|
SUARA KARYA, 27 Mei 2013
Mumpung kowe iseh podho cilik. Kowe kabeh kudu sekolah ben
pinter. Yen pinter iso golek pangan dewe. Yen ora sekolah, pengene mung
diwenehi warisan. Aku mung duwe sawah sepetak, dibagi karo sedulur - sedulurmu
kowe mung entok se ilat. Ora cukup kanggo mangan dewe. Iso-iso, kowe bakal
rebutan warisan. Nanging yen kowe pinter, ilmumu dibagi-bagi ra bakal entek.
Seng penting, pinter ojo nggo minteri wong liyo. Demikianlah pesan orangtua (Jawa) kepada anaknya tentang
betapa pentingnya mengenyam pendidikan demi masa depan.
Ungkapan ini berarti,
"Mumpung kalian masih kecil. Kalian semua harus sekolah biar pintar. Kalau
pintar bisa cari makan sendiri. Kalau kalian tidak sekolah, nanti hanya
mengharap diberikan warisan. Saya hanya punya sawah sepetak, jika dibagi dengan
saudara-saudaramu, kalian hanya dapat selidah. Tidak cukup untuk makan sendiri.
Bisa-bisa, kalian saling berebut warisan. Namun kalau kamu pintar, ilmumu
dibagi-bagi pun tidak akan pernah habis. Yang penting, kalau pandai, jangan
untuk mengakali orang lain."
Rasanya tidak ada seorang pun yang
menafikan arti penting pendidikan. Orangtua sering menasihati anak-anaknya
untuk selalu bersekolah. Menurut mereka, pendidikan adalah hal yang lebih
penting dibandingkan harta, bahkan paling penting di atas segala-galanya.
Sebab, pendidikan dipercaya mampu memperbaiki kualitas manusia. Namun, melihat
realita sistem pendidikan di negeri ini, timbul pertanyaan kritis, apakah
pendidikan negeri ini benar-benar mampu mewujudkan harapan-harapan itu?
Dalam perbandingan pendidikan
dunia, Indonesia menduduki peringkat 69 dari 127 negara di dunia dalam bidang
pendidikan. Hal ini dibuktikan dalam data Education for All (EFA) Global
Monitoring Report 2011 The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang
dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan
Perserikatan Bangsa-bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York (1/3/2011).
Pencapaian Indonesia ini lebih baik dibandingkan dengan Filipina (85), Kamboja
(102), India (107), dan Laos (109). Namun, sangat tertinggal jauh dari
Finlandia, yang berada di urutan peringkat pertama.
Pendidikan di negeri ini, masih
sangat jauh dari kata 'sempurna'. Persoalan demi persoalan terus saja terjadi.
Lihat saja, bagaimana perdebatan tentang gonta-ganti kurikulum, ujian nasional
(UN), praktik perjokian masuk perguruan tinggi negeri, korupsi buku pelajaran,
dan setumpuk persoalan lainnya. Tak hanya itu, totalitas pendidik mengajar
peserta didik juga menjadi salah satu persoalan yang belum terselesaikan. Ini
menjadikan kualitas pendidikan di Indonesia terus tertinggal dari negara
tetangga (Malaysia dan Singapura). Padahal, pendidikan memikul sejuta harapan
anak-anak bangsa. Seharusnya, persoalan-persoalan yang ada menjadikan kita
terpukul, dan berlomba untuk memperbaiki kualitas pendidikan negeri.
Pendidikan dalam suatu negara
dapat dikatakan baik bila pendidik dan peserta didik masih dalam satu pemikiran
yang dikemas dengan dukungan pemerintah melalui kelengkapan fasilitas belajar.
Kelengkapan fasilitas berikut sarana dan parasarananya akan sangat menentukan
kualitas pendidikan. Semua itu, pada dasarnya berujung pada penciptaan
generasi-generasi brilian juga konstruktif.
Untuk menciptakan generasi yang
brilian mestinya pendidikan di Indonesia memaksimalkan pembelajaran pada masa
anak-anak, terutama masa anak-anak perlu mendapatkan pendidikan pada usia dini
(PAUD) pada masa pertumbuhan, karena pada masa ini pertumbuhan otak sangat
tinggi, mencapai 90 persen. Dan, brain paths berkembang sebelum anak masuk usia
SD (usia 7 tahun). Dalam istilah lain, usia-usia ini sering dikatakan sebagai
'usia emas'. Sebab, pada usia dini ini, anak mempunyai daya serap otak yang
berkali-kali lipat lebih cepat dibandingkan pada usia selainnya. Sehingga,
sugesti-sugesti positif akan sangat mempengaruhi perkembangan anak.
Lihat negara Finlandia, dalam
upayanya menciptakan pendidikan berkualitas, mereka memaksimalkan
potensi-potensi yang dimiliki anak usia emas meski juga tak menafikan
optimalisasi pendidikan pada usia-usia selanjutnya. Mereka banyak menerbitkan
buku anak-anak bergambar, baik berbahasa asing, maupun non bahasa asing
(daerah), serta menyiarkan acara televisi anak-anak yang mendidik, baik
terjemahan dari bahasa asing maupun bahasa asli daerah Finlandia.
Hal ini sangat berbeda jauh dengan
negeri ini, sistem yang masih berantakan, buku anak-anak masih jarang
diterbitkan, acara televisi banyak yang kurang mendidik. Hal ini berdampak pada
generasi-generasi yang tidak siap bersaing di kancah dunia.
Mentalitas-mentalitas pemimpin masa depan, gagal dibentuk. Akhirnya, muncul
pemimpin hedonis, materialistis, serta koruptif.
Dalam hal ini, pendidikan
bertanggung jawab dalam mewujudkan harapan-harapan orangtua, maupun harapan
bangsa. Upaya-upaya mewujudkan harapan itu, harus dilaksanakan dengan
mempertimbangkan potensi-potensi anak. Jika hal ini benar-benar direalisasikan,
masa depan anak dan bangsa yang gemilang akan terjamin. Negeri ini tidak akan
mengalami krisis pemimpin-pemimpin konstruktif. Harapan orangtua dan bangsa
pada pendidikan nasional pun akan terwujud. Wallahu
a'lam bi al-shawaab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar