|
REPUBLIKA,
16 Mei 2013
Rencana
pemerintah memberi bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) kepada warga
miskin yang terkena imbas kenaikan harga BBM tahun ini mengingatkan kita
terhadap program bantuan langsung tunai (BLT) yang ditebar pemerintah pada
tahun 2005 lalu sebagai antisipasi kenaikan harga BBM kala itu. Resep kuno
yang terbukti tak manjur mengurangi derita orang miskin seiring kenaikan harga
BBM tersebut sengaja dipilih lagi. Apakah tak punya resep ampuh lain untuk
menyelamatkan nasib orang miskin di tengah efek berantai kenaikan harga BBM?
Resep tak manjur
Hasil
evaluasi Bappenas pada tahun 2006 lalu tentang efektivitas program BLT di
Indonesia menilai program tersebut tak berhasil. BLT tidak tepat sasaran karena
banyak penerima BLT tergolong orang mampu yang punya akses memengaruhi
perangkat desa sebagai penentu keluarga yang layak menerima.
Konon, selama masa pembagian BLT, banyak orang kaya yang mendadak jatuh miskin demi mendapatkan dana BLT yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali.
Konon, selama masa pembagian BLT, banyak orang kaya yang mendadak jatuh miskin demi mendapatkan dana BLT yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali.
Hasil
evaluasi juga menyatakan bahwa cash
transfer sebesar Rp 100 ribu sebulan tersebut juga membuat masyarakat
menjadi konsumtif karena dana tersebut digunakan membeli barang konsumtif,
seperti telepon seluler, televisi, dan barang konsumtif lain secara kredit. Tak
salah kalau singkatan BLT kemudian diplesetkan menjadi bantuan langsung tekor. Dari
sudut pandang psikologi pun bagi-bagi uang bak sinterkelas seperti BLT tak
mendidik. Bukannya membuat penerima bantuan berdaya dan produktif, malah membuat
kontraproduktif. Terlalu sering mendapat belas kasihan dengan gelontoran rupiah
membuat si penerima menjadi malas dan tak berdaya.
Martin
Seligman, seorang ahli psikologi, pun mengintroduksi konsep ketidakberdayaan (learned helplessness) sebagai
penjelas atas dampak psikologis dari kesulitan hidup karena faktor struktural.
Beliau mengatakan bahwa model-model pemberian santunan uang kepada orang miskin
malah memunculkan suasana psikologis dalam bentuk ketidakberdayaan (helplessness) yang melumpuhkan hasrat si
penerima santunan agar bisa bangkit secara psikologis. Sering-sering
dicekokin uang membuat si penerima hilang percaya diri (uncontrollability) yang berujung kepada ketidakberdayaan.
Orang
yang terbiasa berkerja keras pun akan menjadi pemalas karena dimanja oleh
donatur. Memang , kalau dipandang dengan kacamata politik, bagi-bagi uang untuk
meminimalkan dampak kenaikan harga BBM cukup ampuh menaikkan citra pemerintah.
Dana BLSM senilai Rp 13 triliun yang akan dikucurkan kepada 65 juta warga
miskin dan rentan miskin tersebut bakal disambut meriah oleh mereka. Bayangkan
saja, dalam sejarah pemerintahan Indonesia, baru rezim Susilo Bambang Yudoyhono
yang punya program bagi-bagi uang kepada rakyat. Bagaimana tak disambut
suka cita?
Santunan
dalam bentuk uang kas tentu menyenangkan warga yang tak pernah mendapatkan
uang. Siapa sih yang menolak dikasih duit bulanan seperti pegawai negeri?
Makanya, ketika ditanya kepada penerima BLSM atas program tersebut, jawabannya
pasti setuju dan mendukung. Jelas, pendekatan ini sengaja dipergunakan sebagai
senjata ampuh melawan reaksi masyarakat antikenaikan harga BBM.
Pengalaman
pembagian BLT yang sukses menaikkan citra pemerintah sehingga menang mutlak
pada Pemilu 2009 dan pilpres lalu hendak diulang pada Pemilu 2014. Paling
tidak, pembagian BLSM dapat memperbaiki data kemiskinan di Indonesia. Bayangkan
saja, kalau tahun depan--ketika menjelang pemilu--diadakan pendataan orang
miskin, maka otomatis jumlah orang miskin akan berkurang. Logikanya mudah
saja, uang BLSM yang dibagi-bagi akan menambah total pendapatan mereka.
Bukankah penambahan pendapatan tersebut dapat menyulap pendapatan per kapita
Indonesia menjadi lebih baik. Atau dengan kata lain, jutaan warga penerima BLSM
tidak lagi dikategorikan sebagai keluarga miskin.
Ketika
program BLSM dihapus, keluarga-keluarga yang berhasil masuk kategori tidak
miskin (near poor) praktis kembali
masuk kategori miskin. Tapi, siapa peduli dengan fakta tersebut. Pemerintah SBY
sudah memperkirakan bahwa bagi-bagi uang tunai langsung kepada masyarakat miskin
jauh lebih ampuh menaikkan citra ketimbang membuat program yang bersifat
pemberdayaan orang miskin.
Padahal,
orang Indonesia bukan tipe pemalas, tapi pekerja keras. Mereka miskin bukan
karena malas, tapi keadaan yang memaksa mereka sulit bangkit dari kemiskinannya.
Mulai dari ketiadaan akses, jaringan, kesempatan, dan diskiriminasi membuat
kemiskinan seperti penyakit keturunan. Orang miskin di negeri ini pekerja
keras. Mereka siap menempuh badai dan topan menyeberangi lautan demi mempunyai
perkerjaan. Coba lihat tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di negara
asing itu.
Namun,
uang tunai yang rutin diberikan pemerintah seperti BLSM selama beberapa bulan
malah dapat membuat orang miskin menjadi pemalas, tak berdaya. Yang dibutuhkan
orang miskin adalah program-program yang dapat memudahkan mereka mendapatkan
akses dan kesempatan yang setara dengan warga lain dalam mengubah hidupnya,
seperti pembangunan infrastruktur.
Kegiatan pembangunan infrastruktur bakal menciptakan lapangan kerja untuk orang
miskin. Atau, dana subsidi bisa dialokasikan untuk subsidi pupuk dan
pembangunan irigasi yang bakal jauh lebih bermanfaat dalam jangka panjang bagi
petani miskin.
Jika
pemerintah peduli atas nasib orang miskin di tengah kenaikan harga BBM, maka
pemanfaatan dana kompensasi kenaikan BBM harus benar-benar bermanfaat bagi
kemaslahatan warga miskin. Bukan sekadar bagi-bagi uang yang efeknya hanya
sekadar kepentingan jangka pendek, yaitu kemenangan partai pimpinan Presiden
pada Pemilu 2014. Persis ibarat pepatah yang mengatakan mencari kesempatan
di tengah kesempitan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar