|
SINAR HARAPAN, 29 Mei 2013
Jika
kepala negara kita mendapatkan penghargaan dari lembaga internasional karena
dinilai mampu menciptakan suasana kebebasan beragama, toleransi, dan hak-hak
asasi manusia yang amat mendasar, tentu saja, kita semua ikut berbangga dengan
prestasi tersebut.
Hal
itu berarti dunia internasional telah mengakui bahwa demokrasi yang kita
jalankan selama ini tidak sekadar bersifat prosedural, melainkan juga telah
meluas pada nilai-nilai substansial untuk menghormati watak dasar kemanusiaan.
Selain itu, negara kita tidak hanya dikenal berhasil dalam
pembangunan pada sektor perekonomian. Indikatornya dapat dilihat pada
pertumbuhan ekonomi yang selalu menunjukkan angka positif. Kebutuhan material
masyarakat pun semakin tercukupi.
Pemimpin negara kita ternyata mampu menciptakan situasi
keagamaan yang begitu baik pada satu sisi, serta mendorong pencapaian
material-ekonomis pada sisi lain. Masyarakat tidak hanya merasa nyaman secara
jasmani, namun mereka juga merasakan ketenteraman secara rohani.
Namun, apabila terdapat kelompok masyarakat—misalnya saja para
aktivis lembaga swadaya masyarakat dan pemuka agama dari kelompok
minoritas—yang mengekspresikan keberatan terhadap penghargaan itu harus pula
disikapi dengan cara yang lebih dewasa.
Mereka menyatakan protes untuk mengingatkan lembaga yang
memberikan penghargaan itu bahwa di Indonesia masih banyak peristiwa kekerasan
atas nama agama. Pihak yang menjadi korban adalah kelompok minoritas.
Realitas yang lebih tragis adalah kelompok minoritas yang
menjadi korban kekerasan itu pun masih memperoleh hukuman dari negara.
Sebaliknya, para pelaku kekerasan justru dibiarkan melenggang atau sekadar
dihukum sangat ringan.
Negara menjalankan pembiaran kekerasan yang menimpa
kelompok minoritas itu berulang kali. Seandainya kepala negara memberikan
pernyataan terhadap kekerasan yang telah menimpa kelompok minoritas itu, maka
terkesan hanya formalitas atau basa-basi saja.
Dalam konteks demikianlah surat Franz Magnis-Suseno kepada
pihak Appeal of Conscience Foundation
(ACF) bisa dimaknai. Demikian pula berbagai lontaran para aktivis hak asasi
manusia yang menentang keras pemberian anugerah itu juga harus disikapi bukan
dengan menunjukkan rasa ketidaknyamanan, melainkan langkah introspeksi diri.
Sebagaimana diketahui bahwa ACF akan menganugerahkan World Statesman Award kepada Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang dipandang telah berhasil menggulirkan iklim
kebebasan beragama, bertoleransi, dan perdamaian. ACF menempatkan Presiden
Yudhoyono bukan sekadar sebagai presiden, melainkan sosok negarawan. Status
negarawan pasti lebih signifikan secara etis daripada presiden.
Perspektif Pihak Atas
Negarawan (statesman),
sebagaimana ditulis The Merriam-Webster
Dictionary (2004), berarti seseorang yang terlibat dalam menetapkan
kebijakan-kebijakan dan mengatur persoalan-persoalan suatu pemerintahan.
Dari definisi yang sangat ringkas itu dapat
diinterpretasikan secara lebih luas bahwa aneka kebijakan yang dilahirkan sang
negarawan dapat menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat yang dipimpinnya. Hal
yang lebih penting adalah kebijakan yang telah ditetapkannya itu benar-benar
direalisasikan pada seluruh level.
Misalnya, memberikan perlindungan kepada semua warga tanpa
terkecuali tidak hanya ditulis di atas kertas, melainkan sudah dipastikan dapat
direalisasikan pada tingkatan masyarakat yang paling bawah dan lemah.
Apabila perspektif (sudut pandang) pihak atas—artinya,
orang yang berada dalam pucuk pemimpin kekuasaan—yang digunakan untuk menilai
kenegarawanan, maka sang pemimpin dianggap bisa menjangkau keberhasilan yang
luar biasa.
Itulah cara penilaian yang digunakan oleh Dino Patti Djalal
(“World Statesman Award untuk SBY”,
Kompas edisi 21 Mei 2013) yang menyatakan pelanggaran hak asasi manusia yang
dulu dijalankan negara saat ini telah diganti oleh pelanggaran hak asasi
manusia individu yang bersifat insidental. Penilaian itu wajar karena diberikan
oleh seorang pejabat negara yang berstatus sebagai duta besar yang dipilih
presiden.
Sudut pandang pihak atas itu pula yang juga melahirkan
kata-kata pedas dari pihak lingkaran presiden ketika menanggapi figur yang
melontarkan kritik dan protes keras. Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha
menyatakan tokoh yang memprotes memakai penilaian yang sempit didasari oleh
penafsiran filsafat politik minus etika (Kompas.com, 17 Mei 2013| 02.03 WIB).
Tidak ketinggalan pula Sekretaris Kabinet Dipo Alam
memberikan penegasan bahwa mata Magnis-Suseno dangkal karena hanya memberikan
penilaian dari melihat berita-berita televisi yang berisi bakar-bakaran
(Kompas.com, 21 Mei 2013| 15.31 WIB).
Penilaian terhadap pemimpin tidak hanya cukup menggunakan
perspektif atas. Niscaya, melalui evaluasi semacam itu, pemimpin telah dianggap
berhasil dan pantas menyandang status negarawan. Perspektif atas terhadap
kinerja pemimpin biasanya menggunakan sisi-sisi terang etika utilitarianisme
yang mendoktrinkan the greatest happiness
of the greatest numbers (kebahagiaan terbesar bagi jumlah yang terbanyak).
Etika ini memang menjanjikan kebaikan bagi demokrasi karena
berpihak pada suara orang paling banyak. Tetapi, hal yang diabaikan etika ini
adalah kelompok-kelompok kecil yang justru mendapatkan kesengsaraan dari
kebahagiaan orang banyak. Itulah sisi gelaputilitarianisme yang membenarkan
perampasan hak terhadap minoritas.
Memusuhi Pihak Lain
Aturan tentang pendirian tempat ibadah dan hukum positif
mengenai penodaan terhadap agama, misalnya, jelas berprinsip pada
utilitarianisme. Di situlah bisa dilihat tentang persoalan mayoritas dan
minoritas yang tidak hanya diukur dengan memakai kalkulasi statistik antara
pihak yang berjumlah banyak versus pihak yang berjumlah sedikit.
Siapa pun—entah secara kuantitatif melimpah atau cuma
beberapa gelintir—terkena prasangka dan diskriminasi, maka mereka adalah
minoritas. Prasangka pada lingkup ini adalah pemikiran dan sikap yang memusuhi
kehadiran pihak lain tersebut. Sementara diskriminasi merupakan tindakan nyata
yang diarahkan kepada mereka.
Prasangka dan diskriminasi itu bisa dilacak dalam pola-pola
interaksi antara mayoritas dengan minoritas. Ada empat pola, sebagaimana
dikemukakan oleh John J Macionis (Sociology,
2012), yang terjadi, yakni: pertama, pluralisme yang berarti ada kesetaraan
antara berbagai pihak yang berlainan keyakinan.
Kedua, asimilasi yang artinya minoritas mengadopsi kultur
dominan mayoritas. Ketiga, segregasi yang bisa dilacak dari praktik-praktik
pemisahan secara fisik dan sosial terhadap minoritas yang dijalankan mayoritas.
Keempat, genosida yang terlihat dari munculnya praktik-praktik penghancuran dan
pembunuhan secara sistematis terhadap minoritas.
Mayoritas dan minoritas bukanlah peristiwa alami, melainkan
kenyataan sosial yang dapat diatasi. Dalam situasi minoritas masih mendapatkan
diskriminasi (seperti asimilasi dengan paksaan, praktik segregasi serta
genosida bahkan terus terjadi) dan pemimpin justru mengeluarkan kebijakan yang
makin membenarkan penyingkiran terhadap kelompok kecil itu, maka dia hanya
pantas menyandang status presiden.
Seorang negarawan seharusnya bisa menciptakan, atau
setidaknya merintis, suasana pluralisme yang menjamin kesetaraan bagi semua
pihak untuk berkeyakinan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar