|
KOMPAS, 27 Mei 2013
Dalam
filsafat Jawa Suryomentaraman, prinsip hidup mulur mungkret (luwes, lentur
seperti karet) memiliki nilai positif dan keistimewaan bahkan dianggap menjadi
salah satu ciri jati diri orang Jawa. Namun, dalam pergaulan masa kini, prinsip
hidup itu mendapat tambahan makna negatif sebagai sikap hidup yang tidak tegas,
plin-plan, dan lembek.
Mungkin
makna terakhir itu pula yang dapat kita sematkan pada Presiden SBY dan
kabinetnya, setidaknya dalam soal subsidi dan kenaikan harga BBM. Mulur
mungkret! Masyarakat pun menderita karena ketidakjelasan itu. Presiden yang
sebenarnya oleh UU memiliki kewenangan untuk itu, bahkan didorong oleh
parlemen, malah justru menampik wewenangnya dan justru balik melempar bola ke
DPR.
Sebagai
striker, bola yang sudah di depan gawang—berlagak tiki-taka—malah dikembalikan
ke pemain tengah. Lalu golnya kapan? Tak terciptanya gol-gol dalam proyeksi,
tujuan, serta misi negara dan bangsa saat ini—terutama untuk kesejahteraan dan
masa depan rakyat—oleh banyak kalangan dianggap akibat (kelemahan) SBY: peragu,
tidak tough, dengan karakter yang lembek seperti tape.
Karakter
kabinet seperti yang tergambar di atas akhirnya melahirkan pemimpin-pemimpin
yang berprofil seperti tape: bermula dari singkong yang keras lalu lunak dalam
peragian, dari UU yang tegas menjadi lunak dalam kebijakan, praksis, bahkan
dirinya sendiri. Mudah mengasihani diri sendiri dan menebar iba kepada publik
untuk profit simpati. Itulah yang diperlihatkan SBY saat dahulu ia memamerkan
ancaman teroris yang ”konon” mengarah padanya. Entah jika ia hidup seperti
Presiden Soekarno yang lebih dari 50 kali—atau Yasser Arafat yang lebih dari 100
kali—mendapat ancaman pembunuhan.
Situasi
serupa terjadi pada heboh ujian nasional. Mendikbud M Nuh, dalam sebuah laporan
media massa terkemuka, seperti mengadu dan memelas kepada bosnya, SBY: ”Sudah
seminggu ini saya tidur cuma tiga jam sehari.”
Sang
Presiden merespons keluhan anak buahnya itu dengan gaya khasnya, ”Adik baru
sekali ini, saya sudah delapan tahun.” Lho, mengapa ia dulu ngotot ikut rebutan
jadi presiden?
Saya
kira profil atau karakter pemimpin seperti ini jadi acuan mereka yang dipimpin.
Di mana-mana! Yang penting, menjadi pejabat publik itu sukses berkelit dari
kesalahan, tidak jeblok banget rapornya, prestasi sedikit dipromo
habis-habisan, pengorbanan diri dibesar-besarkan, pragmatisme murahan jadi
pedoman.
Itulah
yang menggejala belakangan ini, ketika masa jabatan tinggal tak banyak bulan
lagi. Sementara harapan ke depan masih kuat ia gantungkan. Retorika yang dahulu
adalah seni keindahan bahasa dan adekuasi argumen, kini tinggal busa dari
sebuah opera politik murahan.
Gagal
manfaatkan momentum
Saya
kira, potret mediokratik kabinet ”tape” kita di atas berkorelasi dengan pe-
nurunan peringkat yang dibuat Standard & Poor’s (S&P). Juga kritik dari
lembaga pemeringkat lainnya, Moody’s Investors Services (MIS), yang diributkan
kalangan pejabat dan elite ekonomi akhir-akhir ini. Betapa pun, sebenarnya kita
bisa tak peduli dengan peringkat-peringkat tendensius S&P dan MIS itu.
Kritik yang mereka bangun tetap bisa direnungkan secara positif. Terutama,
mengapa pemerintahan SBY dianggap gagal memanfaatkan momentum, antara lain
sikap mulur mungkret-nya dalam persoalan subsidi BBM.
Kecepatan
pembangunan, katakanlah, dalam laju pertumbuhan rata-rata 6 persen dalam lima
tahun belakangan gagal dimanfaatkan untuk terciptanya semacam lompatan atau
percepatan yang mampu mengakselerasi pembangunan ke tingkat tinggi seperti
Korea Selatan pada 1970-an, Malaysia dan China pada 1980-an, lalu India pada
era 1990-an. Mereka dianggap sukses memanfaatkan momentum itu untuk mencapai
posisi keekonomian yang dihargai dunia belakangan ini.
Posisi
itu dalam standar material global saat ini jadi dasar eksistensi sebuah bangsa
atau negara. Ia memberi pengaruh hampir di semua sektor dan dimensi kehidupan
lokal dan global. Menguatnya pengaruh China, India, Brasil, Korea Selatan, hingga
Afrika Selatan juga karena dihela oleh sukses itu. Dampaknya pun positif pada
diplomasi internasional, peran regional, hingga soal olahraga dan kebudayaan.
Bahkan
India seperti mendapat surplus tambahan saat AS tak mengajak komunitas
internasional untuk mengecam proyek pengembangan dan percobaan senjata
nuklirnya. Setidaknya jika dibandingkan dengan Iran, yang berkali-kali tertimpa
embargo. Termasuk peluang India, walau tipis, untuk menjadi salah satu anggota
tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana Jepang, Brasil, dan Afrika Selatan.
Indonesia,
tentu, jangan dulu berangan- angan memiliki senjata nuklir, apalagi jadi
anggota tetap Dewan Keamanan PBB, sebagaimana busa para diplomatnya. Bukan
hanya karena penolakan eksternal pasti datang membanjir, hambatan internal pun
masih terlalu sesak untuk bisa diatasi.
Indonesia
dalam realitas komparatif di atas tercipta, antara lain, akibat dari ”kabinet
tape” yang lembek dan
asem-manis tadi. Kabinet yang males-males-an menjalankan
misi dan program-program kebijakannya. Sebab, memang tak ada sanksi yang keras
dikenakan pada kegagalan, bahkan penyimpangan.
Dari
puncak kuasa hingga dataran bangsa, kita kian tidak menyadari betapa kita
sesungguhnya telah sedikit demi sedikit meninggalkan, bahkan mengkhianati, cita-cita
dan dasar di mana republik ini didirikan. Apa yang dahulu lebih sekarang
kurang, yang dahulu unggul sekarang terbelakang, yang dahulu dipelajari orang
kini kita yang belajar dari orang, dulu dikagumi kini kita berduyun-duyun
mengagumi, dan apa yang dahulu kita banggakan kini kita sesalkan. Dari pantai,
garam, singkong, bulu tangkis, hingga sepak bola.
Krisis
mendasar
Kini
bukan hanya ketertinggalan, sebenarnya kita sudah mencapai tahap yang kritis
dari perkembangan. Bukan hanya karena hukum yang terkebiri, politik yang
terkotori, atau bisnis yang padat korupsi, tapi juga pada soal pendidikan,
lingkungan, dan energi yang sudah lampu merah tanpa kita sadari. Laporan khusus
Kompas tentang energi pada 3 Mei 2013, antara lain, menggambarkan situasi itu.
Ada
semacam pembiaran, menurut laporan itu, bahkan justru penciptaan regulasi yang
secara licin melegalkan permainan licik dari para pemain atau oligarki
politik-bisnis lama (mereka yang sudah bermain sejak awal Orde Baru) untuk
mengisap energi dan mineral dalam darah bangsa ini. Permainan yang membuat
kondisi bisnis energi kita—dengan porsinya yang signifikan dalam ekspor, hampir
50 persen—kini semakin tertekan, dan memberi kita contoh terbaik bagaimana
tidak adanya kedaulatan pada diri kita sendiri.
Semua
persoalan di atas tentu saja tidak dapat diselesaikan oleh kabinet lembek dan
medioker di atas. Pelajaran dari berbagai negara memperlihatkan, bahkan Eropa
yang begitu tangguh model dan sistem politik maupun pemerintahannya mengalami
banyak guncangan. Bonus demografis, geografis, hingga kebudayaan yang kita
miliki tidak mungkin dapat dimaksimalkan oleh para pejuang yang cuma cari
senang, bukan cari menang.
Karena
itu, cukuplah sudah pemerintahan yang hanya ”manis di bibir ini”, yang sibuk
menggali puja-puji luar negeri, tapi lupa membaca diri. Kita membutuhkan
pemimpin yang kuat, bervisi, dan berani ambil risiko. Mumpung masih ada waktu
menjelang Pemilu 2014, seluruh bangsa harus siap dengan munculnya calon
pemimpin baru, yang bersih, jujur, terbuka, dan tidak mengasihani diri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar