|
KOMPAS, 31 Mei 2013
Harian
Kompas edisi 20 Mei 2013 merangkum pandangan bahwa setelah 15 tahun reformasi,
partai politik gagal memberikan perubahan substansial kepada rakyat.
Parpol
yang memiliki peran strategis dan penting dalam demokrasi justru terus berkutat
dalam urusan pertarungan kekuasaan dan jabatan demi keuntungan segelintir
elite. Pandangan ini segera diamini berbagai pihak, termasuk sebagai otokritik
elite parpol sendiri. Pertanyaannya, mengapa sampai demikian?
Jawaban
akademisnya: karena parpol abai membangun dan memperkuat kelembagaannya.
Institusionalisasi politik jalan di tempat, kalau bukan malah tekor. Wajah
politik kita, akibatnya, tidak hadir dari pancaran organisasi politik modern
yang memiliki disiplin kesisteman yang baik. Sebaliknya, dinamika digerakkan
oleh ”dawuh para gusti” alias kehendak konsentrasi elite berkuasa. Praktik
”presidensialisme parpol”, ironisnya, terpotret sedemikian itu.
Modernisasi
politik yang ditandai dengan penguatan kelembagaan partai justru di era
reformasi ini tak sepenuhnya dijadikan orientasi. Tradisionalitas patron-klien
atau patronase politik yang meminggirkan logika kemodernan tampak lebih
dominan. Disiplin kesisteman tergeser pemusatan kekuasaan dengan segala
derivasi perilaku elite oligarki partai. Fungsi kepemimpinan politik bergeser
sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan faksional, sesaat, dan kurang
kontributif dalam menyokong perubahan substansial.
Para
elite politik saat ini seharusnya belajar kembali pada pengalaman elite-elite
pelopor kebangsaan tempo dulu. Salah satu pelajaran berharga dari Kebangkitan
Nasional adalah pilihan pergerakan dengan pendekatan organisasi modern.
Berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908—sering dipakai sebagai titik yang menandai
perubahan strategi perjuangan—oleh sejarawan Anhar Gonggong disebutnya dari
fisik ke visi. Strategi fisik yang sebelumnya merujuk pendekatan tradisional
bertransformasi ke strategi visi melalui kehadiran sejumlah organisasi modern.
Modernitas
organisasi kemudian menjadi ciri menonjol tiap pergerakan. Visi sosial-politik
diterjemahkan secara lebih tertata. Militansi terawat oleh disiplin anggota
yang patuh pada sistem. Meskipun organisasi-organisasi tersebut diawasi ketat
pemerintah kolonial, tingkat pelembagaan politiknya tinggi. Konsistensi para
aktivis yang bergerak melalui organisasi modern tampak dari kerapian susunan
pengurus, berjalannya kongres-kongres, dan ragam gebrakan yang terasakan oleh
rakyat.
Berpolitik
secara modern mengemuka. Para elite menyembul ke permukaan dengan peran
kepemimpinan masing-masing. Mereka sangat memperhatikan pengaderan sehingga
organisasi adalah basis kader. Di tengah kondisi rakyat yang sangat terbatas
tingkat pendidikan dan kesejahteraannya, sikap dan kebijakan organisasi
demikian nyata. Para elite tidak elitis. Politik tidak hanya bermakna
mengupayakan kemerdekaan, tetapi juga mencerdaskan dan memajukan kesejahteraan
rakyat.
Deinstitusionalisasi
politik
Para
elite tampil sebagai pemimpin-pemimpin politik yang jelas. Modernitas
organisasi yang dilengkapi sikap kepemimpinan para elitenya klop dengan
sambutan rakyat yang penuh harap. Yang tercipta adalah kebersamaan. Karena itu,
meskipun ditindas penguasa kolonial, gairah perjuangan yang telah memperoleh
bentuk baru kemodernan politik jauh lebih efektif.
Wajah
kemodernan politik kita dewasa ini tampak tereduksi arus kuat
deinstitusionalisasi partai-partai politik. Ini gejala gawat karena dinamika
didominasi sekadar oleh ”tinju-tinju politik” yang tanpa seni. Konsepsi
pelembagaan politik, yang sudah menjadi klasik, misalnya, dikemukakan
Huntington dengan empat kriteria, yakni adaptabilitas, kompleksitas, otonomi,
dan koherensi.
Bagaimanapun,
menekankan stabilitas dan soliditas organisasi, versi Huntington itu, sering
dikritik seolah membenarkan juga jalan nondemokrasi. Berangkat dari kritik itu,
wacana pelembagaan politik dewasa ini nyaris selalu dilekatkan dengan
demokrasi. Dengan demikian, Pelembagaan politik mempersyaratkan keberadaan partai-partai
politik yang demokratis pula. Tantangan utamanya tentu bagaimana stabilitas dan
soliditas politik tercipta secara demokratis.
Ukuran
utamanya adalah terjaminnya proses pengambilan keputusan secara otonom dan
demokratis. Kalau hal itu diabaikan, kemodernan partai diterapkan setengah
hati. Pengambilan keputusan dan kesisteman, selain aspek nilai, merupakan
hal-hal yang mendasar dalam pelembagaan partai. Meskipun semua partai berharap
memperoleh citra yang baik di mata publik, kerangka institusionalisasi tidak
merekomendasikan langkah-langkah yang instan.
Pemusatan
kekuasaan dan langkah-langkah instan pencitraan tidak saja berbahaya bagi
partai bersangkutan, tetapi juga masa depan demokrasi. Dan, sayangnya, hal
seperti itu yang kita rasakan hari-hari ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar