|
KORAN TEMPO, 27 Mei 2013
Seandainya PT Pertamina sekarang sudah menjadi perusahaan
berkelas dunia (world class company),
polemik akhir-akhir ini mengenai mampu-tidaknya mengelola Blok Mahakam, pasti
tidak akan terjadi. Direksi Pertamina belum lama ini mencanangkan lagi bahwa
taraf kelas dunia akan tercapai pada 2025, di mana usianya nanti sudah mencapai
68 tahun, suatu usia sudah begitu lanjut. Itu pun mungkin tidak akan tercapai
juga, bila melihat perjalanan sejarah perusahaan ini sampai sekarang.
Negara penghasil migas lain, seperti Malaysia, Brasil,
Thailand, dan Norwegia, berhasil dalam waktu 20 tahun menjadikan perusahaan
migas nasionalnya berkelas dunia. Hal tersebut didasari atas kesadaran bahwa
energi dari migas sangat strategis dan perlunya memiliki BUMN migas berkelas
dunia untuk dapat menjamin kontinuitas pasokan dan mengamankan ketahanan
energinya. BUMN migas Petronas, Petrobras, PTT, serta StatOil telah menjadi
besar dan unggulan di dunia, meninggalkan Pertamina jauh di belakang. Mengapa
hal yang berbeda terjadi di negara kita?
Tinjauan historis
Pada 1957, dibentuk satu perusahaan migas milik negara
bernama Permina. Setelah melalui beberapa tahap konsolidasi dengan perusahaan
negara migas lainnya, kemudian menjadi Pertamina. Pada era Orde Baru terbit UU
Nomor 8 Tahun 1971 atau yang dikenal sebagai UU Pertamina. Di situ tampak jelas
bahwa negara ingin menjadikan Pertamina sebagai sebuah perusahaan yang maju dan
kuat dengan memberikannya kesempatan besar: menguasakan kepada Pertamina
seluruh wilayah kerja pertambangan migas di Indonesia dan berhak atas 40 persen
laba bersih dari hasil eksploitasi migas. Untuk itu, Pertamina boleh mengadakan
kontrak bagi hasil dengan perusahaan asing guna mengatasi kelemahan pendanaan,
teknologi, dan manajerial.
Sayangnya, kepercayaan yang besar tersebut tidak
dimanfaatkan dengan baik. Pertamina terlalu agresif dan kemudian juga masuk ke
bidang usaha yang bukan merupakan kompetensi intinya. Misalnya, properti/real
estate, industri baja, dan pupuk. Upaya tersebut kurang didukung oleh
perencanaan yang matang, kemampuan manajerial, serta tidak ditopang oleh pola pendanaan
yang prudent, sehingga pada 1975 timbul yang dikenal sebagai "krisis
Pertamina".
Hal itu dipicu oleh gagal-bayarnya sejumlah kewajiban
finansial yang jatuh tempo, di mana saat itu Pertamina mempunyai utang ke pihak
lain sekitar US$ 10 miliar. Kewajiban Pertamina kemudian diambil alih
pemerintah. Pertamina lalu "dihukum" oleh pemerintah, di mana
pendapatan dari kekayaan alam migas seluruhnya harus langsung disetorkan ke kas
negara.
Di sektor hilir, pemerintah menetapkan sistem cost &
fee kepada Pertamina. Artinya, Pertamina hanya menjadi penyedia jasa pengolahan
minyak dan pendistribusian BBM dengan hanya memperoleh penggantian biaya
operasi ditambah fee yang ditetapkan sangat rendah. Di sektor hulu, Pertamina
tidak diperkenankan mengambil risiko eksplorasi pencarian migas dan hanya boleh
mengelola produksi ladang minyak yang sudah ada dan menua.
Itulah sebabnya mengapa sampai saat ini produksi migas kita
mayoritas dikuasai asing dan produksi Pertamina hasil operasi sendiri sejak
krisis 1975 itu sampai 2001 terus menurun. Selama 25 tahun sektor operasi hulu
migas Pertamina tidak dapat tumbuh dan berkembang. Pertamina juga diwajibkan
membayar pajak 60 persen dari keuntungannya. Investasi yang akan dilakukan
Pertamina dibatasi sangat ketat. Praktis sejak 1975 Pertamina tak lagi
berfungsi sebagaimana layaknya sebuah korporasi, melainkan lebih sebagai
pelaksana tugas pemerintah dan sepertinya memang tidak boleh tumbuh menjadi
korporasi besar dan kuat.
Kondisi ini terus berlangsung sampai lahirnya UU Nomor 22
Tahun 2001 tentang Migas yang mengubah hak dan status Pertamina dan menjadi
PT-Persero. Tapi Pertamina masih harus terus menanggung beban finansial di
sektor hilir, seperti margin distribusi yang rendah dan harus pula menanggung
beban subsidi untuk LPG tabung 12 kg/50 kg. Bahkan Pertamina wajib setor
dividen sampai 45 persen dari laba bersihnya.
Pertamina juga harus menghadapi berbagai intervensi
operasional di samping tidak konsistennya sikap pemegang saham/pemerintah untuk
mendukung Pertamina. Hal tersebut terlihat jelas pada pelaksanaan program
transformasi dan reformasi perusahaan yang dimulai tahun 2006 yang pada awalnya
didukung penuh pemerintah dan secara internal telah mencapai banyak
keberhasilan signifikan, tapi kemudian mengalami berbagai kemunduran. Padahal
tujuan akhir dari proses transformasi tersebut adalah mengejar ketertinggalan
dari BUMN migas negara lain dan menjadi perusahaan berkelas dunia pada 2023.
Perjalanan sejarah Pertamina juga sangat dipengaruhi oleh
kepentingan negatif dari berbagai pihak untuk memperoleh rente ekonomi bagi
pribadi dan golongan. Ini membuat reputasi Pertamina di mata masyarakat sampai
saat ini lebih banyak negatifnya dan dikenal sebagai institusi yang sarat
dengan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
World class company
Lalu, bisakah dengan pengalaman sejarah seperti itu
Pertamina menjadi perusahaan berkelas dunia? Masih bisa, bila ada visi yang
jelas ditambah dengan kepemimpinan negara dan perusahaan yang benar-benar punya
komitmen kuat untuk itu.
Diperlukan langkah nyata. Pertama, Pertamina mendapat
prioritas pertama mengelola (sebagai operator) semua wilayah kerja migas di
dalam negeri dengan pembagian bagi hasil yang dapat meningkatkan kekuatan
finansial dan dapat diwajibkan oleh pemerintah untuk setiap wilayah kerja
bermitra dengan pihak lain untuk penguasaan teknologi dan manajerial, bila
dinilai belum sepenuhnya mampu.
Kedua, pemerintah harus menjamin agar Pertamina benar-benar
bisa berjalan sebagai korporasi bisnis dengan minim intervensi operasional. Di
mana salah satu alternatifnya adalah Pertamina menjadi non-listed public
company atau kelak menjadi public company, sebagaimana telah diusulkan awal
2008, agar korporasi menjadi lebih transparan pengelolaannya, demikian juga
pemegang sahamnya terbuka dan menghindari penugasan terselubung.
Ketiga, perlu kebijakan, bahwa tugas utama Pertamina adalah
mengamankan pasokan serta ketahanan energi migas, dan bukan untuk
mengoptimalkan pendapatan negara. Keempat, pemimpin dan manajemen Pertamina
harus terdiri atas para profesional berintegritas serta mampu menuntaskan
proses transformasi/reformasi internal yang saat ini stagnan, agar perusahaan
benar-benar memiliki pemahaman bisnis, pola, dan budaya kerja setaraf
perusahaan berkelas dunia sejenisnya.
Perlu diingat bahwa industri migas sangat padat modal,
teknologi, dan berisiko tinggi. Tanpa langkah yang nyata tersebut, sampai kapan
pun Pertamina tidak mungkin menjadi berkelas dunia, dan pencanangannya kembali
hanya menjadi retorika atau pencitraan belaka. Marilah belajar dari perjalanan
sejarah Pertamina yang penuh dengan berbagai kegagalan dan kelemahan. Suatu
BUMN migas yang berkelas dunia mutlak perlu kita miliki untuk mengamankan
pasokan dan ketahanan energi migas kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar