Jumat, 17 Mei 2013

Pemulihan Citra


Pemulihan Citra
Arfanda Siregar  ;  Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan 
REPUBLIKA, 16 Mei 2013

Rencana pemerintah memberi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) kepada warga miskin yang terkena imbas kenaikan harga BBM tahun ini mengingatkan kita terhadap program bantuan langsung tunai (BLT) yang ditebar pemerintah pada tahun 2005 lalu sebagai antisipasi kenaikan harga BBM kala itu. Resep kuno yang terbukti tak manjur mengurangi derita orang miskin seiring kenaikan harga BBM tersebut sengaja dipilih lagi. Apakah tak punya resep ampuh lain untuk menyelamatkan nasib orang miskin di tengah efek berantai kenaikan harga BBM? 

Resep tak manjur

Hasil evaluasi Bappenas pada tahun 2006 lalu tentang efektivitas program BLT di Indonesia menilai program tersebut tak berhasil. BLT tidak tepat sasaran karena banyak penerima BLT tergolong orang mampu yang punya akses memengaruhi perangkat desa sebagai penentu keluarga yang layak menerima.
Konon, selama masa pembagian BLT, banyak orang kaya yang mendadak jatuh miskin demi mendapatkan dana BLT yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali.

Hasil evaluasi juga menyatakan bahwa cash transfer sebesar Rp 100 ribu sebulan tersebut juga membuat masyarakat menjadi konsumtif karena dana tersebut digunakan membeli barang konsumtif, seperti telepon seluler, televisi, dan barang konsumtif lain secara kredit. Tak salah kalau singkatan BLT kemudian diplesetkan menjadi bantuan langsung tekor. Dari sudut pandang psikologi pun bagi-bagi uang bak sinterkelas seperti BLT tak mendidik. Bukannya membuat penerima bantuan berdaya dan produktif, malah membuat kontraproduktif. Terlalu sering mendapat belas kasihan dengan gelontoran rupiah membuat si penerima menjadi malas dan tak berdaya.

Martin Seligman, seorang ahli psikologi, pun mengintroduksi konsep ketidakberdayaan (learned helplessness) sebagai penjelas atas dampak psikologis dari kesulitan hidup karena faktor struktural. Beliau mengatakan bahwa model-model pemberian santunan uang kepada orang miskin malah memunculkan suasana psikologis dalam bentuk ketidakberdayaan (helplessness) yang melumpuhkan hasrat si penerima santunan agar bisa bangkit secara psikologis. Sering-sering dicekokin uang membuat si penerima hilang percaya diri (uncontrollability) yang berujung kepada ketidakberdayaan.

Orang yang terbiasa berkerja keras pun akan menjadi pemalas karena dimanja oleh donatur. Memang , kalau dipandang dengan kacamata politik, bagi-bagi uang untuk meminimalkan dampak kenaikan harga BBM cukup ampuh menaikkan citra pemerintah. Dana BLSM senilai Rp 13 triliun yang akan dikucurkan kepada 65 juta warga miskin dan rentan miskin tersebut bakal disambut meriah oleh mereka. Bayangkan saja, dalam sejarah pemerintahan Indonesia, baru rezim Susilo Bambang Yudoyhono yang punya program bagi-bagi uang kepada rakyat. Bagaimana tak disambut suka cita?

Santunan dalam bentuk uang kas tentu menyenangkan warga yang tak pernah mendapatkan uang. Siapa sih yang menolak dikasih duit bulanan seperti pegawai negeri? Makanya, ketika ditanya kepada penerima BLSM atas program tersebut, jawabannya pasti setuju dan mendukung. Jelas, pendekatan ini sengaja dipergunakan sebagai senjata ampuh melawan reaksi masyarakat antikenaikan harga BBM.

Pengalaman pembagian BLT yang sukses menaikkan citra pemerintah sehingga menang mutlak pada Pemilu 2009 dan pilpres lalu hendak diulang pada Pemilu 2014. Paling tidak, pembagian BLSM dapat memperbaiki data kemiskinan di Indonesia. Bayangkan saja, kalau tahun depan--ketika menjelang pemilu--diadakan pendataan orang miskin, maka otomatis jumlah orang miskin akan berkurang. Logikanya mudah saja, uang BLSM yang dibagi-bagi akan menambah total pendapatan mereka. Bukankah penambahan pendapatan tersebut dapat menyulap pendapatan per kapita Indonesia menjadi lebih baik. Atau dengan kata lain, jutaan warga penerima BLSM tidak lagi dikategorikan sebagai keluarga miskin. 

Ketika program BLSM dihapus, keluarga-keluarga yang berhasil masuk kategori tidak miskin (near poor) praktis kembali masuk kategori miskin. Tapi, siapa peduli dengan fakta tersebut. Pemerintah SBY sudah memperkirakan bahwa bagi-bagi uang tunai langsung kepada masyarakat miskin jauh lebih ampuh menaikkan citra ketimbang membuat program yang bersifat pemberdayaan orang miskin. 

Padahal, orang Indonesia bukan tipe pemalas, tapi pekerja keras. Mereka miskin bukan karena malas, tapi keadaan yang memaksa mereka sulit bangkit dari kemiskinannya. Mulai dari ketiadaan akses, jaringan, kesempatan, dan diskiriminasi membuat kemiskinan seperti penyakit keturunan. Orang miskin di negeri ini pekerja keras. Mereka siap menempuh badai dan topan menyeberangi lautan demi mempunyai perkerjaan. Coba lihat tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di negara asing itu.

Namun, uang tunai yang rutin diberikan pemerintah seperti BLSM selama beberapa bulan malah dapat membuat orang miskin menjadi pemalas, tak berdaya. Yang dibutuhkan orang miskin adalah program-program yang dapat memudahkan mereka mendapatkan akses dan kesempatan yang setara dengan warga lain dalam mengubah hidupnya, seperti pembangunan infrastruktur.
Kegiatan pembangunan infrastruktur bakal menciptakan lapangan kerja untuk orang miskin. Atau, dana subsidi bisa dialokasikan untuk subsidi pupuk dan pembangunan irigasi yang bakal jauh lebih bermanfaat dalam jangka panjang bagi petani miskin. 

Jika pemerintah peduli atas nasib orang miskin di tengah kenaikan harga BBM, maka pemanfaatan dana kompensasi kenaikan BBM harus benar-benar bermanfaat bagi kemaslahatan warga miskin. Bukan sekadar bagi-bagi uang yang efeknya hanya sekadar kepentingan jangka pendek, yaitu kemenangan partai pimpinan Presiden pada Pemilu 2014. Persis ibarat pepatah yang mengatakan mencari kesempatan di tengah kesempitan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar