|
KOMPAS, 31 Mei 2013
Selama enam tahun terakhir, Setara Institute
dan organisasi lain melaporkan bahwa kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di
Indonesia memprihatinkan. Negara belum sepenuhnya mampu menjalankan mandat
konstitusi: merawat keberagaman dan menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan.
Ketidakmampuan menjamin kebebasan dasar ini
yang kemudian melahirkan diskriminasi dan kekerasan lanjutan, termasuk
perluasan spektrum pelanggaran hak konstitusional warga. Sebutlah seperti hak
atas rasa aman, hak atas kemerdekaan pikiran, hak atas pendidikan, hak atas
anak, dan hak untuk diperlakukan setara di hadapan hukum. Kondisi ini telah
mengundang keprihatinan internasional. Hal itu disampaikan Human Rights Watch
dalam laporan terbarunya (Februari 2013) ataupun para pemimpin dunia lewat
berbagai forum internasional.
Laporan Indonesia
Pada 23 Mei 2012, Pemerintah Indonesia melaporkan
perkembangan situasi HAM di Indonesia selama empat tahun terakhir (2008-2012)
pada Sidang Working Group Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB. UPR
adalah mekanisme pelaporan empat tahun sekali di Dewan HAM PBB oleh 192 negara
anggota PBB. Pada UPR kali ini, 74 negara berpartisipasi dalam diskusi, 27
anggota Dewan HAM PBB, dan 47 pengamat.
Salah satu isu penegakan HAM di Indonesia
yang menjadi sorotan dan perhatian dunia adalah kebebasan
beragama/berkeyakinan. Setidaknya 23 negara dalam sidang UPR telah memberikan
respons, tinjauan, dan rekomendasi atas pemajuan HAM, khususnya kebebasan
beragama/berkeyakinan di Indonesia. Sejumlah rekomendasi hingga kini tidak
dijalankan pemerintah, salah satunya soal revisi UU No 1/PNPS/1965 tentang
Penyalahgunaan/Penodaan Agama dan mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan.
Fakta lain yang jadi indikator kegagalan
negara dalam menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan adalah pembiaran
pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram, pengungsi Sampang-Madura, pembangkangan
hukum dalam kasus GKI Taman Yasmin, kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah yang
terus meluas, penyegelan dan atau pelarangan pendirian gereja-gereja HKBP di
Bekasi, dan impunitas pelaku kekerasan atas nama agama.
Laporan-laporan itu sejatinya bukan untuk
disangkal negara. Penyangkalan tanpa argumen akademis dan fakta lapangan yang
dilakukan otoritas negara hanya menunjukkan betapa pemerintah tidak peduli
dengan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan. Politik penyangkalan tidak akan
memberikan benefit politik apa pun, kecuali memupuk apatisme dan
ketidakpercayaan publik. Kondisi ini jelas akan merugikan prestasi pemerintah
pada sektor lain.
Ironi citra
Dengan menyimak berbagai data dan fakta
peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, bisa
dimengerti mengapa muncul polemik terhadap pemberian penghargaan kelas dunia
semacam World Statesman Award. Inilah ironi industri politik pencitraan. Citra
telah menjadi dewa yang dituju dan dipuja meskipun tidak diimbangi dengan
kinerja.
Tidak ada yang membantah bahwa deretan
penghargaan internasional adalah buah dari kepemimpinan Presiden SBY dalam
banyak bidang. Namun, dalam hal kebebasan beragama/berkeyakinan, masih banyak
yang harus dibenahi. Termasuk bagaimana mengefektifkan kepemimpinan politik
untuk menegur seorang wali kota yang telah mengabaikan keputusan Mahkamah
Agung. Juga belum tampak instruksi dan tindakan nyata dalam mengatasi kekerasan
dan diskriminasi agama/keyakinan.
Indonesia disegani karena kepatuhan tanpa reserve
dalam bidang liberalisasi ekonomi. Untuk soal pelanggaran HAM, klaim tersebut
menyesatkan. Selama sembilan tahun terakhir, impunitas atas pelaku kejahatan
kemanusiaan semakin menebal.
Kasus penculikan orang secara paksa, yang
telah direkomendasikan DPR untuk diperiksa di pengadilan HAM, tidak berlanjut.
Prestasi penegakan HAM tidak melulu diukur dengan peristiwa pelanggaran HAM
berat semata, tetapi juga seberapa kuat usaha memutus impunitas sehingga ada
efek jera dan pembelajaran akan kebenaran, keadilan, dan pemulihan korban dan
publik.
Sebagai pelopor perdamaian, Indonesia memang
pantas diapresiasi, tetapi tidak untuk mengejar Nobel Perdamaian. Demikian juga
posisi Indonesia, yang katanya, tindakan Indonesia dihitung dan suara Indonesia
didengar. Karena posisinya yang makin strategis, semestinya pemberian
penghargaan menjadi cambuk untuk menuntaskan fakta dan kondisi sebenarnya yang
justru bertolak belakang.
Sebetulnya, memang Indonesia akan lebih mulia
di mata dunia apabila menolak penghargaan itu. Namun, keputusan sudah diambil.
Kita berharap muncul kesadaran bahwa ada masalah serius dengan kebebasan
beragama dan bersungguh-sungguh akan menyelesaikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar