|
SUARA MERDEKA, 27 Mei 2013
Di tengah pro-kontra penyelenggaraan ujian nasional (UN),
saatnya kita perlu berefleksi bahwa gagal ujian bagi peserta didik justru
’’diperlukan’’ sebagai sarana pendidikan mental supaya mereka lebih siap
menghadapi tantangan hidup. Kegagalan dalam ujian itu merupakan momentum
penting guna pembentukan mental tangguh.
Pandangan masyarakat pada umumnya bahwa sekali mengikuti
ujian harus berhasil. Berbagai upaya dilakukan oleh peserta didik, termasuk
orang tua, dan sekolah, dari yang rasional sampai irasional hanya demi satu
tujuan: sukses ujian nasional. Seolah-olah kegagalan itu kiamat kecil. Ujian
nasional dipandang sebagai satu-satunya cara untuk sukses.
Memandang bahwa keberhasilan belajar adalah lulus ujian
nasional adalah cara pandang parsial dalam proses pendewasaan peserta didik.
Pendidikan bukan sekadar urusan pencerdasan intelektual (IQ) yang tolok ukurnya
adalah lulus ujian nasional.
Pendidikan juga pesan mendasar dalam setiap proses
pendidikan adalah pendewasaan peserta didik agar menjadi manusia mandiri,
siap mengahdapi tantangan zamanya (Mochtar Buchori, 2001). Kegagalan dalam
ujian nasional adalah ’’kurikulum’’ penting bagi proses pendewasaan peserta
didik.
Salah satu cara melatih seseorang agar tumbuh menjadi
manusia dewasa yang berkarakter dan berkepribadian tangguh adalah kegagalan.
Melalui kegagalan manusia akan tumbuh kuat yang lebih siap menghadapi tantangan
zaman.
Memang, untuk mengukur kemampuan kognitif seorang bahwa ia
pantas naik level (lulus) peserta didik mesti diuji terlebih dahulu dengan
seprangkat alat uji soal-soal yang terkait dengan analitis matematis. Peserta
yang melampaui, berhak menlanjutkan ke jenjang berikutnya.
Namun untuk membentuk mental tangguh, pengalaman pahit
seperti kegagalan dalam ujian nasional merupakan salah satu momen yang tepat.
Realitas itu merupakan salah satu ’’kurikulum’’ untuk menumbuhkembangkan
kecerdasan mental spiritual (ESQ) yang bermuara pada keterbentukan tetangguhan
mental.
Seseorang gagal ujian bukanlah aib seperti yang selama ini
dipersepsikan oleh banyak peserta didik, guru, dan orang tua. Dari segi
pendidikan mental spiritual dan pembentukan karakter, kegagalan itu merupakan
media belajar agar berkesempatan untuk merefleksi diri, memupuk
kesabaran, meningkatkan ketawakalan dan ketakwaan. Jadi, ada unsur transedental
di baliknya.
Ketangguhan
Mental
Bila pendidikan karakter pada dasarnya adalah menghadirkan
dan menghadapi tantangan artifisial (outbound
dan sejenisnya) agar tumbuh menjadi manusia tangguh, gagal ujian nasional
merupakan ’’berkah’’ tersendiri yang pada akhirnya juga dapat mengantarkan
karakter tangguh.
Pembentukan mental tangguh tidak dapat dilakukan hanya
dengan wacana kognitif berikut alat uji. Gagal ujian adalah pengalaman tidak
terlupakan. Ketika pengalaman pahit ini dipandang sebagai momentum yang
memotivasi maka gagal UN adalah sebuah pelajaran pembentuk karakter yang
cukup efektif.
Banyak orang sukses yang merasa ’’berterima kasih’’
pada kegagalannya. Kegagalan adalah guru terbaik karena justru mengantarkan
kesuksesan. Sekadar menyebut contoh orang sukses di balik kegagalannya: Thomas
Alfa Edison, penemu lampu neon, ratusan kali ia gagal dalam eksperimen.
Demikian pula Suchiro Honda (penemu mesin Honda), sampai
jarinya buntung untuk bereksperimen. Bahkan Billi S Liem, pembicara ternama di
Asia mengalami kegagalan selama 15 tahun, baik selama studi, karier, maupun
bisnis. Pengalaman kegagalan itu ditulisnya dalam buku Dare to Fail (2006).
Buku itu menjadi international best seller dan mengantarkannya menjadi
pembicara papan atas Asia.
Yang perlu ditanamkan kepada mereka yang gagal ujian
nasional adalah tetaplah berpikir positif bahwa kegagalan adalah bagian tak
terpisahkan dari kesuksesan; gagal ujian bukanlah aib melainkan momentum
pembentukan mental tangguh.
Selain itu, belajar jauh lebih penting ketimbang ujian itu
sendiri; dan apa pun bentuk tantangan bisa diatasi dengan tetap belajar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar