|
SINAR HARAPAN, 27 Mei 2013
Papua
bergabung ke Indonesia tanggal 1 Mei 1963, maka integrasi Papua sudah
berumur 50 tahun. Berkat berbagai kegiatan pembangunan yang dilaksanakan
pemerintah selama setengah abad di bumi cenderawasih, seharusnya nasionalisme
Indonesia sudah tertanam di hati orang Papua.
Tuntutan
Papua merdeka sudah terkubur. Bendera Bintang Kejora sudah tidak dikibarkan
lagi. Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjadi kenangan masa lalu. Generasi muda
Papua kelahiran tahun 1980-an tidak lagi menuntut Referendum.
Namun,
semua harapan di atas belum tercapai sepenuhnya. Sekalipun sudah berusia 50
tahun integrasi Papua ke Indonesia, jelas bagi kita bahwa konflik Papua belum
dituntaskan secara komprehensif dan permanen. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa indikator. Salah satu indikator terbaru adalah
peresmian kantor OPM pada 28 April 2013, di Oxford, Inggris, oleh wali kotanya.
Konflik
Papua tidak hanya mencakup masalah ekonomi dan pembangunan, tetapi juga
politik. Pembukaan kantor OPM di Oxford memperjelas dimensi politik
dari konflik Papua.
Adanya
stigma separatis bagi orang Papua dan stigma penjajah bagi Pemerintah Indonesia memperlihatkan
dimensi politik dari konflik Papua. Kedua stigma ini mengakibatkan
munculnya kecurigaan dan ketidakpercayaan baik antara pemerintah dan orang
Papua maupun antara orang Papua dan non-Papua.
Aksi-aksi
penembakan memperjelas dimensi vertikal dari konflik Papua yakni antara
Pemerintah Indonesia versus orang Papua, terutama yang menjadi anggota
OPM. Bulan Februari 2013, delapan anggota TNI ditembak mati oleh Tentara
Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dari OPM.
Pada
April 2013, seorang anggota Polri tewas ditusuk orang-orang tak dikenal di
kabupaten Yapen. Awal Mei, tiga orang Papua tewas dan lima lainnya
menderita luka karena ditembak di Sorong, Provinsi Papua Barat.
Pada
13 Mei, seorang Papua tewas tertembak di Wamena. Semua aksi penembakan ini,
siapa pun pelakunya, sudah menewaskan warga sipil serta anggota TNI dan Polri.
Tesis bahwa Tidak Ada Konflik di Papua tidak bisa dibenarkan karena ada
konflik yang belum dituntaskan penyelesaiannya.
Diharapkan
implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus untuk
Provinsi Papua dapat menyelesaikan konflik Papua. UU Otsus Papua sudah berumur
11 tahun, tetapi tingkat keberhasilannya tidak dapat diukur.
Sulit
mengukur perkembangannya karena grand design implementasi Otsus Papua tidak
pernah disusun. Selain itu, evaluasi komprehensif tentang pelaksanaan Otsus
dengan melibatkan semua pemangku kepentingan tidak pernah dilaksanakan.
Absennya visi bersama tentang masa depan Papua turut mempersulit evaluasi Otsus.
Ketika
hasil implementasi UU Otsus Papua masih dipertanyakan, rakyat Papua disodorkan
proposal baru, yakni Otonomi Khusus Plus (Otsus plus). Proposal ini menimbulkan
sejumlah pertanyaan.
Apa
isi dan bentuk Otsus Plus? Mekanisme seperti apa yang ditempuh
untuk menghasikan Otsus Plus? Berapa lama Otsus Plus akan diberlakukan?
Bagaimana nasib UU Otsus Papua yang masih berlaku? Masa depan Papua seperti apa
yang ingin dicapai melalui Otsus Plus ini? Tawaran Otsus Plus ini
hanya menunjuk konflik Papua yang belum diatasi.
Papua
Damai dan Sejahtera
Guna
menyelesaikan konflik Papua, hal pertama dan utama yang harus diperjelas
terlebih dahulu adalah visi tentang masa depan Papua.
Diskusi
tentang visi Papua tidak dimaksudkan untuk mempertanyakan keberadaan Papua
dalam Republik Indonesia. Integrasi Papua tidak dipermasalahkan dan tidak ada
pihak yang mempersoalkannya. Komunitas internasional pun mendukung Papua
sebagai bagian integral dari Indonesia.
Apa
yang sedang dinantikan banyak pihak, baik di dalam maupun di luar negeri,
adalah gambaran jelas tentang masa depan Papua dalam Negara Indonesia.
Pertanyaan yang perlu dijawab bukan “Apakah masa depan Papua berada di dalam
atau di luar Indonesia?” Tetapi, “Masa depan Papua seperti apa yang akan
dibangun dalam negara Indonesia?”
Visi
masa depan Papua perlu dirumuskan agar menjadi pegangan dan pedoman bersama
dalam membangun Papua secara berkelanjutan, dengan arah dan fokus yang jelas.
Menurut
penulis, Papua yang damai dan sejahtera dalam Indonesia yang demokratis dapat
dijadikan visi masa depan Papua. Visi ini sejalan dengan gagasan Papua Tanah
Damai yang dikampanyekan para pemimpin agama di Papua dan sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Visi
Papua yang damai dan sejahtera mengandung nilai-nilai universal seperti
keadilan, kebebasan, partisipasi, kemandirian, pengakuan dan penghargaan diri,
persekutuan, komunikasi dan informasi yang benar, rasa aman, serta
keharmonisan. Visi ini perlu diperjelas secara rinci dalam indikator-indikator
yang dapat diukur dalam bidang ekonomi, kesejahteraan, dan politik.
Pembangunan
dapat dilaksanakan untuk memenuhi semua indikator yang sudah ditetapkan,
sehingga visi Papua tercapai.
Visi
Papua yang damai dan sejahtera dalam Indonesia yang demokratis mesti menjadi
visi bersama dari semua kelompok aktor. Pendapat semua pemangku kepentingan,
termasuk kelompok OPM di dalam dan di luar negeri, harus diakomodasi.
Setiap
kelompok aktor perlu diberikan kesempatan berkumpul, berdiskusi, memberikan
sumbangan pemikirannya, dan merumuskan pandangan kolektifnya tentang masa depan
Papua dengan memperjelas indikator-indikator visi Papua.
Mekanisme
pembahasan visi Papua bersama indikator-indikatornya perlu dilaksanakan secara
bertahap dan bertingkat, sehingga jangkauannya semakin melebar dan meluas,
sekaligus mengerucut. Dengan demikian semua pemangku kepentingan merasa
memiliki dan bertanggung jawab terhadap visi Papua yang damai dan sejahtera
dalam negara Indonesia yang demokratis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar