|
KOMPAS, 30 Mei 2013
Abhijit
Banerjee (1997) dalam papernya ”A Theory
of Misgovernance” mengemukakan bahwa birokrasi sebuah pemerintahan sering
diasosiasikan dengan beberapa karakteristik (yang negatif), seperti red tape (memiliki serangkaian prosedur
yang rumit dan kompleks), korup, dan kekurangan insentif.
Ditambahkan
oleh Banerjee bahwa perilaku korup birokrat dan kekurangan insentif itu saling
bertalian erat. Oleh karena itu, salah satu jalan keluar untuk mengurangi
kemungkinan seorang birokrat melakukan korupsi adalah dengan memberikan
insentif yang memadai.
Sebagai
contoh kebijakan pemberian insentif adalah di Swedia. Pada abad ke-17 dan 18,
Swedia merupakan salah satu negara terkorup di Eropa. Namun, sejak tahun
1970-an, Swedia termasuk ranking teratas negara tidak terkorup di dunia.
Kebijakan penambahan remunerasi bagi pegawai negeri di Swedia yang
dikombinasikan dengan deregulasi menjadi dasar kemunculan pegawai negeri yang
jujur dan kompeten di Swedia akhir abad ke-19 (Lindbeck, 1975).
Remunerasi
jadi obat
Lebih
kurang logika dari pemikiran Banerjee adalah logika yang mendasari kebijakan
remunerasi untuk pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia. Remunerasi pegawai dinilai
sebagai ”imunisasi” alias obat yang dapat membuat pegawai kebal dari godaan
suap, korupsi, dan penyelewengan jabatan lainnya.
Seperti
diketahui bersama, sejumlah kementerian telah menerapkan kebijakan remunerasi
pegawai. Beberapa kementerian yang menerapkan kebijakan itu selama beberapa
tahun antara lain Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan BPK.
Yang
membuat miris adalah Kementerian Keuangan yang telah dan lebih dulu
mengimplementasikan kebijakan remunerasi ternyata pegawainya justru acapkali
tersangkut kasus penyalahgunaan wewenang, seperti suap dan korupsi.
Kasus
terakhir adalah tertangkap tangannya dua pegawai Direktorat Jenderal Pajak,
yakni Muhammad Dian Irwan Nuqishira dan Eko Darmayanto oleh KPK saat
”bertransaksi” suap dengan wakil dari perusahaan The Master Steel di Bandara
Soekarno-Hatta.
Penangkapan
itu menambah panjang daftar pegawai Dirjen Pajak yang berurusan dengan kasus
hukum. Sebelumnya sudah ada nama-nama seperti Gayus Tambunan, Bahasyim
Assiffie, Dhana Widyatmika, Tommy Hindratno, dan Pargono Riyadi yang menjadi
tangkapan KPK sepanjang 2010-April 2013.
Padahal,
data menunjukkan, gaji pegawai Dirjen Pajak termasuk yang terbesar di antara
PNS. Berdasarkan penelusuran Kompas.com (3/5), gaji pegawai pajak berkisar Rp 5
juta hingga Rp 30 juta per bulan.
Pegawai
level menengah memperoleh gaji Rp 15 juta-Rp 25 juta per bulan, sementara
pegawai yang masuk kategori eselon II atau Kakanwil Pajak memperoleh Rp 25
juta-Rp 30 juta per bulan. Jumlah yang diterima oleh pegawai Dirjen Pajak jauh
lebih besar ketimbang pendapatan PNS di 20 kementerian/ lembaga lain (Rp 2,82
juta-Rp 23,96 juta per bulan) dan pendapatan PNS biasa (Rp 1,26 juta-Rp 4,6
juta per bulan).
Pertanyaannya
kemudian, mengapa para abdi masyarakat di bidang pajak itu masih juga tergoda
dengan uang tidak sah? Apakah kebijakan remunerasi keliru? Ataukah ada faktor
lain yang luput dari perhatian pembuat kebijakan?
Proteksi
birokrasi
Hemat
penulis, remunerasi tetap menjadi dasar penting untuk memproteksi birokrasi
dari mencari penghasilan di luar gaji yang didapat dari negara. Akan tetapi,
policy remunerasi harus didukung faktor-faktor lain.
Pertama,
penegak hukum yang kredibel dan penegakan hukum yang berefek jera. Jakob
Svensson (2005: 33), ekonom senior Development
Research Group di bawah Bank Dunia, pernah mengutarakan bahwa remunerasi
bisa mengurangi suap dan korupsi, tetapi hanya di bawah kondisi tertentu.
Strategi remunerasi memerlukan aparat penegakan (hukum) yang berfungsi baik. Di
banyak negara di mana korupsi bersifat kelembagaan, persyaratan penegak dan
penegakan hukum mutlak perlu.
Kedua,
berkaitan dengan faktor pertama, yaitu adanya punishment and rewards yang efektif dan berhasil guna. Untuk sanksi
atau hukuman sebetulnya Dirjen Pajak telah dengan tegas memberhentikan anak
buahnya yang ”bandel” dari jabatan dan statusnya sebagai PNS. Juga untuk rewards, ada Peraturan Dirjen Pajak
Nomor 22 Tahun 2010 yang mengatur soal penghargaan, berupa pemberian sembilan
kali gaji apabila bisa membongkar penyimpang pajak oleh sesama rekan di Dirjen
Pajak. Selain berupa uang, ada juga kesempatan memperoleh promosi jabatan
hingga pelatihan di luar negeri.
Belum
jera
Akan
tetapi, kelihatannya hukuman ini masih belum membuat jera korps pegawai pajak
karena mereka masih berpikir untung-untungan. Siapa tahu tidak tertangkap,
barangkali itu yang ada di benak mereka. Untuk rewards, pada praktiknya juga tidak mudah karena berkaitan dengan
nasib rekan mereka.
Ketiga,
pembenahan faktor mental individu birokrat. Sebagus apa pun aturan main, kalau
mental dari birokrat masih ”selalu tidak puas” dengan pendapatan yang didapat,
maka aturan itu akan diperlakukan sebagai perangkap yang harus disiasati.
Oleh
karena itu, pemerintah dan DPR perlu memikirkan secara serius adanya
”reimunisasi” alias imunisasi ulang agar para birokrat jadi bermental pelayan
masyarakat dan kebal dari godaan birokrasi yang patologis. Dengan demikian,
reformasi birokrasi tidak hanya sekadar menjadi slogan dan jargon semata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar