|
SUARA KARYA, 28 Mei 2013
Prinsip toleransi yang paling
elementer adalah menghargai perbedaan atas dasar apa pun. Kualitas toleransi
menjadi makin meningkat ketika kita tidak hanya menghargai, tetapi juga rela
menghormati perbedaan dan memperjuangkannya agar perbedaan itu tidak dikoyak
oleh kehendak politik penyeragaman. Kebalikan sikap tersebut adalah
intoleransi. Dalam soal agama, batin intoleransi sebenarnya melekat pada setiap
orang beragama. Dengan cara ini, pemeluk agama memperoleh penebalan keyakinan
dari apa yang diyakininya.
Pada derajat tertentu, intoleransi
bahkan sering dipersamakan dengan diskriminasi. Persamaan ini karena bobot
intoleransi terhadap perbedaan itu sudah melampaui batas yang bisa diterima
nalar publik dan nalar hukum. Maka, selanjutnya seseorang akan mengekspresikan
kehendaknya secara melawan hukum.
Pasal 2 ayat (2) Deklarasi
Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama atau
Keyakinan 1981 mendefinisikan intoleransi (dan diskriminasi) sebagai setiap
pembedaan, pengabaian, larangan, atau pengutamaan (favoritism) yang didasarkan
pada agama atau keyakinan yang tujuan atau akibatnya meniadakan atau mengurangi
pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) dan
kebebasan-kebebasan fundamental atas suatu dasar yang sama, seperti tidak mau
menerima suatu kelompok atau mengungkapkan dan mengekspos kebencian terhadap
kelompok lain berdasarkan perbedaan agama atau keyakinan.
Indonesia mutakhir, setidaknya
dalam tujuh tahun terakhir menampilkan wajah toleransi yang buruk rupa.
Artinya, intoleransi telah menggejala dan menjadi fenomena baru yang tumbuh di
sekitar kita. Berbagai laporan tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan,
baik yang diproduk oleh lembaga riset Indonesia maupun oleh lembaga-lembaga
internasional, PBB, juga Pemerintah AS, semuanya menampilkan bahwa kebebasan
beragama dan berkeyakinan sebagai hak asasi manusia di Indonesia sedang
mengalami ancaman serius.
Berbagai peristiwa kekerasan atas
nama agama, pembatasan pendirian rumah ibadah, kriminalisasi keyakinan, dan
aneka bentuk pelanggaran lainnya, tidak bisa ditutupi dan disangkal. Meskipun
perbedaan penyikapan justru terjadi di fora internasional, terkait pemberian
penghargaan World Statesman Award untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), namun tetap saja penghargaan itu tidak bisa membalikkan fakta peristiwa
yang terjadi di dalam negeri. Apalagi, terhadap peristiwa kekerasan atas nama
agama dan diskriminasi lainnya, negara tidak cukup berbuat untuk mencegahnya,
bahkan justru menjadi bagian dari aktor kekerasan itu melalui berbagai produk
hukum diskriminatif (violence by judicial)
dan tindakan pembiaran.
Membaca dinamika baru ini, negara
sesungguhnya telah melakukan pelanggaran HAM, karena sebagai parties dalam perjanjian internasional
melalui ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pemerintah RI
berjanji untuk menjalankan kewajiban mempromosikan, menghormati, dan melindungi
HAM, salah satunya hak untuk bebas beragama dan berkeyakinan.
Cara penegakan HAM adalah dengan
mengembalikan tiga kewajiban generik negara tersebut dilaksanakan. Menegakkan
HAM di tengah arus intoleransi ini, negara cukup melakukan dua hal: tidak
menjadi bagian aktor yang melakukan kekerasan dan diskriminasi dan tidak
membiarkan aktor-aktor kekerasan tersebut tidak tersentuh oleh hukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar