|
MEDIA INDONESIA, 29 Mei 2013
PEMBERITAAN
kasus korupsi yang dilakukan segolongan elite partai politik (parpol) di negeri
ini akan menghasilkan gelombang apatisme publik pada Pemilu 2014. Masyarakat
telah jemu dengan sikap para elite politik yang saban hari hanya diisi dengan
kasus korupsi maupun skandal negatif lainnya. Boleh dibilang, kini banyak
anggota masyarakat tidak memercayai parpol apa pun ideologi mereka, baik itu
nasionalis, agamais, reformis, bahkan pragmatis sekalipun.
Adapun yang ada dalam benak
masyarakat kontemporer, pemilu hanya menjadi ajang menyenangkan elite, tetapi
tidak menyenangkan masyarakat. Idiom yang paling terkenal di masyarakat
sekarang ini ialah memilih hanya membuat orang lain tambah kaya jika nasib
sendiri tidak berubah. Adanya keterbukaan informasi yang begitu me luas menjadikan
masyarakat kian peka dengan persoalan politik.
Maka, strategi klasik kampanye
seperti pemberian janji populis ataupun ajang pembagian sembako gratis belum
tentu akan diikuti elemen masyarakat untuk memilih figur dan parpol yang
bersangkutan. Oleh karena itulah, pilihan menjadi golongan putih pada ajang
Pemilu 2014 merupakan pilihan logis, sekaligus penghukuman dari masyarakat
selaku pemegang mandat tertinggi kekuasaan negara terhadap para elite yang
tidak peduli dengan mereka. Tidaklah mengherankan kalau stigma deparpolisasi
akan secara kontinu menguat seiring dengan semakin terbukanya kasus korupsi
yang dilakukan elite parpol di tahun politik ini.
Indikasi deparpolisasi menuju
pilihan golongan putih kian menguat menjelang Pemilu 2014. Hal tersebut dapat
disimak dengan terjadinya penurunan tingkat pemilih semenjak Pemilu 1999,
dengan 93%. Pemilu 2004 berada di angka 84,9%, sedangkan di Pemilu 2009 voter
turnout-nya berada di angka 70,99%. Bahkan pada Pemilu Kada Jabar 2013, tingkat
voter turnout mencapai 55%. Itu bisa dibaca bahwa masyarakat kian apatis dengan
pemilu serta parpol dan memilih jadi golongan pasif saja.
Kehilangan afeksi
Deparpolisasi secara harfiah dapat
diartikan sebagai matinya parpol di ranah masyarakat yang disebabkan ketiadaan
afiliasi massa terhadap partai dan minimnya aksesibilitas masyarakat kepada
partai (Muhtadi, 2012).
Artinya masyarakat kini telah
hilang rasa afeksi dan rasa afinitas kepada parpol yang dirasa semakin menjauh dari
masyarakat. Minimnya kedua rasa tersebut merupakan manifestasi kegagalan parpol
untuk menyeimbangkan fungsi mereka dalam tiga ranah. Fungsi ranah partai
menurut Richard Katz dan Peter Mair dalam The
Evolution of Party Organizations in Europe: Three Faces of Party Organization
(1994) ada tiga macam; party in public
office, party in the ground, dan party
in the central office.
Partai bekerja dalam ranah
kekuasaan publik (public office) guna
memastikan berjalannya aspirasi publik yang masuk ke tubuh parpol. Partai
memainkan fungsi sebagai pengejar kekuasaan (power seeker) guna menjabat sebagai pengatur jalannya pemerintahan
dan kekuasaan negara. Adapun partai dalam ranah kekuasaan formal berarti
menjalankan fungsi sebagai pelaksana kekuasaan legislatif dan eksekutif baik
sebagai menteri, presiden, maupun anggota parlemen di tingkat nasional dan
lokal.
Meski demikian, seiring dengan
lamanya parpol berada dalam kekuasaan, baik kekuasaan publik (public office) maupun kekuasaan formal (central office), partai kemudian melupakan
dimensi keseimbangan fungsi ranah ketiga, yakni partai dalam ranah masyarakat (party in the ground).
Kondisi tersebut menyebabkan partai
terbajak oleh elite sehingga menjadikan orientasi berpartai dan berideologi
untuk menyeimbangkan fungsi di ketiga ranah tersebut menjadi hilang. Pencarian
menuju kekuasaan abadi menjadi nilai baru sekaligus distorsi fungsi parpol.
Masyarakat pun diperlakukan sebagai objek pasif yang dicekoki janji populis dan
bukan diperlakukan sebagai subjek aktif yang berperan sebagai pengawas jalannya
partai menuju kekuasaan.
Modal kampanye
Harus diakui, hubungan partai dan
masyarakat saat ini tidak lebih dari sekadar hubung an ekonomi belaka dan bukan
didasari hubungan demokrasi. Kebijakan populis partai yang dikenal sebagai pork barrel policy seperti pemberian
bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) menjelang pemilu ataupun kebijakan
populis lainnya sebenarnya tidak lebih dari sekadar uang semir dari partai
kepada masyarakat agar terus memilih mereka pada pemilu nanti.
Adanya logika ekonomi dalam
hubungan partaimasyarakat menjadikan hukum supply-demand berlaku dalam
manajemen kampanye seperti money politics yang tujuannya membeli suara dan hak masyarakat
secara ekonomi pasif. Jika sudah demikian, tidaklah mengherankan kalau aspirasi
masyarakat tidak lebih sekadar komoditas ekonomi bagi partai dan bukan dimaknai
komoditas modal sosial yang perlu diperjuangkan parpol.
Maka menjelang Pemilu 2014 ini,
pilihan menjadi golongan putih merupakan implikasi ketiadaan representasi dari
masyarakat. Partai gagal menjalankan peran sebagai representasi substantif
ataupun representasi deskriptif yang tujuannya menjadikan parpol bertindak dari
(acts for) masyarakat.
Parpol lebih suka berperan sebagai
representasi pemodal daripada rakyat. Dalam suasana kehidupan politik yang
serbaekonomi-materialistis seperti saat ini, representasi masyarakat sebagai demos menjadi hilang sama sekali.
Jiwa demos dari masyarakat kini telah
tergadai oleh jiwa oikos yang
diberikan partai politik yang lebih memaknai hubungan partai dan masyarakat
tidak lebih dari sekadar hubungan ekonomi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar