|
KORAN TEMPO, 30 Mei 2013
Upaya Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menuntaskan kasus
korupsi berkaitan dengan kuota impor sapi menuai serangan balik (fight back). Juru bicara KPK akhirnya
dilaporkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke kepolisian atas tuduhan
telah menyampaikan pernyataan yang tidak benar dan merugikan nama baik PKS.
Kasus korupsi kuota impor sapi yang melibatkan bekas
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) semakin melebar dan tentu akan menyeret
banyak pihak. Bukan tidak mungkin hal ini akan menjadi pintu masuk bagi KPK
untuk menelisik sejauh mana keterlibatan partai politik secara institusi dalam
kasus ini. Jamak dipahami bahwa, secara institusi, partai politik memang tidak
berhubungan langsung dengan lahirnya sebuah kebijakan. Tetapi partai politik
memiliki relasi yang sangat kuat karena pengambil kebijakan adalah bagian dari
institusi partai politik. Apalagi dalam kesaksian awal disebutkan mengenai
adanya "intervensi" petinggi partai dalam pengambilan kebijakan
tersebut.
Jika direkam proses yang lalu, serangan balik terhadap
institusi KPK bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Ada yang dilakukan
melalui pengujian ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang KPK, ada pula
yang melalui kriminalisasi terhadap pemimpin KPK, Bibit S. Rianto dan Chandra
M. Hamzah (cicak vs buaya). Bagi DPR (Komisi III), kriminalisasi terhadap
pimpinan KPK tidak begitu saja terhenti setelah dikeluarkannya Surat Ketetapan
Penghentian Penuntutan (SKPP) oleh Jaksa Agung. Perlawanan DPR masih terlihat
ketika mereka menolak kedua pemimpin KPK tersebut dalam sebuah rapat kerja,
karena dianggap masih berstatus sebagai tersangka (31 Januari 2011).
Ada dugaan sikap ini diambil sebagai bentuk perlawanan DPR
atas penahanan 19 politikus oleh KPK dalam kasus korupsi (suap) pemilihan
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sejarah masa lalu itu kiranya kembali
terulang, bermula dari upaya KPK untuk melakukan penyitaan terhadap aset LHI,
dan akhirnya berujung pada laporan ke polisi oleh PKS.
Dari sisi analisis aktor, sebetulnya tidak ada perbedaan
mencolok di antara dua kejadian ini. Aktornya sama, yakni sama-sama berasal
dari kalangan politikus. Kecenderungannya memang semakin meneguhkan partai
politik dan politikusnya sebagai aktor utama dalam pelemahan upaya
pemberantasan korupsi.
Aliran uang
Kuatnya perlawanan partai politik ini patut dicurigai
sebagai bentuk resistansi partai politik secara institusi, bukan lagi sebagai
oknum. Sebab, faktanya, yang diduga sebagai "pemain" dalam kasus ini
adalah para petinggi partai politik. Kasus yang dihadapi PKS sebetulnya juga
dialami oleh Partai Demokrat, di mana bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum menjadi tersangka kasus korupsi. Bahkan Bendahara Umum Partai
Demokrat juga telah dipidana oleh Pengadilan Tipikor dalam kasus yang sama. Hal
yang patut dijawab sesungguhnya adalah, sejauh mana perbuatan dan/atau tindakan
pimpinan partai politik menjadi kebijakan partai secara institusi.
Pertanyaan ini harus dijawab untuk sekadar menegaskan bahwa
hal ini adalah perilaku oknum dalam institusi partai atau justru telah dipahami
dan diikuti sebagai sebuah kebijakan organisasi. Hal ini mungkin saja akan
terjawab jika ada bukti yang mengarah pada kesimpulan bahwa partai politik
menjadi pihak yang menikmati keuntungan atau justru tidak mendapatkan apa-apa
dari perbuatan pidana tersebut.
Salah satu cara yang bisa ditempuh oleh KPK adalah
bagaimana menelusuri aliran keuntungan (tidak hanya dalam bentuk uang) dari
tindak pidana. Sebagai contoh, misalnya, terdapat beberapa keterangan saksi
yang disampaikan dalam pemeriksaan di KPK bahwa ada uang yang mengalir dari
Fathanah ke beberapa daerah yang terkait dengan pendanaan kampanye pilkada yang
tentunya juga ada unsur partai di dalamnya. Atau, bahkan dalam sebuah
keterangan di Pengadilan Tipikor, dijelaskan adanya aliran uang dari PT
Indoguna Utama ke PKS untuk membiayai kegiatan safari dakwah.
Dalam kasus korupsi Hambalang, dugaan adanya aliran uang
yang digunakan dalam Kongres Partai Demokrat juga mengarah pada satu titik yang
sama dengan apa yang dialami PKS, yaitu partai politik seolah-olah menjadi
"penadah" dari hasil kejahatan atau lazim disebut sebagai pencucian
uang (money laundering).
Sebagai institusi, partai politik tentu tidak bisa berkilah
jika memang memenuhi unsur pidana sebagai korporasi, baik yang diatur dalam UU
Nomor 31/1999 juncto UU/20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
maupun di dalam UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Rumusan subyek hukum dalam kedua undang-undang di atas
secara jelas menyebutkan keberadaan partai politik sebagai bagian dari definisi
korporasi. Pasal 1 angka (1) dan angka (3) UU No. 31/1999 menyatakan korporasi
adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik berupa badan
hukum maupun bukan badan hukum, dan setiap orang adalah orang perseorangan atau
termasuk korporasi. Hal yang sama juga diatur dalam Pasal angka (9) dan angka
(10) UU No. 8/2010.
Kedua undang-undang ini akan menjadi pintu masuk untuk
memberikan punishment bagi partai politik yang terbukti secara hukum melanggar
ketentuan undang-undang. Pembekuan partai politik oleh pengadilan atas dasar
pelanggaran ini sangat dimungkinkan oleh Pasal 48 ayat (2) UU 2/2008 tentang
Partai Politik. Bahkan dalam Pasal 48 ayat (3) ditegaskan, jika terjadi
pengulangan pelanggaran oleh partai, hal itu akan dijadikan dasar untuk
membubarkan partai politik melalui putusan Mahkamah Konstitusi.
Penegakan hukum atas kasus pidana yang diduga melibatkan
partai politik saat ini hendaknya dijadikan pelajaran bagi partai lain. Jangan
sampai partai politik digunakan sebagai alat untuk melakukan kejahatan, apalagi
sampai menjadi bagian yang menikmati keuntungan atas kejahatan tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar