|
KOMPAS, 30 Mei 2013
Awal
April 2013, saya ke Turki melihat kemajuan ekonomi dan sosial negara itu. Dalam
pertemuan dengan para pengusaha dan beberapa menteri, saya bertanya harga
bensin di sana dan terkejut mengetahui harganya, TL 4,2 atau Rp 23.000 per
liter.
Saat
mengetahui harga bensin di Indonesia hanya Rp 4.500 per liter, mereka balik
terkejut: seperlima harga bensin di Turki. Jadi, di Turki bensin dipajaki, di
Indonesia disubsidi berat. Turki tetap maju dan tumbuh ekonominya, terbaik di
Timur Tengah dan Eropa.
Harga
BBM di dunia amat bervariasi. Yang termurah di Venezuela dan negara pengekspor
BBM dengan penduduk sedikit, seperti Kuwait, Arab Saudi, dan Qatar. Yang mahal
di Eropa. Indonesia, kita tahu, tak lagi pengekspor, tetapi pengimpor yang kian
membesar. Jadi, harga BBM akan selalu memengaruhi besar-kecil APBN bagi
pembangunan. Kebijakan harga BBM bertahun-tahun selalu jadi perhatian dan debat
terbuka di Tanah Air. Ia dianggap sangat peka secara ekonomi dan sosial, bahkan
bisa mengganggu keamanan.
Seperti
kita maklumi, kebijakan harga sekarang untuk premium dan solar Rp 4.500 per
liter sehingga energi (BBM dan listrik) harus disubsidi pada 2013 lebih dari Rp
300 triliun, sekitar 20 persen dari APBN, lebih besar dari total anggaran
infrastruktur yang sangat penting. Paham yang diajarkan sejak SMA, ekonomi
adalah bagaimana memilih sumber daya dan dana yang terbatas untuk kebutuhan
yang hampir tak terbatas.
Harga BBM dinaikkan atau tidak, bukan itu masalahnya.
Masalahnya adalah apakah dana negara Rp 300 triliun itu tetap dipakai untuk
menyubsidi sebagian besar warga yang punya mobil dan rumah besar dengan AC,
atau dipakai untuk membangun dan memperbaiki jalan, jembatan, dan pertanian
sehingga kita bisa mengurangi impor, serta perbaikan fasilitas kesehatan dan
lain-lain untuk mengurangi kemiskinan.
Dewasa
ini, subsidi BBM sudah melebih kuota anggaran. Artinya, subsidi menyebabkan
defisit, dan defisit dibiayai dengan utang. Relakah kita subsidi untuk mobil
dibayar dengan utang yang nanti dibayar anak cucu?
Jika
pilihannya tetap menyubsidi orang mampu dibandingkan dengan meningkatkan
pembangunan, harga BBM tetap seperti sekarang. Namun, jika kita memilih
memperbaiki prasarana masyarakat, membantu mereka meningkatkan kesejahteraan
dan pertumbuhan ekonomi nasional, serta mengurangi utang, dana subsidi Rp 300
triliun itu harus dikurangi dan dialihkan untuk biaya pembangunan nasional yang
lebih bermanfaat. Cara mengurangi adalah menaikkan harga, melaksanakan
penghematan biaya rutin, dan membasmi korupsi yang membebani pembangunan
ekonomi.
Yang
bermanfaat
Memang,
dalam pilihan kebijakan BBM, tidak ada yang enak. Semua berisiko. Namun,
pemerintah harus memilih yang manfaatnya lebih besar daripada mudaratnya. Kalau
harga BBM tidak naik seperti sekarang ini, pemerintah tidak punya banyak
kemampuan untuk meningkatkan pembangunan atau membantu warga miskin sehingga di
mana-mana jalan dan fasilitas umum, seperti pengairan, sulit diperbaiki dan
dibangun. Akibatnya, di mana-mana macet, pertanian menurun, dan angka
kemiskinan turun lambat.
Pertumbuhan
kita yang di atas 6 persen akan turun tanpa pembangunan infrastruktur dan
pertanian yang baik. Ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi triwulan
I-2013—sesuai dengan laporan BPS. Pada bulan-bulan terakhir ini, kita melihat
pula antrean panjang karena pasokan BBM subsidi dibatasi di banyak daerah,
khususnya di daerah yang memberi sumbangan pada pertumbuhan ekonomi (Kalimantan
dan daerah industri di Jawa). Artinya, akan terjadi penurunan produktivitas
ekonomi kita secara keseluruhan dan melambannya sistem logistik nasional.
Semua
itu akan meningkatkan biaya dan ongkos produksi barang-barang. Akhirnya
inflasi. Jadi, kalau ada alasan tak menaikkan harga BBM karena khawatir
inflasi, justru dengan membatasi pasokan untuk pengendalian kuota, inflasi naik
tanpa manfaat.
Kalau
terjadi kenaikan harga BBM, pasti ada akibat juga: kenaikan berbagai biaya,
seperti biaya angkutan yang lanjutannya pada harga lain. Ini semua bergantung
pada besaran kenaikan.
Kenaikan
harga BBM pada tahun 2005 sebesar 160 persen yang dilakukan dua kali merupakan
yang terbesar dalam sejarah (akibat kenaikan harga minyak dunia 75 dollar AS
per barrel) dan memang menyebabkan naiknya inflasi dan menambah kemiskinan 1
persen pada 2006. Hal itu antara lain disebabkan kenaikan harga minyak tanah
180 persen, dari Rp 700 ke Rp 2.000 per liter. Karena diimbangi bantuan langsung
tunai (BLT) Rp 100.000 per keluarga per bulan, tingkat kemiskinan dan inflasi
kembali turun pada 2007. Jadi, inflasi yang terjadi karena obat untuk
menyehatkan ekonomi tidak sia-sia.
Kenaikan
harga sebesar itu akibat perbuatan pemerintah karena sebelumnya menahan harga
BBM rendah sehingga subsidi mendekati 30 persen dari APBN yang baru sekitar Rp
600 triliun. Tanpa kenaikan harga BBM pada 2005, pemerintah tak bisa berbuat
apa-apa untuk pembangunan.
BLT
Kalau
pemerintah sekarang membiarkan subsidi seperti sekarang, akibatnya akan
ditanggung pemerintah yang akan datang. Siapa pun pemerintah nanti harus
menaikkan harga demi mengurangi subsidi supaya ada dana untuk pembangunan dan
kesejahteraan rakyat. Kalau tidak, terpaksa berutang lagi.
Bila
pemerintah mengurangi subsidi sekarang dengan menaikkan harga 30-35 persen atau
Rp 1.500, efeknya akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2005 dan
2008. Di samping persentasenya kecil, hanya seperenam, juga karena minyak tanah
yang selalu menjadi kebutuhan masyarakat miskin tidak dipakai lagi karena telah
dikonversi ke gas. Jadi, kenaikan hanya pada premium dan solar untuk angkutan.
Solar dan premium dapat dihemat—kalau harga naik—dengan mengurangi perjalanan mobil.
Minyak tanah untuk memasak tentu tidak dapat dikurangi.
Pengurangan
risiko dengan memberi BLT kepada rakyat tetap pilihan yang baik meski dianggap
menguntungkan partai pemerintah. Namun, kita harus memahami, penerima adalah
rakyat kita, rakyat semua partai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar