|
KOMPAS, 28 Mei 2013
Hukum
sebagai ekspresi kesepakatan politik antara berbagai kelompok masyarakat dan
pemerintah mengemban fungsi legitimasi dan fasilitasi bagi tindakan pemerintah
di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan, dan ketertiban dalam
suatu masyarakat bernegara hukum.
Ini
acap disebut fungsi konservatif hukum. Pada sisi lain, hukum mengemban pula
fungsi legitimasi, fasilitasi, promosi, dan proteksi gerakan emansipasi sosial.
Itu berarti tugas hukum memfasilitasi dan melindungi setiap upaya memajukan
kelompok sosial yang masih tertinggal seperti buruh, petani gurem, kaum
perempuan, pedagang kecil, masyarakat adat, dan kelompok sosial tertinggal
lain. Inilah fungsi progresif hukum.
Menurut
Wim F Wertheim, emansipasi bukanlah sebuah ideologi, lebih tegas lagi: bukan
ideologi kelas, melainkan suatu gejala sejarah dan sosiologis yang sangat
penting, barangkali bahkan mendasar, yakni ia pertama-tama adalah aksi
berdasarkan dan senantiasa terjadi dalam perjuangan. Emansipasi berawal dari
apa yang diperjuangkan rakyat sebagai pembebasan. Itulah kekuatan penggerak
yang sesungguhnya ada secara sangat dominan di dalam pikiran mereka yang
terlibat dan tidak mensyaratkan keberadaan cara produksi material tertentu.
Akar-akar utama emansipasi ada di tataran kaidah dan nilai. Sejarah berbagai
bangsa menunjukkan adanya tiga tahap emansipasi: pertama, berjuang untuk
persamaan; kedua, berjuang untuk pernyataan diri; ketiga, berjuang untuk
masyarakat baru yang berdasarkan pada solidaritas di antara berbagai golongan
yang tadinya berkedudukan rendah (Wim F
Wertheim, 1996:116).
Emansipasi
sosial sebagai aspirasi mewujudkan masyarakat bangsa yang merdeka, adil, maju,
dan bersatu tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: ”Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Bangsa Indonesia itu
dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia,...” dan seterusnya
(alinea IV Pembukaan UUD 1945).
Bahkan,
sesungguhnya sebagian besar kandungan norma hukum UUD 1945 merupakan ekspresi
hukum yang bercorak emansipatoris yang mendasari pembangunan masyarakat baru:
masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu berdasarkan persamaan, keadilan, dan
kebebasan dalam wadah negara hukum Indonesia yang demokratis. Tidak ada lagi
kemiskinan parah, kekerasan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, dan berbagai
bentuk kemiskinan, keterbelakangan lain, dan menyempitnya jurang kaya-miskin.
Untuk
mencapai cita-cita luhur itu, UUD 1945 menempatkan negara sebagai motor
penggerak emansipasi sosial. Ini gejala umum yang kita jumpai di banyak negara
dunia ketiga. Negara sejak awal dirancang sebagai kendaraan untuk memfasilitasi
dan memproteksi berbagai usaha untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat
bangsa yang dibelenggu kemiskinan dan keterbelakangan menuju ke tingkat yang
setara atau mendekati kesejahteraan bangsa-bangsa yang maju.
Dalam
rangka pembangunan hukum emansipatoris, sejak awal kemerdekaan hingga kini
banyak produk hukum, baik UU, peraturan pemerintah, peraturan menteri, perda,
maupun putusan pengadilan di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
lingkungan yang telah membuka akses kelompok masyarakat tertinggal atau
masyarakat miskin lain pada pusat pelayanan kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
jaminan sosial, dan sebagainya.
Era
Reformasi melahirkan sejumlah produk hukum seperti Amandemen UUD 1945, UU HAM,
UU Politik, UU Pelayanan Fakir Miskin, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan
putusan MK yang bercorak emansipatoris. Akses masyarakat pada pusat pengambilan
keputusan politik dan alokasi sumber daya diperkuat. Pengaruh hukum
internasional HAM, demokrasi, dan ekonomi pasar terasa kuat dalam gelombang
reformasi hukum nasional yang berlangsung sejak tahun 1998. Jika reformasi hukum
nasional Orde Baru lebih mengedepankan tujuan hukum sebagai instrumen
stabilitas kekuasaan politik dan pertumbuhan ekonomi, reformasi hukum nasional
tahun 1998 mengedepankan tujuan memperkuat ekonomi pasar, demokrasi, dan
perlindungan HAM.
Belum
seperti diharapkan
Tak
dimungkiri, reformasi hukum ekonomi mengakhiri berbagai praktik monopoli di
bidang industri, perdagangan, investasi, dan jasa yang berarti membuka jalan
emansipasi bagi pengusaha UKM. Demikian pula reformasi hukum tata negara dan
administrasi telah membuka emansipasi politik bagi masyarakat luas dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan urusan publik lain. Namun, reformasi hukum
ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana tercermin dalam UU HAM, UU Sistem
Jaminan Sosial, UU Fakir Miskin, dan sebagainya tak berjalan sebagaimana
diharapkan. Miskin dan proses kemiskinan terus berjalan, dan bila menggunakan
standar Bank Dunia, jumlahnya kian besar, jurang pendapatan kaya-miskin kian
melebar, dan korupsi di sektor publik kian sistemik. Ini berarti reformasi
hukum ekonomi, sosial, dan budaya belum mampu membuka jalan bagi emansipasi
masyarakat, terutama lapis bawah.
Kegagalan
hukum mengemansipasi masyarakat lapis bawah disebabkan: 1) negara gagal
memenuhi komitmen menjalankan amanah UUD 1945 dan berbagai UU ekonomi, sosial,
dan budaya; 2) negara menjadi obyek rebutan perburuan ekonomi rente
partai-partai politik berkuasa, aparatur negara, dan sejumlah korporasi; 3)
lapisan masyarakat bawah yang menjadi sasaran hukum emansipatoris tak berdaya
mengaktualisasikan hak dan kepentingannya; 4) sistem hukum gagal menggapai
tujuan ideal yang dicerminkan dari adanya ketidakharmonisan antara aturan hukum
dan pelaksanaannya.
Berangkat dari realitas itu, agar hukum dapat menjalankan
fungsi emansipatorisnya, negara wajib mengambil langkah nyata: 1) menjalankan
secara taat asas berbagai produk UU yang dimaksudkan untuk mengemansipasi
posisi ekonomi dan sosial masyarakat lapis bawah; 2) segera mengakhiri
perebutan sumber daya negara bagi ekonomi rente oleh parpol penguasa, aparatur
negara, dan korporasi; 3) memprogram secara nyata agar sistem hukum mendekati
tujuan idealnya, yaitu keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar