|
KOMPAS, 31 Mei 2013
Ada
dua gejala menonjol dalam pasar surat utang global saat ini. Pertama, gelombang
penurunan peringkat surat utang, dari peringkat utang negara, obligasi
korporasi, sampai obligasi pemerintah daerah. Kedua, ekonomi dunia dengan
tingkat bunga sangat rendah sehingga hanya berpeluang naik!
Peringkat
utang negara-nega- ra zona euro berguguran sejak dua tahun lalu. Tidak terbatas
pada negara yang mengalami krisis keuangan nyata seperti Yunani, Portugal,
Italia, dan Spanyol, tetapi juga negara berkekuatan ekonomi seperti Jerman dan
Perancis. Baru-baru ini, Fitch juga memangkas peringkat utang Inggris dari AAA
ke AA+ dengan alasan ekonomi memburuk.
Peringkat
perekonomian Amerika Serikat (AS) ternyata juga rontok. Pada 5 Agustus 2011,
untuk pertama kali dalam sejarah, peringkat surat utang pemerintah Federal AS
diturunkan oleh Standard & Poor’s dari AAA menjadi AA+.
Domino
kejatuhan peringkat juga sampai ke Indonesia. Peringkat utang negara Indonesia
versi S&P turun pangkat dari positif ke stabil walau masih di peringkat
sama: BB. Dalam jangka pendek, ini menghapus peluang Indonesia naik pangkat
menjadi negara layak investasi yang telah diprediksi banyak pakar lebih dari
dua tahun.
Menyusul
S&P, Moody’s juga menurunkan outlook Indonesia dari stabil ke negatif walau
masih di jajaran layak investasi. Bergerak satu derajat lagi lebih rendah,
Moody’s akan kembali membenamkan Indonesia ke lingkaran peringkat spekulatif
yang telah dihuni Indonesia selama 14 tahun sejak krisis 1997.
Penurunan
outlook oleh S&P dan Moody’s memang tak menaikkan imbal hasil obligasi
Indonesia secara signifikan. Yang lebih perlu diantisipasi yakni perbaikan
kondisi makroekonomi, termasuk kebijakan lebih hati- hati sehingga penurunan
tak berlanjut ke tingkat lebih buruk.
Terpuruknya
kembali peringkat Indonesia ke area spekulatif akan membuat investor portofolio
menarik kembali dananya, dan laju penanaman modal langsung akan menurun tajam,
memaksa otoritas moneter menaikkan tingkat bunga dan imbal hasil obligasi ke
langit tinggi.
Tingkat
bunga
Tingkat
bunga global saat ini berada di palung terendah. Federal Fund Rate yang sekian
tahun bertengger di angka 0,25 persen praktis tak bisa diturunkan lagi. Itu
sebabnya, otoritas moneter AS harus menggunakan alat lain, seperti mencetak
uang baru untuk membeli kembali obligasi pemerintah (quantitative easing), guna
memacu pertumbuhan ekonomi yang lamban.
Awal
Mei, Bank Sentral Eropa juga menurunkan tingkat bunga acuannya 25 basis poin
menjadi 0,5 persen untuk membantu perekonomian zona euro yang terpuruk di
tengah penurunan inflasi di bawah target angka inflasi dan meningkatnya
pengangguran. Ini pemotongan tingkat bunga pertama sejak 10 bulan.
BI
Rate 5,75 persen adalah terendah sepanjang sejarah. Itu telah dipertahankan
dalam 15 kali pertemuan Dewan Gubernur BI. Saya menangkap semacam hasrat dari
otoritas moneter menurunkan lagi tingkat bunga acuan. Namun, dengan perkiraan
inflasi lebih tinggi dari 2012 dan di tengah pelemahan rupiah, penurunan BI
Rate lebih jauh akan kontraproduktif. Pembalikan tren tingkat bunga global,
apalagi dibarengi penurunan peringkat banyak negara, akan menghancurkan pasar
obligasi global. Semoga tak terjadi!
Pertumbuhan
ekonomi memang tak selalu ditandai dengan naiknya tingkat bunga walaupun
empiris membuktikan ekspansi ekonomi umumnya akan mengerek tingkat bunga ke
atas. Yang boleh jadi luput dari pertimbangan analis adalah penurunan peringkat
surat utang berkepanjangan akan menaikkan imbal hasil, yang pada gilirannya
akan ”memaksa” institusi keuangan menaikkan tingkat bunga.
Kecenderungan
itu yang perlu diwaspadai. Naiknya tingkat bunga bersamaan turunnya peringkat
surat utang akan mengakibatkan harga obligasi turun tajam. Penurunan tajam
harga obligasi akan memukul lebih banyak investor ritel ketimbang penurunan
harga saham. Di AS, misalnya, 75 persen obligasi pemda–dengan nilai pasar
sekitar 3,7 triliun dollar AS–dimiliki investor individual. Di Indonesia
obligasi selain ORI memang dimiliki mayoritas oleh institusi. Namun, jangan
lupa investor institusional dummy dari
pemilik sebenarnya, yaitu investor ritel.
Penurunan
nilai portofolio pada dana pensiun akan menurunkan kekayaan para calon
pensiunan. Penurunan portofolio asuransi menurunkan kekayaan pemegang unit
link. Demikian juga penurunan nilai portofolio reksa dana memangkas nilai aktiva
bersih pemegang unit.
Saya
bukan penganut ajaran Warren Buffett yang menyarankan Anda takut pada saat
orang lain tamak dan menyarankan Anda tamak pada saat publik takut. Namun,
sedia payung paling baik dilakukan sebelum hujan, apalagi di pasar keuangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar