|
KOMPAS, 30 Mei 2013
Sejak
tahun 1967, pemerintah Orde Baru melihat investasi asing sebagai jalan keluar
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan
ini tampak dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967 yang
memberikan jalan bagi masuknya investasi asing di pertambangan (Pasal 8 UU No
11/1967). Tak lama berselang muncul UU No 11/1967 tentang Pertambangan, yang
makin memuluskan investasi asing.
Implikasinya
adalah dimulainya sistem kontrak dalam eksploitasi mineral. Sistem kontrak
mengakibatkan Indonesia dan perusahaan berkedudukan sejajar. Negara pun
kehilangan kekuasaan administratif mengatur perusahaan tambang yang beroperasi
di Indonesia.
Tidak
cermat
Pada
generasi awal, ketidakcermatan membuat kontrak menyebabkan pemerintah
memberikan begitu saja wilayah yang mencakup tiga provinsi di Sulawesi kepada
PT Inco. Begitu pula untuk PT Freeport Indonesia (FI) di Papua Barat. Selain
mendapatkan wilayah yang luas, salah satu klausul kontrak juga menyebutkan
bahwa FI berhak memindahkan penduduk di areal kontrak karya (KK) mereka. Suatu
kontrak yang jelas melanggar hak asasi penduduk Papua Barat.
Kalaupun
kemudian ada perbaikan KK, itu hanyalah pembatasan wilayah KK seluas 62.500
hektar dalam KK Generasi 6 dan perbaikan pendapatan Indonesia dari royalti
sebesar 4 persen sejak KK generasi 4.
Sampai
kini, model KK tak pernah diuji keandalannya dari sudut pandang ekonomi,
apalagi dari aspek sosial budaya, hak adat, dan lainnya. Padahal, tanah
penduduk di sekitar pertambangan banyak diambil perusahaan dan sumber-sumber
kehidupan mereka dihancurkan. Hal ini akibat tak adanya perlindungan dari
pemerintah. Sistem KK yang berlaku saat ini sangat merugikan negara dan
memberikan hak mutlak kepada perusahaan tambang asing untuk mengeruk kekayaan
alam kita.
Di
tengah kondisi kritis hutan Indonesia—dengan deforestasi lebih dari 3,5 juta
hektar per tahun—pemerintah pada zaman Presiden Megawati bahkan mengeluarkan
perpu yang bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Perpu
tersebut seolah-olah memberikan justifikasi terhadap beroperasinya 150
perusahaan pertambangan di kawasan hutan lindung.
Hasil
analisis dari sejumlah dokumen investasi pertambangan dan perjanjian
internasional, terdapat tiga instrumen legal yang memberikan hak terbatas
kepada operator pertambangan asing untuk mengajukan arbitrase kepada Pemerintah
Indonesia. Yakni, klausa arbitrase dalam KK mereka, UU Penanaman Modal, dan
pasal-pasal arbitrase yang terkandung dalam Bilateral
Investment Treaties (BITs) dan/atau Multilateral
Investment Treaties (MITs) yang dibuat Pemerintah Indonesia dengan negara
”asal” masing-masing operator pertambangan asing.
Meski
demikian, operator pertambangan asing tidak dapat menuntut berdasarkan
ketiga argumen di atas karena operator tambang asing tidak dapat menuntut
arbitrase berdasarkan klausa arbitrase di KK atas adanya aturan hukum di luar
kontrak karya yang bersangkutan. Arbitrase hanya dapat dilakukan jika terdapat
pelanggaran terhadap pasal-pasal dalam KK yang bersangkutan.
Selain
itu, setiap KK yang ditandatangani sejak 1974 memuat pernyataan yang persis
atau serupa dengan pernyataan di bawah ini yang ditujukan kepada operator
pertambangan: ”Operasi-operasi (yang
dilakukan operator pertambangan) harus sesuai dengan hukum dan peraturan
perundangan mengenai perlindungan lingkungan hidup.” Pasal ini diterima
oleh operator pertambangan asing di mana mereka diwajibkan secara terus-menerus
agar operasinya memenuhi semua hukum dan peraturan perundangan mengenai
lingkungan hidup.
Jaminan
kompensasi
Semua
BIT dan MIT di mana Indonesia menjadi pihaknya menjamin agar Pemerintah
Indonesia memberikan kompensasi kepada investor asing jika Pemerintah Indonesia
mengambil tindakan ”setara dengan”, ”berbobot sama dengan”, atau ”memberikan
dampak yang sama dengan” penghilangan hak.
Operator
tambang asing tidak akan berhasil mengklaim berdasarkan BIT atau MIT, yang
menjamin adanya kompensasi bagi penghilangan hak secara tidak langsung karena
pelarangan penambangan terbuka di hutan lindung tidak dapat dianggap sebagai
penghilangan secara tidak langsung hak investasi mereka.
Dalam
banyak kasus, hak-hak operator tambang asing untuk beroperasi akan selalu kena
aturan lingkungan dan sosial yang diberlakukan Pemerintah Indonesia demi
kepentingan publik, termasuk larangan penambangan terbuka di hutan lindung.
Operator tambang asing tak dapat mengklaim mereka terkena efek negatif ketika
pemerintah memberlakukan pelarangan pertambangan terbuka di hutan lindung.
Sebagaimana
dibahas di atas, setiap KK yang ditandatangani sejak pertengahan 1970-an memuat
pasal-pasal yang mengharuskan operator tambang asing mengoperasikan tambangnya
sesuai hukum dan peraturan lingkungan yang berlaku. Ini berarti, KK mewajibkan
operator tambang asing menambang dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum dan
peraturan di Indonesia. Karen itu, ketika DPR memberlakukan Pasal 38 Ayat (4)
UU Kehutanan, DPR tidak menghilangkan hak-hak yang telah diberikan kepada
operator tambang asing berdasarkan KK.
Wewenang
pemerintah
Dalam
Pasal 38 Ayat (4) UU Kehutanan, operator tambang asing juga tak dapat
mengajukan arbitrase dengan klaim bahwa Pemerintah Indonesia melanggar BIT
dan/atau MIT yang menjamin adanya perlakuan sama dan setara karena pelarangan
tersebut dalam lingkup wewenang Pemerintah Indonesia.
Dikeluarkannya
Perpu No 1/2004 yang akan ditindaklanjuti dengan keppres yang memberikan izin
kepada 13 perusahaan untuk menambang (secara terbuka) di hutan lindung justru
akan membuka peluang bagi tuntutan arbitrase terhadap pemerintah karena
pemerintah tidak memberikan perlakuan yang sama kepada perusahaan tambang lain
(total ada 158 perusahaan menuntut penambangan terbuka di hutan lindung). Akan
timbul pertanyaan mengapa hanya 13 saja yang diizinkan.
Dikeluarkannya
Perpu No 1/2004 adalah akibat ancaman operator pertambangan asing yang didukung
penuh pemerintah mereka. Sungguh sangat tidak patut: suatu bangsa berdaulat mau
begitu saja tunduk pada ancaman entitas asing yang mau ikut campur urusan
domestik suatu negara, apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak.
Pemerintah
Indonesia seharusnya tak membiarkan ketidakpatutan operator tambang asing
memengaruhi kebijakan domestik Pemerintah Indonesia melalui ancaman arbitrase,
apalagi mereka tak berhak mengajukan.
Mereka
tidak memiliki hak khusus yang membolehkan mereka begitu saja mengancam untuk
membangkrutkan Pemerintah Indonesia jika kepentingan mereka tidak diutamakan.
Fakta bahwa operator tambang asing tidak juga mengajukan gugatan walaupun sudah
hampir lima tahun larangan penambangan terbuka di hutan lindung diberlakukan
menunjukkan bahwa sebenarnya mereka sangat paham bahwa mereka tidak berpeluang
berhasil di arbitrase.
Indonesia
rugi
Kontrak
karya Indonesia dengan Freeport hanya memberikan keuntungan 2 persen. Dampak
sejak berlangsungnya kegiatan eksplorasi Freeport di Papua, antara lain telah
mengakibatkan kerusakan lingkungan dan marjinalisasi hak-hak rakyat Papua,
termasuk kesewenang-wenangan angkatan bersenjata yang disewa perusahaan raksasa
itu terhadap rakyat.
Menurut
pengamat pertambangan Kurtubi, kontrak karya menjadi batu sandungan utama
mengingat model tersebut menjadikan negara dalam posisi lebih lemah dibanding
korporat. Model ini di dunia perminyakan juga sudah tidak dipakai lagi sejak
1960-an. Model kontrak karya berkonsekuensi kekayaan alam hilang dan royalti
yang diperoleh negara hanya 2 persen. Karena itu, Kurtubi mengusulkan kontrak
karya dicabut.
Beberapa
kalangan berpendapat, ketidakberanian pemerintah menyetop model kontrak karya
akan membuat Indonesia semakin miskin. Belum lagi dampak sosial ekonomi,
termasuk munculnya berbagai penyakit di masyarakat di lingkungan pertambangan.
Kekayaan alam yang dieksplorasi pun sering kali tidak diketahui persisnya
karena kontrol yang lemah. Pemerintah sering percaya dengan apa yang dilaporkan
perusahaan.
Dalam
kaitan tersebut, sementara kalangan berpendapat bahwa diperlukan
keberanian para pemimpin negara untuk menghentikan model kontrak karya. Kontrak
karya bukanlah sesuatu yang suci dan tak dapat diubah lagi sehingga dalam
kaitan ini presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan bisa mengevaluasi
kembali semua kontrak karya di Indonesia. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar