratorium, asuransi, wisuda dan
sebagainya. UKT diterapkan untuk semua jalur, baik SNMPTN (jalur undangan),
SBMPTN (jalur tulis nasional) maupun jalur mandiri. Pada sistem lama, perbedaan
jalur masuk menunjukkan perbedaan biaya pendidikan yang dimaksudkan untuk subsidi
silang.
Putar Otak
Mahasiswa
mempersepsikan uang kuliah tunggal sebagai kebijakan menaikkan biaya pendidikan
seperti terungkap ketika mahasiswa Undip demo di kampus Tembalang pada Juni
2012. Mereka menuntut rektor untuk menolak pemberlakuan kebijakan itu.
Sebenarnya UKT adalah biaya pendidikan yang harus dibayar mahasiswa,
menggantikan biaya pendidikan yang selama ini terdiri atas berbagai komponen.
Menolak UKT berarti menolak membayar biaya pendidikan. Hal itu tidak mungkin
dilakukan kecuali bagi mereka yang benar-benar tidak mampu, yang bisa
dibebaskan dari biaya pendidikan, dan bahkan mendapat biaya hidup. Seharusnya,
yang diperjuangkan semua pihak, termasuk mahasiswa, adalah UKT yang terjangkau.
Implikasi
bagi perguruan tinggi, pola UKT akan mengganggu cashflow (aliran kas)
pada tahun I sampai III karena jumlah penerimaan per semester dari mahasiswa,
menurun. Biaya SPI dan SPMP yang biasanya dibayarkan mahasiswa sekali di muka
atau dicicil dua kali, harus diterima secara kumulatif pada semester ke-8
ketika mahasiswa akan lulus. Gangguan aliran kas ini berimplikasi pada
berkurangnya anggaran untuk kegiatan, termasukkegiatan kemahasiswaan.
Sisi
lain dari UKT adalah dimungkinkannya menerapkan subsidi silang, karena tarif
UKT ditetapkan dalam lima jenjang. Jenjang I dengan tarif Rp 0-Rp 500 ribu per
mahasisiswa/ semester. Jenjang II Rp 500 ribu-Rp 1 juta. Jumlah mahasiswa
dalam jenjang ini masing-masing 5%. Jenjang I dan II ini di luar mereka yang
memperoleh beasiswa Bidikmisi. Jenjang III, IV, dan V adalah mahasiswa dari
keluarga yang cukup mampu, mampu, dan sangat mampu.
Dengan
pola UKT, mau tidak mau, perguruan tinggi harus mengencangkan ikat pinggang dan
memutar otak mencari berbagai sumber di luar pos mahasiswa. Memang ada
subsidi dari Ditjen Dikti dalam bentuk Bantuan Operasional PTN (BOPTN) dengan
persentase 12,5% untuk tiap PTN. Subsidi itu bisa membantu meskipun belum
mencukupi untuk menutup cash flow
yang terganggu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar