|
KORAN TEMPO, 29 Mei 2013
“Serangkaian kejadian ini pernah dibongkar oleh beberapa stasiun
televisi. Tapi disanggah habis-habisan oleh pejabat Direktorat Kementerian
Tenaga Kerja.”
Harian Warta Kota edisi
16 Mei 2013 memuat foto headline yang
rada mencengangkan. Foto itu menggambarkan seorang lelaki paruh baya sedang
mengayuh sepeda di Jalan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Di bagian depan sepeda
terdapat keranjang berisi tumpukan barang. Di atas barang itu tampak tergeletak
seorang bayi, dengan bagian atasnya ditutupi plastik.
Foto tersebut diimbuhi
artikel pendek dengan judul "Anak Sakit Tak Punya Uang!". Artikel
tersebut, selain menceritakan upaya si bapak mencari dokter untuk bayi, berisi
kisah lelaki pengendara sepeda motor yang terharu, dan lantas memberikan
sebagian uangnya untuk bapak itu.
Foto ini memperoleh
respons ramai. Di kolom "Pembaca Bicara" koran edisi esoknya, muncul
puluhan surat (yang tadinya dikirim sebagai surat elektronik). Hampir semua
surat menanggapi foto dengan rasa miris, kasihan, dan empati mendalam. Namun,
dari puluhan surat, ada dua yang bernada lain. Dua surat itu meyakini bahwa
yang dilakukan si bapak adalah sebuah trik untuk mengemis, dengan cara memeras
belas kasihan orang.
Apa yang dikatakan dua
penulis surat di atas ternyata diterima oleh banyak orang yang saya temui. "Dia adalah bagian dari gerombolan
pengemis yang setiap kali dikumpulkan di beberapa sudut kota, untuk berpraktek
mengemis dengan segala cara, dari pagi sampai senja hari. Ada organisasinya,
ada bosnya," kata teman yang sangat saya percaya. Ia menunjukkan
puluhan foto faktual tentang hal itu.
Sambil tercenung, saya
langsung membayangkan betapa dunia tipu-tipu sudah kuat berjangkit di setiap
strata masyarakat. Dan mental koruptif sudah genap menyerap sampai ke level
akar rumput. Lalu, dengan keterlibatan kelas akar rumput dalam lingkaran
koruptif, lengkaplah struktur arsitektur korupsi di Indonesia.
Yang level sepeda menipu
pengendara sepeda motor. Sementara kita tahu pengendara sepeda motor sering
main selipselapan dengan polisi kelas jalan raya. Polisi di tikungan
berkedip-kedip mata dengan pengendara mobil angkutan sampai sedan. Untuk
kemudian segenap pengendara mobil dikejutkan oleh ledakan skandal jenderal
simulator ujian SIM. Sebuah realitas yang diam-diam menegaskan bahwa korupsi
telah menjadi bagian dari kebiasaan semua lapisan. Yang kemudian
(jangan-jangan) berkembang jadi "kebudayaan" dengan seribu varian.
Monster
Bahwa mental koruptif
sudah sukses merusak masyarakat lapis atas sampai irisan paling bawah, tetangga
saya adalah saksi aktual. Dia mempekerjakan seorang gadis sebagai pembantu rumah
tangga, sebut saja Rusti namanya. Di sela pekerjaan, Rusti sembunyi-sembunyi
bermain telepon seluler, dan berhubungan dengan lelaki yang tak dikenal. Dari
situ, Rusti ditawari pekerjaan di tempat baru. Tergiur gaji "tinggi"
yang dijanjikan, Rusti pun mau. Namun baru dua hari bekerja di tempat baru,
Rusti telepon ke majikan lama. Ia bilang bahwa dia ditipu oleh lelaki itu, yang
ternyata cuma calo pemorot duitnya. Rusti pun balik kerja di rumah lama dengan
dompet yang kosong-melompong.
Baru tiga minggu balik
kerja, seorang temannya menawari jadi TKI di luar negeri. Rusti pun pamit untuk
masuk ke kamp pelatihan TKI. Untuk biaya masuk ke sana, ia harus mengutang
kepada teman. Untuk sampai pintu keberangkatan, ia harus menghitung utang
kepada yayasan. Sepulang dari sana, setelah dua tahun bekerja, ia dikutip
monster-monster haus uang di Bandara Soekarno-Hatta. Pengutipan itu dimulai di
pintu pesawat, seputar ruang imigrasi, koridor kepulangan, terminal bus dan
taksi, pos porter, sampai mobil angkot yang membawanya ke desa, dengan
melibatkan sopir dan kernetnya. Serangkaian kejadian ini pernah dibongkar oleh
beberapa stasiun televisi, tapi disanggah habis-habisan oleh pejabat Direktorat
Kementerian Tenaga Kerja.
Syahdan, Rusti, yang
namanya dipanjangkan sendiri menjadi "yen keterusan yo mesti mati",
kembali lagi ke majikan lama. Kepada majikan, ia berkata, "Aku ingin menulis surat kepada Presiden untuk mengadukan soal
ini!" Sebuah inisiatif yang berani, tentunya.
Pemimpin perasa
Rusti membayangkan
presidennya sungguh ideal seperti presiden-presiden fiktif dalam film-film
Amerika. Film yang pernah ia tonton sekali waktu, di sela-sela kehebohan
sinetron Tukang Bubur Naik Haji. Ia
membayangkan Presiden Indonesia seperti Harrison Ford dalam film Air Force One, yang berjuang
menyelamatkan orang-orang malang sampai titik darah penghabisan. Ia
membayangkan presidennya seperti Morgan Freeman dalam film Deep Impact. Atau seperti Bill Pullman dalam film Independence Day, yang cepat menindak
semua penyelewengan karena korupsi sekecil apa pun dianggap bisa melahirkan
kekisruhan besar. Tiga karakter presiden ideal yang juga diidamkan masyarakat
Amerika, sebagaimana terdata dalam hasil jajak-pendapat The Credits, yang disponsori Motion Picture of America.
Rusti juga percaya bahwa
presiden sekarang adalah orang yang iso
rumongso, bisa merasa (dengan segenap hati nuraninya). Bukan sekadar
pemimpin yang rumongso iso (merasa
bisa) lantaran tinggi pangkatnya. Rusti juga meyakini bahwa presidennya adalah
manusia-perasaan, yang mampu dengan cepat memahami keluh-kesah rakyat selevel
dia. Seperti Sukarno zaman dulu, yang mampu meraba gejala bahwa bangsa
Indonesia bisa rusak dari bagian atas sampai bagian paling bawahnya, kalau
tidak dibakar semangat character building.
Ooo, ihwal Presiden Sukarno ini, Rusti pernah mendengar secuil kisahnya dari
percakapan majikan dengan tamunya.
Dalam dialog itu, si
majikan terdengar mengutip kata-kata Sukarno dari buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid dua. ".... Saya sering dicemooh orang yang tidak senang kepada saya
bahwa saya adalah manusia-perasaan (gevoels-mens), dan bahwa saya di dalam
politik terlalu bersifat manusia-seni, terlalu bersifat artis. Alhamdulillah ke
hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa saya dilahirkan dengan sifat-sifat gevoels-mens
dan artis, dan saya bangga bahwa bangsa Indonesia pun merupakan satu
bangsa-perasaan, satu gevoelsvolk, dan bangsa artis, satu artistenvolk."
Tuntas kata, Rusti berharap presiden sekarang adalah manusia-perasaan seperti
Sukarno dulu.
Syahdan, surat Rusti
untuk Presiden itu sudah dikirim sangat lama. Tapi krisis mental dan moral
bangsa Indonesia terus menjadi-jadi saja. Rusti nyaris putus harapan, sampai
suatu kali akhirnya ia tahu ihwal lapisan-lapisan kerja birokrasi ini: setelah
pengaduannya lama sekali dipelajari, Presiden menyerahkan berkas Rusti kepada
menteri. Setelah lama diamati, menteri menginstruksikan direktorat jenderal
agar meneliti. Setelah lama diteliti, direktorat jenderal melimpahkan ke
direktur institusi. Untuk kemudian direktur institusi meneruskan surat itu ke
kepala bagian penanganan urusan, agar keluhan si rakyat kecil itu
ditangani.
Lantas, ini dia. Lantaran kepala bagian memilih "map-map yang tebal", map
tipis pengaduan Rusti hilang di selipan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar