|
SUARA MERDEKA, 27 Mei 2013
PERHELATAN pemilihan gubernur-wakil gubernur Jawa Tengah,
Minggu kemarin, berlangsung sepi, lancar dan aman. Berdasarkan real count KPU
Jawa Tengah dari 67,24% TPS yang masuk pada pukul 17.34.05, pasangan Ganjar
Pranowo dan Heru Sudjatmoko, yang diusung PDI Perjuangan, memperoleh 48,25%
suara sah.
Jumlah pemilih tetap tercatat 27.385.985, namun seberapa besar angka partisipasi rakyat yang menggunakan hak pilih dan yang tidak menggunakan hak pilih, alias golput, hingga kemarin petang, saat artikel ini ditulis, belum dapat diakses. Namun berdasarkan hasil pantauan di TPS-TPS, rata-rata hampir separuh dari pemilih yang terdaftar tidak menggunakan hak pilih. Perkiraan sementara, golput sekitar 48%, tentu ini jauh lebih tinggi dibandingkan golput pada Pilgub 2008 (41,55%).
Tingginya angka golput di Jawa Tengah memang terus meningkat tajam sejak Pemilu Legislatif 2004 (17,11%), Pilpres I (19,99%), dan Pilpres II (23,04%), kemudian meningkat lagi pada Pileg 2009 (27,41%) dan Pilpres 2009 (28,98%), ini menandakan antusiasme pemilih di Jawa Tengah dalam perhelatan pemilu/pilkada rendah, padahal Jawa Tengah selalu diidentikkan dengan lumbung suara beberapa partai politik.
Sikap Politik
Istilah golput dapat dijelaskan dalam era dan konteks yang berbeda. Pada era Orde Baru, golput ditujukan kepada suatu gerakan yang muncul dari kelompok yang dipelopori Arief Budiman dan kawan-kawan, yaitu sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu pada masa Orde Baru. Tidak memilih sebagai satu pilihan, karena mereka kecewa akibat pemilu tidak dilaksanakan secara demokratis. Fakta yang masih jelas dalam ingatan kita adalah semenjak Pemilu 1971 sampai Pemilu 1997, ada ketentuan bahwa PNS diwajibkan memilih Golkar.
Sementara istilah golput dalam konteks KPU dikaitkan dengan rendahnya partisipasi politik rakyat, yaitu rendahnya angka pemilih yang datang menggunakan hak suaranya. Sangatlah sulit untuk mengidentifikasi suara-suara golput yang berasal dari surat suara yang dinyatakan tidak sah karena angkanya sangat kecil dan rata-rata hampir di bawah 10%. Namun dalam perkembangannya, istilah golput saat ini lebih mengarah kepada sikap politik rakyat yang rasional dan secara ideologis sadar untuk tidak menggunakan hak pilihnya (memilih untuk tidak memilih) sebagai refleksi bahwa tidak ada sistem pemilu yang sempurna.
Tingginya angka golput karena memilih itu hak, bukan kewajiban, sehingga rakyat bebas untuk datang ke TPS. Jika ada yang tidak menggunakan hak pilihnya, tentu ada alasan tersendiri. Misalnya karena (1) alasan teknis: tidak terdaftar sebagai pemilih atau tidak tahu kalau ada pemilu/pilkada; (2) alasan nonteknis, misalnya sakit atau pergi karena ada keperluan lain yang sangat mendesak atau bersamaan dengan hari libur panjang; (3) alasan ekonomis, misalnya lebih baik cari uang daripada harus pulang hanya untuk menggunakan hak pilih; (4) alasan ideologis, misalnya datang ke TPS tetapi tidak masuk bilik; masuk ke bilik tetapi sengaja tidak mencoblos surat suara (surat suara tetap kosong), atau pemilih sengaja mencoblos surat suara yang tidak sesuai dengan ketentuan KPU, atau pemilih yang sengaja tidak datang karena tidak mempunyai pilihan yang tepat.
Penyebab tingginya golput Pilgub Jateng 2013, antara lain karena (1) pemilih sudah apatis dan jenuh menghadapi rutinitas pemilu/pilkada, karena siapa pun yang unggul dalam pilgub hasilnya tidak signifikan terhadap kesejahteraan dan kepentingan rakyat; (2) menurunnya kepercayaan pemilih kepada partai politik dalam menentukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sampai detik-detik terakhir pendaftaran di KPU Jawa Tengah, artinya partai politik telah mengalami krisis kader karena dari dua pasangan calon bukan berasal dari kader partai pengusung, bahkan munculnya tiga pasangan calon seperti dipaksakan untuk memecah suara pemilih agar tidak terjadi ’’pertarungan’’ sengit jika hanya ada dua pasangan calon dan sekaligus mengeliminasi munculnya konflik; (3) nama-nama calon yang diajukan oleh partai politik tidak sesuai dengan selera rakyat, sehingga rakyat semakin apatis terhadap figur calon yang ditawarkan; (4) minimnya sosialisasi, baik yang dilakukan oleh KPU Jawa Tengah, parpol, pemerintah, maupun elemen masyarakat lainnya; (5) secara emosional pasangan calon gubernur dan wakil gubernur kurang dekat dengan pemilih karena rentang jarak yang cukup jauh, sehingga visi misinya kurang membumi; (6) hari pencoblosan berselang satu hari dari Hari Raya Waisak 2013, menjadi hari libur panjang bagi keluarga.
Tingginya angka golput tidak akan berpengaruh bahkan tidak akan mengurangi legitimasi hasil pilgub asalkan penyelenggaraan pilgub sesuai dengan aturan yang berlaku. Legitimasi hasil pilgub ditentukan oleh jumlah perolehan suara sah bukan oleh tingginya angka golput. Ini menunjukkan demokrasi di Indonesia lebih ke arah prosedural dan hal ini juga sejalan dengan pandangan Robert A Dahl (2001) tentang standar berdemokrasi bahwa rakyat sudah diberi hak untuk berpartisipasi dan hak untuk menyatakan pendapat.
Kesimpulannya, biarkanlah golput hidup apa adanya, karena golput merupakan ’’anak yang sah’’ dari demokrasi yang hidup di Indonesia, dan sebaiknya ancaman golput dibaca sebagai suara rakyat yang menghendaki alternatif yang lebih baik bagi rakyat daripada yang ada sekarang ini (Setia Permana, 2007). Waktulah yang akan menentukannya, karena suara rakyat adalah suara Tuhan. ●
Jumlah pemilih tetap tercatat 27.385.985, namun seberapa besar angka partisipasi rakyat yang menggunakan hak pilih dan yang tidak menggunakan hak pilih, alias golput, hingga kemarin petang, saat artikel ini ditulis, belum dapat diakses. Namun berdasarkan hasil pantauan di TPS-TPS, rata-rata hampir separuh dari pemilih yang terdaftar tidak menggunakan hak pilih. Perkiraan sementara, golput sekitar 48%, tentu ini jauh lebih tinggi dibandingkan golput pada Pilgub 2008 (41,55%).
Tingginya angka golput di Jawa Tengah memang terus meningkat tajam sejak Pemilu Legislatif 2004 (17,11%), Pilpres I (19,99%), dan Pilpres II (23,04%), kemudian meningkat lagi pada Pileg 2009 (27,41%) dan Pilpres 2009 (28,98%), ini menandakan antusiasme pemilih di Jawa Tengah dalam perhelatan pemilu/pilkada rendah, padahal Jawa Tengah selalu diidentikkan dengan lumbung suara beberapa partai politik.
Sikap Politik
Istilah golput dapat dijelaskan dalam era dan konteks yang berbeda. Pada era Orde Baru, golput ditujukan kepada suatu gerakan yang muncul dari kelompok yang dipelopori Arief Budiman dan kawan-kawan, yaitu sikap dan tindakan politik untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu pada masa Orde Baru. Tidak memilih sebagai satu pilihan, karena mereka kecewa akibat pemilu tidak dilaksanakan secara demokratis. Fakta yang masih jelas dalam ingatan kita adalah semenjak Pemilu 1971 sampai Pemilu 1997, ada ketentuan bahwa PNS diwajibkan memilih Golkar.
Sementara istilah golput dalam konteks KPU dikaitkan dengan rendahnya partisipasi politik rakyat, yaitu rendahnya angka pemilih yang datang menggunakan hak suaranya. Sangatlah sulit untuk mengidentifikasi suara-suara golput yang berasal dari surat suara yang dinyatakan tidak sah karena angkanya sangat kecil dan rata-rata hampir di bawah 10%. Namun dalam perkembangannya, istilah golput saat ini lebih mengarah kepada sikap politik rakyat yang rasional dan secara ideologis sadar untuk tidak menggunakan hak pilihnya (memilih untuk tidak memilih) sebagai refleksi bahwa tidak ada sistem pemilu yang sempurna.
Tingginya angka golput karena memilih itu hak, bukan kewajiban, sehingga rakyat bebas untuk datang ke TPS. Jika ada yang tidak menggunakan hak pilihnya, tentu ada alasan tersendiri. Misalnya karena (1) alasan teknis: tidak terdaftar sebagai pemilih atau tidak tahu kalau ada pemilu/pilkada; (2) alasan nonteknis, misalnya sakit atau pergi karena ada keperluan lain yang sangat mendesak atau bersamaan dengan hari libur panjang; (3) alasan ekonomis, misalnya lebih baik cari uang daripada harus pulang hanya untuk menggunakan hak pilih; (4) alasan ideologis, misalnya datang ke TPS tetapi tidak masuk bilik; masuk ke bilik tetapi sengaja tidak mencoblos surat suara (surat suara tetap kosong), atau pemilih sengaja mencoblos surat suara yang tidak sesuai dengan ketentuan KPU, atau pemilih yang sengaja tidak datang karena tidak mempunyai pilihan yang tepat.
Penyebab tingginya golput Pilgub Jateng 2013, antara lain karena (1) pemilih sudah apatis dan jenuh menghadapi rutinitas pemilu/pilkada, karena siapa pun yang unggul dalam pilgub hasilnya tidak signifikan terhadap kesejahteraan dan kepentingan rakyat; (2) menurunnya kepercayaan pemilih kepada partai politik dalam menentukan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sampai detik-detik terakhir pendaftaran di KPU Jawa Tengah, artinya partai politik telah mengalami krisis kader karena dari dua pasangan calon bukan berasal dari kader partai pengusung, bahkan munculnya tiga pasangan calon seperti dipaksakan untuk memecah suara pemilih agar tidak terjadi ’’pertarungan’’ sengit jika hanya ada dua pasangan calon dan sekaligus mengeliminasi munculnya konflik; (3) nama-nama calon yang diajukan oleh partai politik tidak sesuai dengan selera rakyat, sehingga rakyat semakin apatis terhadap figur calon yang ditawarkan; (4) minimnya sosialisasi, baik yang dilakukan oleh KPU Jawa Tengah, parpol, pemerintah, maupun elemen masyarakat lainnya; (5) secara emosional pasangan calon gubernur dan wakil gubernur kurang dekat dengan pemilih karena rentang jarak yang cukup jauh, sehingga visi misinya kurang membumi; (6) hari pencoblosan berselang satu hari dari Hari Raya Waisak 2013, menjadi hari libur panjang bagi keluarga.
Tingginya angka golput tidak akan berpengaruh bahkan tidak akan mengurangi legitimasi hasil pilgub asalkan penyelenggaraan pilgub sesuai dengan aturan yang berlaku. Legitimasi hasil pilgub ditentukan oleh jumlah perolehan suara sah bukan oleh tingginya angka golput. Ini menunjukkan demokrasi di Indonesia lebih ke arah prosedural dan hal ini juga sejalan dengan pandangan Robert A Dahl (2001) tentang standar berdemokrasi bahwa rakyat sudah diberi hak untuk berpartisipasi dan hak untuk menyatakan pendapat.
Kesimpulannya, biarkanlah golput hidup apa adanya, karena golput merupakan ’’anak yang sah’’ dari demokrasi yang hidup di Indonesia, dan sebaiknya ancaman golput dibaca sebagai suara rakyat yang menghendaki alternatif yang lebih baik bagi rakyat daripada yang ada sekarang ini (Setia Permana, 2007). Waktulah yang akan menentukannya, karena suara rakyat adalah suara Tuhan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar