|
SUAR OKEZONE, 28 Mei 2013
PARTAI politik dan
perempuan menjadi spasi yang tidak dapat dipisahkan dalam politik Tanah Air.
Ditambah lagi adanya beberapa aturan penyelenggara pemilu yang memuat upaya
penyetaraan partisipasi perempuan dalam kancah politik. Dalam Pasal 55 dan 56
UU Pemilu menyebutkan, daftar bakal calon yang diajukan parpol paling sedikit
memuat 30 persen keterwakilan perempuan.
Kemudian, pasal 27 Ayat (1) Huruf b peraturan KPU Nomor 7/2013 menyebutkan, jika ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, parpol itu dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar calon pada daerah pemilihan bersangkutan. Konsekuensinya parpol bersangkutan tidak bisa ditetapkan sebagai salah satu peserta pemilu untuk daerah pemilihan bersangkutan atau tidak bisa mengikuti tahapan daftar calon tetap.
Bahkan KPU pun akan mendelete parpol yang tidak mampu memenuhi keterwakilan perempuan disetiap dapil. Peraturan ini pun menyulut partai politik untuk memenuhi prasyarat pemilu walau dalam prakteknya partai politik seperti bergerak setengah hati untuk memenuhi keterwakilan perempuan. Terbukti banyak partai politik yang kesulitan memenuhi prasyarat ini. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh paradigma demostifikasi sebagai kodrat perempuan yang selalu dirumah ataukah mandeknya kaderisasi disetiap partai politik dalam melahirkan tokoh-tokoh politisi perempuan.
Peran Parpol
Bila keterwakilan perempuan hadir jauh dari angka 30 persen, ini berarti tidak lagi mencukupi untuk hanya sekadar mengantarkan perempuan ke dalam struktur demokrasi yang ada, akan tetapi tetap memasung peran politik perempuan untuk aktif dalam kancah politik. Yang sekarang sangat dibutuhkan, dan harus diperjuangkan adalah mendorong dan mempromosikan peran politik perempuan agar setara dengan politisi laki-laki.
Hal ini diharapkan akan dapat membawa perubahan dalam sistem politik demokrasi. Peran politik perempuan saat ini masih terlihat inklusif terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang marginal dan subordinat sehingga perlu didorong upaya keterwakilan perempuan yang lebih luas. Untuk itu pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik akan mampu mendorong kelompok marginal dan substantif dalam konteks perempuan untuk lebih aktif dalam kancah politik.
Apalagi kita masih berdiri dalam tataran demokrasi prosedural menuju kearah demokrasi yang lebih substansial. Jika kita bicara keberadaan peran dan posisi partai politik di Indonesia sebagai instrumen politik yang embedded dalam sistem demokrasi, tidak bisa tidak kehadiran perempuan dalam jumlah di berbagai organisasi dan institusi demokrasi sudah mutlak diperlukan.
Peran partai politik sebagai institusi demokrasi sejauh ini hanya memandang perempuan sebatas menjadi fungsi penggalang suara dalam upaya merebut kekuasaan dan memenangkan kontes pemilu. Partai politik hanya menganggap perempuan dan peran sayap perempuan hanya dijadikan alat pendulang suara. Partai pun tetap kembali ke wujud dan karakter asli dengan tetap mengedepankan drama oligarki, parton-klien, dan berbagai kepentingan pragmatis lainnya.
Bila hal ini tetap dipelihara jelas akan menjadi pertanda terjadi penurunan kualitas caleg perempuan dibeberapa daerah pemilihan. Pemenuhan 30 persen caleg sebenarnya ada ditingkat kualitas, apalagi didaerah pemilihan ditingkat kabupaten dan daerah terpencil, dimana minat perempuan untuk menjadi caleg masih sangat rendah. Akibatnya ada kemungkinan partai akan mengutamakan kuantitas dan bukan kualitas untuk memenuhi kuota tersebut. Biasa dibayangkan pemilu, jika ada penurunan kualitas wakil rakyat yang dipilih, kualitas parleman akan ikut turun.
Tercatat hanya ada tiga caleg perempuan yang dapat meraih suara diatas BPP yaitu, Puan Maharani (PDI Perjuangan) daerah pemilihan : Jawa tengah dengan suara 242.504 atau dengan persentase BPP 128,9 persen, Karolin Magret Natasa (PDI Perjuangan) daerah pemilihan Kalimantan Barat dengan suara 222.021 atau persentase BPP 151,8% dan Ratu Munawarah (PAN) dengan suara 157,651 atau dengan persentase BPP 106,7 persen. Dari data Puskapol UI tahun 2010 menunjukkan dari total pemilih untuk caleg DPR, sebanyak 16 juta atau 22,5 persen suara diberikan kepada caleg perempuan. Ini menunjukkan angka elektabilitas caleg perempuan memang belum mampu menembus 30 persen dari kebijakan affirmative action.
Hal ini disebabkan oleh sistem pemilu yang tetap menyamaratakan antara caleg perempuan dan politisi laki-laki dalam hal perebutan kursi. Apalagi sistem pemilu dengan sistem proporsional terbuka maupun tertutup masih tetap menjadikan perempuan tetap dinomor duakan dalam hal nomor urut, hal ini jelas mempengaruhi psikologi pemilih yang cenderung memilih caleg pada nomor urut atas. Dan juga banyak aktivis perempuan yang secara kualitas dan rekam jejak yang bisa diharapkan tapi enggan diajak nimbrung dikancah politik praktis.
Epilog
Implementasi kebijakan affirmative action mengenai keterwakilan perempuan 30 persen jangan hanya dijadikan hanya sebatas wacana, akal-akalan dan top down karena hanya akan menghasilkan caleg yang kolutif dan nepotisme. Dalam pembentukan kader perempuan disetiap parpol juga diwajibkan mengedepankan penanaman ideologi gender, sehingga politisi perempuan mengerti kiprahnya ketika terjun di kancah politik dan bukan hanya sebatas memperjuangkan kepentingan pribadi dan partainya saja. Politisi perempuan harus mampu memainkan peran yang lebih luas yaitu kesetaran dan keadilan gender. Bisa jadi kedepan kita akan menemukan caleg perempuan yang mampu tampil agresif dalam memberantas pelbagai persoalan klasik dinegeri ini.
Tentunya jangan sampai perbedaan peran menjadikan wilayah politik perempuan terpinggirkan hanya demi kepentingan patron-klien dan drama oligarki politik murahan serta kuatnya politik patriarki. Partai politik harus mengambil peran untuk mereproduksi peran perempuan yang lebih ideal sesuai porsinya. Jangan sampai keterwakilan perempuan hanya dijaikan basa basi politik saja, akan tetapi seharusnya dijadikan upaya untuk meningkatkan peran politik perempuan agar dapat lebih terlibat dan mampu menjadi penyeimbang antara praktik kepartaian dengan aktivitas politik. ●
Kemudian, pasal 27 Ayat (1) Huruf b peraturan KPU Nomor 7/2013 menyebutkan, jika ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan tidak terpenuhi, parpol itu dinyatakan tidak memenuhi syarat pengajuan daftar calon pada daerah pemilihan bersangkutan. Konsekuensinya parpol bersangkutan tidak bisa ditetapkan sebagai salah satu peserta pemilu untuk daerah pemilihan bersangkutan atau tidak bisa mengikuti tahapan daftar calon tetap.
Bahkan KPU pun akan mendelete parpol yang tidak mampu memenuhi keterwakilan perempuan disetiap dapil. Peraturan ini pun menyulut partai politik untuk memenuhi prasyarat pemilu walau dalam prakteknya partai politik seperti bergerak setengah hati untuk memenuhi keterwakilan perempuan. Terbukti banyak partai politik yang kesulitan memenuhi prasyarat ini. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh paradigma demostifikasi sebagai kodrat perempuan yang selalu dirumah ataukah mandeknya kaderisasi disetiap partai politik dalam melahirkan tokoh-tokoh politisi perempuan.
Peran Parpol
Bila keterwakilan perempuan hadir jauh dari angka 30 persen, ini berarti tidak lagi mencukupi untuk hanya sekadar mengantarkan perempuan ke dalam struktur demokrasi yang ada, akan tetapi tetap memasung peran politik perempuan untuk aktif dalam kancah politik. Yang sekarang sangat dibutuhkan, dan harus diperjuangkan adalah mendorong dan mempromosikan peran politik perempuan agar setara dengan politisi laki-laki.
Hal ini diharapkan akan dapat membawa perubahan dalam sistem politik demokrasi. Peran politik perempuan saat ini masih terlihat inklusif terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang marginal dan subordinat sehingga perlu didorong upaya keterwakilan perempuan yang lebih luas. Untuk itu pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik akan mampu mendorong kelompok marginal dan substantif dalam konteks perempuan untuk lebih aktif dalam kancah politik.
Apalagi kita masih berdiri dalam tataran demokrasi prosedural menuju kearah demokrasi yang lebih substansial. Jika kita bicara keberadaan peran dan posisi partai politik di Indonesia sebagai instrumen politik yang embedded dalam sistem demokrasi, tidak bisa tidak kehadiran perempuan dalam jumlah di berbagai organisasi dan institusi demokrasi sudah mutlak diperlukan.
Peran partai politik sebagai institusi demokrasi sejauh ini hanya memandang perempuan sebatas menjadi fungsi penggalang suara dalam upaya merebut kekuasaan dan memenangkan kontes pemilu. Partai politik hanya menganggap perempuan dan peran sayap perempuan hanya dijadikan alat pendulang suara. Partai pun tetap kembali ke wujud dan karakter asli dengan tetap mengedepankan drama oligarki, parton-klien, dan berbagai kepentingan pragmatis lainnya.
Bila hal ini tetap dipelihara jelas akan menjadi pertanda terjadi penurunan kualitas caleg perempuan dibeberapa daerah pemilihan. Pemenuhan 30 persen caleg sebenarnya ada ditingkat kualitas, apalagi didaerah pemilihan ditingkat kabupaten dan daerah terpencil, dimana minat perempuan untuk menjadi caleg masih sangat rendah. Akibatnya ada kemungkinan partai akan mengutamakan kuantitas dan bukan kualitas untuk memenuhi kuota tersebut. Biasa dibayangkan pemilu, jika ada penurunan kualitas wakil rakyat yang dipilih, kualitas parleman akan ikut turun.
Tercatat hanya ada tiga caleg perempuan yang dapat meraih suara diatas BPP yaitu, Puan Maharani (PDI Perjuangan) daerah pemilihan : Jawa tengah dengan suara 242.504 atau dengan persentase BPP 128,9 persen, Karolin Magret Natasa (PDI Perjuangan) daerah pemilihan Kalimantan Barat dengan suara 222.021 atau persentase BPP 151,8% dan Ratu Munawarah (PAN) dengan suara 157,651 atau dengan persentase BPP 106,7 persen. Dari data Puskapol UI tahun 2010 menunjukkan dari total pemilih untuk caleg DPR, sebanyak 16 juta atau 22,5 persen suara diberikan kepada caleg perempuan. Ini menunjukkan angka elektabilitas caleg perempuan memang belum mampu menembus 30 persen dari kebijakan affirmative action.
Hal ini disebabkan oleh sistem pemilu yang tetap menyamaratakan antara caleg perempuan dan politisi laki-laki dalam hal perebutan kursi. Apalagi sistem pemilu dengan sistem proporsional terbuka maupun tertutup masih tetap menjadikan perempuan tetap dinomor duakan dalam hal nomor urut, hal ini jelas mempengaruhi psikologi pemilih yang cenderung memilih caleg pada nomor urut atas. Dan juga banyak aktivis perempuan yang secara kualitas dan rekam jejak yang bisa diharapkan tapi enggan diajak nimbrung dikancah politik praktis.
Epilog
Implementasi kebijakan affirmative action mengenai keterwakilan perempuan 30 persen jangan hanya dijadikan hanya sebatas wacana, akal-akalan dan top down karena hanya akan menghasilkan caleg yang kolutif dan nepotisme. Dalam pembentukan kader perempuan disetiap parpol juga diwajibkan mengedepankan penanaman ideologi gender, sehingga politisi perempuan mengerti kiprahnya ketika terjun di kancah politik dan bukan hanya sebatas memperjuangkan kepentingan pribadi dan partainya saja. Politisi perempuan harus mampu memainkan peran yang lebih luas yaitu kesetaran dan keadilan gender. Bisa jadi kedepan kita akan menemukan caleg perempuan yang mampu tampil agresif dalam memberantas pelbagai persoalan klasik dinegeri ini.
Tentunya jangan sampai perbedaan peran menjadikan wilayah politik perempuan terpinggirkan hanya demi kepentingan patron-klien dan drama oligarki politik murahan serta kuatnya politik patriarki. Partai politik harus mengambil peran untuk mereproduksi peran perempuan yang lebih ideal sesuai porsinya. Jangan sampai keterwakilan perempuan hanya dijaikan basa basi politik saja, akan tetapi seharusnya dijadikan upaya untuk meningkatkan peran politik perempuan agar dapat lebih terlibat dan mampu menjadi penyeimbang antara praktik kepartaian dengan aktivitas politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar