|
JAWA POS, 28 Mei 2013
BANYAK orang yang tidak menyadari hidupnya dikendalikan oleh
sebuah ''loop'' (pusaran) yang bergerak dari constraint yang satu ke constraint yang lain.
Pernyataan-pernyataannya kurang lebih: ''Aku anak petani miskin'';
''Otakku nggak nyampe''; ''Jangan bermimpi, kita ini orang susah'',
''Modalnya enggak ada''; atau ''Sekolah kita bukan sekolah unggulan''.
Kalau diteruskan, kita juga temukan gocekan-gocekan liar dari tulisan-tulisan di berbagai blog dan milis yang disertai ancaman, ejekan, serta segala alasan seperti: ''Sok tahu kamu''; ''Itu tidak akan bisa''; ''Tidak bernalar''; ''Pasti akan gagal''; ''Waktunya tergesa-gesa, tidak ada yang bisa''; ''Siapkan dulu anunya''; dan seterusnya. ''Anunya'' itu bisa berarti uang, tenaga, prasarana, dan sebagainya.
Kalimatnya pun beragam, mulai yang pesimistis hingga kalah sebelum bertarung, namun terkesan heroik karena ''berani menantang'' sebuah legacy. Tetapi, intinya terpantek atau terpaku pada constraint. Constraint itu berarti keterbatasan, pembatas, garis batas, bahkan dapat berbuntut cornering (menyudutkan), membatasi, menghalang-halangi, meragukan, menyimpulkan sesuatu yang negatif.
Orang-orang yang memiliki constraint-based thinking biasanya dibesarkan dalam kultur yang mengajarkan ketidakmampuan, biasa bekerja dibatasi, atau bisa egosentris yang beranggapan, ''Kalau saya tidak bisa, yang lain apa lagi.'' Intinya sederhana saja, tidak bisa karena tidak mau, tidak terima, dan yang lain juga dilarang mengikuti untuk membuktikan bahwa perlawanan itu benar: gagal!
Constraint-based adalah karakter yang membuat perusahaan tidak maju, karir seseorang stagnant (tidak berkembang), dan bangsa ini tidak berkembang. Setiap melangkah selalu dimulai dengan ''harus ada dulu'' prasyarat-prasyaratnya. Harus ada uangnya dulu, kesehatan, waktu, tenaga, bangunan, tanah, pabrik, ahli, dan seterusnya.
Opportunity-Based
Sebaliknya, ada kelompok lain yang pola pikirnya 180 derajat berkebalikan dengan constraint-based, yaitu opportunity-based thinking. Setiap ada dinding, mereka selalu percaya ''ada pintunya''. Mereka tidak melihat ''constraint'' atau suatu ketidakadaan sebagai hal yang membatasi. Pikiran mereka menembus segala batas, menemukan jalan keluar.
Mereka itulah pemilik masa depan yang mengawali tindakan-tindakannya dari jendela-jendela keindahan. Dan anehnya, terjadi paradoks. Bangsa-bangsa yang dibesarkan dalam ''keterbatasan'' bisa menjadi bangsa wirausaha dengan mengembangkan jaringan-jaringan usaha seperti Singapura.
Bangsa itu tidak punya sumber daya alam, tidak ada pasar yang memadai, namun mereka mampu menjadi negeri perdagangan yang solid dan sejahtera. Sementara itu, bangsa-bangsa yang memiliki alam yang kaya justru menjadi bangsa ''pegawai'' atau bangsa politis. Cita-citanya menjadi bupati, PNS, atau ketua partai. Issueyang muncul seputar ''pribumi'' atau ''pendatang'' dan bagi-bagi kawasan. Bukan isu-isu perdagangan atau inovasi.
Bisakah itu kita ubah?
Tentu saja bisa. Bangsa ini harus mulai mengubah paradigma dari bangsa pegawai yang constraint-based menjadi bangsa dengan pegawai-pegawai yang cara berpikirnya opportunity-based. Dari situ, barulah kita mengembangkan wirausaha-wirausaha yang cerdas dan dinamis yang mulai mengembangkan inovasi danglobal brand. Bangsa yang demikian bukanlah bangsa pengeluh, bukan yang main protes, bahkan bukan yang gemar menghalangi perubahan.
Mengapa harus menghalangi kalau mampu melihat ''celah'' atau ''jendela''? Hampir setiap perubahan yang gagal diterapkan selalu dihalang-halangi bukan oleh orang-orang yang tidak pandai dalam arti yang sebenarnya, melainkan oleh orang-orang yang hidupnya tak berjendela. Hidup yang demikian selalu dimulai dari constraint,dari kesulitan dan hanya melihat ''susahnya'' hidup atau ''bakal susahnya''.
Sebab, opportunity-based thinking sangat berkebalikan dengan orang yang selalu melihat susahnya. Prinsipnya, ''every single problem'' is opportunity. Mereka melihat setiap kesulitan atau constraint sebagai kesempatan. Karena itu, mereka bukanlah pengeluh, bukan juga penghalang, karena mereka melihat kesempatan. Masuk tipe apakah Anda? ●
Kalau diteruskan, kita juga temukan gocekan-gocekan liar dari tulisan-tulisan di berbagai blog dan milis yang disertai ancaman, ejekan, serta segala alasan seperti: ''Sok tahu kamu''; ''Itu tidak akan bisa''; ''Tidak bernalar''; ''Pasti akan gagal''; ''Waktunya tergesa-gesa, tidak ada yang bisa''; ''Siapkan dulu anunya''; dan seterusnya. ''Anunya'' itu bisa berarti uang, tenaga, prasarana, dan sebagainya.
Kalimatnya pun beragam, mulai yang pesimistis hingga kalah sebelum bertarung, namun terkesan heroik karena ''berani menantang'' sebuah legacy. Tetapi, intinya terpantek atau terpaku pada constraint. Constraint itu berarti keterbatasan, pembatas, garis batas, bahkan dapat berbuntut cornering (menyudutkan), membatasi, menghalang-halangi, meragukan, menyimpulkan sesuatu yang negatif.
Orang-orang yang memiliki constraint-based thinking biasanya dibesarkan dalam kultur yang mengajarkan ketidakmampuan, biasa bekerja dibatasi, atau bisa egosentris yang beranggapan, ''Kalau saya tidak bisa, yang lain apa lagi.'' Intinya sederhana saja, tidak bisa karena tidak mau, tidak terima, dan yang lain juga dilarang mengikuti untuk membuktikan bahwa perlawanan itu benar: gagal!
Constraint-based adalah karakter yang membuat perusahaan tidak maju, karir seseorang stagnant (tidak berkembang), dan bangsa ini tidak berkembang. Setiap melangkah selalu dimulai dengan ''harus ada dulu'' prasyarat-prasyaratnya. Harus ada uangnya dulu, kesehatan, waktu, tenaga, bangunan, tanah, pabrik, ahli, dan seterusnya.
Opportunity-Based
Sebaliknya, ada kelompok lain yang pola pikirnya 180 derajat berkebalikan dengan constraint-based, yaitu opportunity-based thinking. Setiap ada dinding, mereka selalu percaya ''ada pintunya''. Mereka tidak melihat ''constraint'' atau suatu ketidakadaan sebagai hal yang membatasi. Pikiran mereka menembus segala batas, menemukan jalan keluar.
Mereka itulah pemilik masa depan yang mengawali tindakan-tindakannya dari jendela-jendela keindahan. Dan anehnya, terjadi paradoks. Bangsa-bangsa yang dibesarkan dalam ''keterbatasan'' bisa menjadi bangsa wirausaha dengan mengembangkan jaringan-jaringan usaha seperti Singapura.
Bangsa itu tidak punya sumber daya alam, tidak ada pasar yang memadai, namun mereka mampu menjadi negeri perdagangan yang solid dan sejahtera. Sementara itu, bangsa-bangsa yang memiliki alam yang kaya justru menjadi bangsa ''pegawai'' atau bangsa politis. Cita-citanya menjadi bupati, PNS, atau ketua partai. Issueyang muncul seputar ''pribumi'' atau ''pendatang'' dan bagi-bagi kawasan. Bukan isu-isu perdagangan atau inovasi.
Bisakah itu kita ubah?
Tentu saja bisa. Bangsa ini harus mulai mengubah paradigma dari bangsa pegawai yang constraint-based menjadi bangsa dengan pegawai-pegawai yang cara berpikirnya opportunity-based. Dari situ, barulah kita mengembangkan wirausaha-wirausaha yang cerdas dan dinamis yang mulai mengembangkan inovasi danglobal brand. Bangsa yang demikian bukanlah bangsa pengeluh, bukan yang main protes, bahkan bukan yang gemar menghalangi perubahan.
Mengapa harus menghalangi kalau mampu melihat ''celah'' atau ''jendela''? Hampir setiap perubahan yang gagal diterapkan selalu dihalang-halangi bukan oleh orang-orang yang tidak pandai dalam arti yang sebenarnya, melainkan oleh orang-orang yang hidupnya tak berjendela. Hidup yang demikian selalu dimulai dari constraint,dari kesulitan dan hanya melihat ''susahnya'' hidup atau ''bakal susahnya''.
Sebab, opportunity-based thinking sangat berkebalikan dengan orang yang selalu melihat susahnya. Prinsipnya, ''every single problem'' is opportunity. Mereka melihat setiap kesulitan atau constraint sebagai kesempatan. Karena itu, mereka bukanlah pengeluh, bukan juga penghalang, karena mereka melihat kesempatan. Masuk tipe apakah Anda? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar