|
KOMPAS, 30 Mei 2013
Dengan
suara bulat alias tanpa dissenting
opinion, hakim konstitusi mengabulkan sebagian (besar) permohonan uji
materi Dewan Perwakilan Daerah terhadap sejumlah pasal dalam UU No 27/2009 dan
UU No 12/2011.
Dengan
dikabulkannya permohonan tersebut, perjuangan panjang yang telah berlangsung
lebih dari delapan tahun untuk meneguhkan peran dan fungsi legislasi senator
Senayan mulai mendapatkan titik terang. Bila dibaca secara tepat semangat dan
substansi putusan Mahkamah Konstitusi (MK), hampir dapat dipastikan, para
senator di DPD memiliki kesempatan luas mengoptimalkan peran mereka sebagai
representasi kepentingan daerah dalam proses pembentukan UU.
Paling
tidak, optimalisasi fungsi legislasi DPD terkait wewenang dalam Pasal 22D Ayat
(1) dan (2) UUD 1945. Tidak hanya sebatas meneguhkan peranan DPD dalam proses
legislasi, putusan MK juga mendudukkan kembali bagaimana fungsi legislasi
sesungguhnya berlangsung sesuai kehendak UUD 1945 setelah perubahan. Secara
sederhana, sekiranya putusan MK dimaknai secara benar, fungsi legislasi akan
hadir dan berlangsung dalam paradigma baru: relasi DPR-DPD-Presiden akan
berlangsung secara efektif.
Namun,
melihat resistensi sejumlah pihak di DPR, paradigma baru fungsi legislasi ini
potensial menjadi macan kertas. Boleh jadi, melihat perkembangan yang ada,
segala macam upaya akan dilakukan untuk menegasikan putusan MK. Padahal,
sebagai putusan yang bersifat final, mengabaikan putusan MK akan menimbulkan
implikasi hukum yang tak sederhana terhadap UU yang dihasilkan.
Monumen
kegagalan
Sebetulnya,
masalah terbatasnya fungsi legislasi DPD bukan perdebatan yang hanya muncul
saat ini. Sejak semula, begitu kewenangan DPD disepakati dalam perubahan ketiga
UUD 1945 (2001), sudah bermunculan banyak kritik bahwa lembaga ini tidak akan
mampu memosisikan dirinya merepresentasikan kepentingan daerah. Alasannya,
konstitusi hanya menyediakan ruang amat sempit bagi DPD dalam proses
pembentukan UU.
Sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945, fungsi legislasi DPD
terbatas dengan frasa ”dapat mengajukan” dan ”ikut membahas” RUU yang berkaitan
dengan hubungan pusat dan daerah. Seperti hendak menempatkan DPD sebagai
subordinasi, pengajuan tersebut disampaikan ke DPR. Lebih jauh, dalam RUU APBN
dan yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama, DPD sekadar memberi
pertimbangan.
Perkembangan
selanjutnya, kewenangan ”dapat mengajukan” dan ”ikut membahas” seperti
mengalami pembonsaian secara sistemik. Misalnya, dalam ”dapat mengajukan”,
sejumlah pasal dalam UU No 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
mempersamakan RUU dari DPD dengan usul RUU yang berasal dari anggota DPR.
Padahal, UUD 1945 secara jelas membedakan antara RUU dan usul RUU. Celakanya,
upaya mereduksi kewenangan DPD dalam ”ikut mengajukan” ini diperkuat pula dalam
UU No 12/2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Begitu
juga soal ”ikut membahas”, sejumlah pasal dalam UU No 27/2009 dan UU No 12/2011
makin mempersempit kewenangan DPD untuk ikut membahas RUU yang berkaitan dengan
hubungan pusat dan daerah. Misalnya, secara jelas diatur DPD hanya dapat
terlibat dalam pembahasan tingkat pertama. Tidak hanya itu, diatur pula daftar
inventarisasi masalah (DIM) hanya dapat diajukan oleh presiden dan DPR.
Dengan
menggunakan cara berpikir a contrario, aturan demikian tidak memberikan ruang
kepada DPD untuk mengajukan DIM. Padahal, sejatinya DIM merupakan ”mahkota”
dalam membahas RUU. Upaya pembonsaian dalam desain besar fungsi legislasi dapat
pula dilacak dengan menisbikan peran DPD dalam penyusunan program legislasi
nasional (prolegnas). Dalam posisi sebagai instrumen perencana, menihilkan
peran DPD dalam Program Legislasi Nasional dapat dibaca sebagai bentuk
pengingkaran Pasal 22D UUD 1945. Bahkan, seperti batu jatuh ke lubuk, dalam
praktik, hampir semua usul DPD menjadi santapan rayap. Ujung dari semua itu,
RUU dari DPD menjadi monumen kegagalan fungsi legislasi.
Pola
bipartit
Sebagai
penafsir konstitusi, MK telah mengembalikan makna hakiki fungsi legislasi dalam
UUD 1945. Tentu saja, kalangan yang tidak menerima putusan ini akan dengan
mudah menilai bahwa MK kebablasan dalam mengabulkan permohonan DPD. Namun, dari
sudut pandang teoretik, MK dapat memberikan tafsir terhadap kewenangan
legislasi DPD. Dalam hal ini, KC Wheare, dalam Modern Constitutions (1975), menyebutkan perubahan konstitusi
dilakukan melalui penafsiran kuasa judisial (judicial interpretation).
Dengan cara ini, teks konstitusi tidak
mengalami perubahan, tetapi hakim memberikan tafsir baru.
Dikaitkan
dengan putusan, penafsiran MK hanya memperjelas fungsi legislasi DPD pada frasa
”dapat mengajukan” dan ”ikut membahas”. Tak hanya menjernihkan, putusan MK juga
mengembalikan fungsi legislasi sebagaimana dimaksud Pasal 22D UUD 1945. Karena
akan mengubah pola yang berlangsung selama ini, banyak pihak berpendapat,
putusan MK akan menghadirkan paradigma baru, yaitu keterlibatan/ketersambungan
tiga institusi, yaitu DPR, DPD, dan Presiden. Dengan demikian, pelaksanaan
fungsi legislasi akan menghadirkan praktik tripartit.
Di
dalam batas kewenangan legislasi Pasal 22D UUD 1945, praktik tripartit dimulai
dengan meniscayakan peran DPD sejak penyusunan prolegnas. Selama tidak diberi
peran sama dengan DPR dan presiden, sulit bagi DPD untuk mengoptimalkan peran
mengusulkan RUU yang terkait dengan hubungan pusat dan daerah. Bagaimanapun,
prolegnas akan memengaruhi inisiatif pengajuan RUU. Mengabaikan peran DPD
menyusun prolegnas sama saja mempersempit kesempatan DPD memperjuangkan
aspirasi daerah dalam proses pembentukan UU.
Namun,
upaya mengembalikan kepada makna pembentukan UU sesuai maksud UUD 1945 dapat
dilacak dari relasi DPR-DPD-presiden dalam pembahasan RUU. Dalam putusan MK,
mekanisme legislasi baru dalam pembahasan RUU dilakukan ketiga lembaga itu.
Sejauh kewenangan dalam Pasal 22D, pembahasan yang dilakukan DPR-DPD-presiden
baru dapat dimulai jika RUU telah selesai di internal masing-masing lembaga.
Dalam posisi demikian, pembahasan semua RUU yang terkait wewenang DPD dalam
Pasal 22D tidak akan ada lagi pembahasan antara DPD dan presiden dengan
fraksi-fraksi DPR. Dengan putusan MK, pembahasan yang masih melibatkan
fraksi-fraksi DPR akan menjadi sebuah proses yang inkonstitusional. Artinya,
menggunakan pola ini, pembahasan RUU di luar Pasal 22D yang hanya dalam
wewenang DPR dan presiden mestinya dimulai dengan paradigma baru pula: pola
bipartit.
Lebih
efektif
Secara
konstitusional, dengan pola baru yang ditawarkan, putusan MK tidak hanya
sebatas memperjelas fungsi legislasi DPD, tetapi juga mengembalikan makna
pembahasan bersama yang diatur konstitusi. Dikatakan demikian karena UUD 1945
secara eksplisit menyatakan, pembahasan dilakukan antar-institusi
(DPR-DPD-presiden atau DPR-presiden) dan bukan antara fraksi-fraksi DPR dan
institusi DPD-presiden. Berdasarkan penjelasan ini, putusan MK mengubah secara fundamental
pola pembahasan yang dilakukan selama ini, yaitu dengan memosisikan sama antara
fraksi-fraksi DPR dengan presiden dan/atau DPD. Padahal, pandangan fraksi tidak
mencerminkan pendapat DPR sebagai institusi. Apalagi, sebagai perpanjangan
tangan partai politik, fraksi bukan alat kelengkapan DPR.
Saya
percaya, sekiranya pembentuk UU (terutama DPR dan presiden) melaksanakan
putusan MK, proses legislasi akan berlangsung jauh lebih efektif dan efisien.
Saat ada pembahasan bersama sebuah RUU, sesama anggota DPR tak perlu saling
berhadapan. Begitu pula pemerintah, tak lagi menghadapi fraksi-fraksi karena
DPR akan datang dalam pembahasan bersama dengan DIM institusi. Bagi anggota
DPR, mereka tak perlu merasa fraksi jadi kehilangan peran dalam proses pembentukan
UU. Pada batas-batas tertentu, yang terjadi justru sebaliknya, peran fraksi
jadi jauh lebih fokus. Jika sebelumnya fraksi kelihatan dalam pembahasan
bersama dengan pemerintah, pasca-putusan MK perannya terjadi saat pembahasan
antarfraksi di internal DPR. Dengan peranan yang jauh lebih fokus, kinerja
masing-masing fraksi DPR dapat dinilai fair dan terbuka.
Tak
hanya itu, ketika fraksi memperdebatkan substansi RUU, masyarakat pun lebih
mudah menilai kecenderungan dan kinerja setiap fraksi. Artinya, bila selama ini
terjadi masalah dengan substansi UU, acap kali DPR yang menjadi sasaran
tudingan. Namun, pascaputusan MK, sasaran utama akan berpindah ke fraksi.
Dengan demikian, pembahasan RUU tak hanya lebih efektif saat pembahasan bersama
antara DPR-pemerintah (dan DPD), tetapi juga saat pembahasan di internal DPR.
Cacat
formal
Sebagaimana
disebut di awal, sesudah lebih dari dua bulan putusan MK dibacakan (27/3),
perjuangan untuk melaksanakan paradigma baru fungsi legislasi masih jauh dari
selesai. Salah satu bukti, sejak dibacakan, belum terlihat tanda-tanda
pemerintah dan DPR melaksanakan putusan MK. Sejauh ini, proses legislasi yang
berkaitan dengan wewenang DPD dalam Pasal 22D UUD 1945 masih berlangsung
seperti sebelum putusan MK. Sebagai putusan yang bersifat final dan berlaku
sejak dibacakan, seharusnya DPR dan pemerintah menyesuaikan proses pengajuan
dan pembahasan RUU dengan semangat dan amanat putusan MK. Bahkan, semua
pembahasan, sepanjang terkait wewenang DPD, yang sedang dilakukan di DPR
semestinya dihentikan lebih dahulu. Bagaimanapun, melanjutkan pembahasan dapat
dikatakan sebagai bentuk pembangkangan nyata atas putusan MK.
Betapa
pun, DPR dan pemerintah tidak bisa menggunakan dalih, pelaksanaan putusan MK
harus menunggu perubahan UU No 27/2009 dan UU No 12/2011. Begitu pula, DPR
tidak pula dapat menggunakan alasan tidak dapat melaksanakan putusan MK karena
peraturan tata tertib DPR belum diubah. Secara hukum, jika putusan MK tidak
dijalankan, proses pembentukan UU adalah cacat formal. Pihak yang dirugikan
oleh proses yang cacat secara formal akan mudah membangun alas hak (legal standing) untuk hukum mengajukan
permohonan uji formal ke MK. Karena itu, DPR dan pemerintah harus menyimak baik
pernyataan Ketua MK HM Akil Mochtar bahwa lembaga yang dipimpinnya akan
membatalkan semua UU yang dibuat jika bertentangan dengan putusan MK. Perlu
dicatat, sekiranya uji formal dikabulkan, yang dibatalkan tidak hanya
pasal-pasal atau bagian tertentu saja dari UU, tetapi juga akan merontokkan UU
secara keseluruhan. Lalu, haruskah menunggu sebuah UU dibatalkan terlebih
dahulu melalui uji formal sebelum melaksanakan putusan MK? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar