|
KORAN TEMPO, 28 Mei 2013
Soal penghargaan
yang akan diberikan ACF kepada Presiden SBY harus dimaknai sebagai dorongan
bagi kita semua untuk berbuat lebih banyak di masa depan.
Akhir bulan ini, di sela kunjungan kerjanya di New York,
Amerika Serikat, Presiden SBY akan menerima penghargaan World Statesmen Award
(WSA) 2013 dari Appeal of Conscience
Foundation (ACF). ACF adalah suatu yayasan internasional yang berjuang
memajukan kebebasan agama dan hak asasi manusia, khususnya dalam rangka
mendorong perdamaian, toleransi, dan penyelesaian konflik etnis di dunia.
Usulan untuk menerima WSA disampaikan langsung oleh pendiri
dan Presiden ACF, Rabbi Arthur Schneir. Ini tentu dengan persetujuan Dewan
Pendiri ACF, yang terdiri atas para tokoh berbagai agama yang dikenal luas di
dunia internasional. Beberapa pemimpin dunia yang pernah menerima penghargaan
serupa adalah Stephen Harper (Perdana Menteri Kanada, 2012), Lee Myung-bak
(Presiden Korea Selatan, 2011), Gordon Brown (PM Inggris, 2009), dan Nicolas
Sarkozy (Presiden Prancis, 2008).
Rencana pemberian penghargaan WSA untuk Presiden SBY
ternyata mengundang reaksi penolakan dari beberapa kalangan di dalam negeri.
Penolakan ini terutama dipicu oleh surat Romo Magnis kepada ACF yang isinya
mempertanyakan keputusan ACF itu. Dalam surat itu, SBY dianggap tidak melakukan
apa-apa dan enggan mengatakan sepatah kata pun untuk melindungi kelompok
minoritas.
Beberapa kelompok yang selama ini memang selalu kritis (dan
bahkan sinis) terhadap pemerintahan SBY segera menjadikan surat Romo Magnis
sebagai pijakan untuk menyatakan sikapnya. Mereka menyatakan SBY tidak pantas
menerima penghargaan itu, karena dinilai belum berbuat banyak dalam mendorong
perdamaian, toleransi, dan penyelesaian konflik etnis di Indonesia.
Dalam negara yang kebebasan dan demokrasinya semakin
berkembang seperti di Indonesia sekarang ini, tentu saja perbedaan sikap serta
pandangan adalah sah dan lumrah. Tapi menganggap bahwa Presiden SBY belum
berbuat apa-apa untuk mendorong perdamaian, toleransi, dan penyelesaian konflik
etnis, tentu terlalu berlebih-lebihan, kurang berdasarkan fakta yang ada. Dalam
masalah penyelesaian konflik etnis yang terjadi di Tanah Air, misalnya, tentu
harus diakui kemajuan yang dicapai selama ini.
Sebagai gambaran, antara 1997 dan 2002, misalnya, kita
masih menghadapi konflik etnis dalam skala yang sangat luas di Indonesia,
dengan jumlah korban tewas diperkirakan mencapai 10 ribu orang (Jacques
Bertrand, 2004). Sebagian besar dari mereka adalah korban konflik kekerasan di
Kalimantan Barat dan Tengah yang melibatkan orang-orang dari etnis Dayak dan
Madura (1996/1997 dan 2001).
Sedangkan konflik berciri agama di Maluku, yang melibatkan
kelompok agama Islam dan Kristen, telah memakan korban jiwa tidak kurang dari
5.000 orang. Konflik ini mulai menjalar pada 1999 dan terus meluas hingga 3
tahun kemudian (2002), sebelum akhirnya mereda dan pulih kembali. Lalu konflik
di Aceh, yang pada 2000-2001 diperkirakan telah menelan korban tidak kurang
dari 1.800 jiwa. Belum lagi terhitung di Papua.
Dalam perkembangannya, khususnya selama pemerintahan Presiden
SBY (sejak 2004), secara berangsur-angsur situasi konflik yang telah menelan
ribuan korban jiwa itu bisa teratasi. Kita bisa lihat bahwa situasi di
wilayah-wilayah bekas konflik di Kalimantan, Maluku, Aceh, dan Papua dewasa ini
keadaannya jauh semakin membaik.
Di Ambon, Maluku, memang kadang kala masih terjadi
letupan-letupan kecil, tapi harus diakui konflik tidak mampu menjalar karena
kesigapan pihak aparat, dan yang paling utama, telah tumbuh kesadaran
kelompok-kelompok masyarakat yang tak sudi lagi terlibat dalam konflik yang
tidak masuk akal itu. Di Aceh, konflik yang telah berlangsung puluhan tahun
bisa diselesaikan secara damai, dan harus diakui, itu terjadi selama
pemerintahan Presiden SBY.
Semuanya itu tentu suatu hasil nyata bersama yang patut diapresiasi,
dan sama sekali jauh dari retorika yang menyatakan seolah-olah Presiden SBY
tidak berkata dan berbuat apa-apa untuk perdamaian, toleransi, dan penyelesaian
konflik etnis di Indonesia. Tentu ini tidak berarti bahwa semuanya itu bisa
dicapai hanya berkat Presiden SBY. Peran para pemimpin Indonesia sebelumnya,
khususnya sejak masa reformasi, harus diakui tidak kurang artinya.
Tiga pilar
Terjadinya berbagai konflik sosial, apakah berciri agama,
etnis, atau yang lainnya, sering kali dihubungkan dengan munculnya zaman
kebebasan politik sejak era reformasi (1997/1998). Zaman kebebasan yang datang
seperti tiba-tiba itu tampaknya telah mendorong berbagai kelompok tertentu
untuk mengekspresikan kepentingan dan identitasnya secara lebih bebas dan
terbuka, yang kadang-kadang malah berlebihan, sehingga berbenturan dengan
kelompok yang lain. Bermula dari sini, benih konflik yang sudah ada dalam
masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia ini seolah-olah seperti mendapat
pupuk untuk bisa tumbuh subur.
Kalau semangat kebebasan itu ingin terus dikembangkan
sebagai salah satu landasan untuk membangun tatanan masyarakat Indonesia yang
demokratis dan harmonis, kebebasan itu serentak harus dibarengi oleh aturan
hukum dan toleransi. Jadi, kebebasan (freedom),
aturan hukum (rule of the law), dan
toleransi (tolerance) adalah tiga
pilar politik yang ingin ditegakkan oleh Presiden SBY dalam mewujudkan
perjuangan demokrasi berdasarkan UUD 1945 (pidato Pancasila SBY, 1 Juni 2006).
Dalam konteks ini, tentu kurang tepat kalau membandingkan
cara penyelesaian konflik sosial di masa lalu dengan keadaan dewasa ini. Zaman
sudah berubah, kebebasan dan demokrasi sudah menjadi ukuran, sehingga tidak
mungkin lagi sedikit-sedikit menggunakan alat-alat kekerasan. Sebaliknya,
aturan hukum yang harus dikedepankan, dan dengan serentak memperkuat kesadaran
kognisi masyarakat tentang pentingnya toleransi untuk menegakkan harmoni
sosial.
Dengan perkembangan zaman seperti ini, tentu penanganan
terhadap persoalan konflik sosial menjadi lebih kompleks dan rumit, menuntut
bukan cuma peran besar pemerintah/negara, tapi juga keterlibatan aktif
masyarakat secara keseluruhan. Jadi di sini pilihan utamanya bukan di antara
pemerintah/negara atau masyarakat, tetapi justru kedua-duanya secara serentak dan
simultan.
Dalam konteks ini, kritik keras terhadap Presiden SBY
berkaitan dengan rencana pemberian penghargaan WSA harus dibaca sebagai kritik
terhadap kita semua. Sudahkah kita semua cukup berbuat bagi kemajuan kebebasan
beragama dan HAM? Soal penghargaan yang akan diberikan ACF kepada Presiden SBY
harus dimaknai sebagai dorongan bagi kita semua untuk berbuat lebih banyak di
masa depan.
Karena itu, kita harus menyambut dan memaknai pemberian
penghargaan itu dengan baik serta menjadikannya sebagai bahan refleksi untuk
berbuat lebih baik ke depan, dan tidak justru saling mencaci. Bagaimanapun,
cukup banyak yang telah dilakukan Presiden SBY dan kita bersama dalam memajukan
kebebasan beragama dan HAM. Meski demikian, masih cukup banyak PR yang harus
dikerjakan oleh kita semua ke depan.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar