|
KOMPAS, 29 Mei 2013
Mahkamah Konstitusi menolak permohonan Uji
Materi UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yaitu terkait Pasal 9
yang berbunyi, ”Kualifikasi akademik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program
sarjana atau program diploma empat” (Kompas, 30/3).
Pemohon memberikan alasan bahwa pasal itu
memberikan ketidakpastian pada profesi guru yang bersifat khusus bagi pemegang
gelar sarjana pendidikan yang dihasilkan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK). Dengan keputusan MK ini, sarjana apa pun saat ini bisa
jadi seorang guru. Tragis.
Ingatan saya melayang jauh saat saya menempuh
pendidikan calon guru di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) yang sudah dibubarkan
dan kuliah di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan (IKIP) yang sekarang berubah
menjadi universitas. Bersekolah di SPG memerlukan ketabahan hati yang luar
biasa. Profesi guru yang saat itu masih dipandang rendah menjadikan kami,
murid-murid SPG, menerima pelecehan. Jika berpapasan dengan anak SMA, mereka
memberi salam, ”Selamat pagi Pak Guru!” dengan
nada mengejek. Kami mendapat sebutan sebagai Oemar Bakri, sosok guru yang
digambarkan dalam lagu oleh Iwan Fals.
Anak laki-laki susah mendapatkan pacar karena
tidak ada yang sudi berpacaran dengan calon guru. Namun, kami menjalani dengan
tabah dan senang hati sebab profesi guru profesi luhur.
Di IKIP juga demikian. Mahasiswa IKIP ibarat
golongan mahasiswa kelas III setelah mahasiswa universitas umum dan universitas
swasta favorit. Kami menutupi identitas sebagai mahasiswa IKIP. Di tempat
kuliah kerja nyata, mahasiswa IKIP tidak menerima sambutan yang layak dari
pejabat pemerintah. Berbeda dengan mahasiswa dari universitas umum yang berasal
dari kalangan kaya. Gelar Doktorandus (Drs) diplesetkan menjadi Doktorambles.
Yang sekolah di SPG umumnya anak-anak keluarga miskin.
Masuk IKIP atau Fakultas Keguruan Ilmu
Pendidikan (FKIP) umumnya pilihan kedua atau ketiga daripada tidak kuliah.
Tamat dari SPG atau IKIP jarang ada yang membaktikan ilmunya sebagai guru.
Mereka memilih pekerjaan lain selain guru sebab lebih menjanjikan dari segi
ekonomi.
Tamat dari SPG/IKIP, saya menggigit perasaan
sendiri. Gaji yang saya terima sangat jauh dari gaji buruh pabrik. Untuk
menutupi kekurangan, saya terpaksa menerima mengajar les privat. Berangkat kerja
jalan kaki. Agar tidak berkeringat saat sampai sekolah, kami memakai kaus
oblong. Seragam guru model baju safari menjadi bahan candaan atau olok-olok
para pelawak.
Dalam film sosok guru digambarkan sebagai
sosok bijak bestari, tetapi juga konyol dan sasaran jahil anak-anak orang kaya.
Saudagar yang kaya raya mengancam anak gadisnya yang tidak menurut orangtua
untuk menikah dengan sesama anak saudagar akan dinikahkan dengan guru.
Penggambaran yang sangat stereotip nestapa itulah yang menyebabkan siapa pun
tidak akan memilih profesi guru.
Era baru guru
Kini keadaan sudah berubah. Profesi guru
menjadi rebutan. FKIP menjadi rebutan calon mahasiswa. Untuk program S-1
PGSD/PAUD, rasio mahasiswa yang diterima dengan jumlah pendaftar mencapai
1:140. Mahasiswa FKIP berani berjalan tegak. Kegiatan kampus yang diprakarsai
mahasiswa FKIP berjalan penuh gairah. Mereka berani menunjukkan jati diri
sebagai calon guru pendidik tunas-tunas muda. Bahkan, mahasiswa S-1 PGSD/PAUD
berani tampil beda dengan seragam kuliah baju putih celana hitam dengan sepatu
pantofel hitam. Saya trenyuh dan bangga melihat mereka. Saya yakin dunia
pendidikan akan lebih baik lagi sebab dijalankan oleh mereka yang benar-benar
memilih profesi guru sejak dini.
Mengapa? Sebab profesi ini menjanjikan secara
ekonomi. Pemberian tunjangan profesi bagi guru yang sudah bersertifikasi
menyebabkan banyak guru mampu membeli mobil, memiliki rumah layak,
menyekolahkan anak hingga pendidikan tinggi, dan berkiprah dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Guru jadi profesi idaman. Anak FKIP unjuk gigi dengan
membuat kaus atau jaket yang menandakan bahwa mereka calon guru.
Saat tahu MK menolak gugatan, hati saya marah
sebab siapa pun kini bisa jadi guru asalkan dia berpendidikan sarjana atau
diploma empat dari jurusan apa pun, fakultas apa pun. Saya bergumam, guru sudah
jadi profesi sampah.
Mereka yang tak memperoleh pekerjaan sesuai
bidang pendidikannya menyerbu profesi ini dan menggusur para sarjana pendidikan
yang sedari awal sudah mewakafkan diri sebagai guru. Di beberapa sekolah, latar
belakang pendidikan tenaga pendidik kini berbagai macam. Ada yang SE, SH, ST,
SP. Mereka jadi guru karena kepepet tidak diterima bekerja sesuai dengan bidang
yang ditempuh saat kuliah.
Memang Pasal 9 UU No 14/2005 tentang Guru dan
Dosen tak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, andaikata hakim MK menanyakan
kepada sarjana non-kependidikan mengapa mereka bekerja sebagai guru yang
semestinya dikhususkan kepada sarjana pendidikan, jawabannya kemungkinan adalah
kepepet, ketimbang demi kemajuan dunia pendidikan itu sendiri. Akibat kondisi
ini, lulusan FKIP akan terdesak dan dirugikan. Mereka kuliah di FKIP/LPTK
karena niat sejak awal ingin menjadi guru, bekerja sesuai bidang keilmuannya.
Saya ingin menggugat, bolehkah profesi khusus
seperti dokter, pengacara, hakim, dan notaris diisi lulusan pendidikan tinggi
apa pun? Jika boleh, maka saya orang pertama yang akan menjadi hakim supaya
wajah hukum negeri ini tidak buram. Saya akan menjadi pengacara agar bisa
memberikan bantuan hukum gratis di pengadilan. Pasti saya akan diprotes lulusan
Fakultas Hukum sebab ladang pekerjaannya saya rebut.
Profesi guru itu juga profesi khusus sehingga
pendidikan yang diperolehnya pun berisi materi pembelajaran yang khusus pula.
Saat saya sekolah di SPG, pelajaran yang saya terima berbeda jauh dengan
pelajaran anak SMA. Ada pelajaran Psikologi Pendidikan, Psikologi Anak, Ilmu
Pendidikan, Materi dan Metode Penilaian untuk semua pelajaran umum di SD,
Simulasi Mengajar, Kurikulum, dan lain-lain sehingga saat tamat SPG dan
mengajar saya tak mengalami kendala dalam mengajar dan menghadapi anak didik.
Banyak ilmu yang diberikan saat kuliah di
FKIP dan digunakan sebagai bekal untuk mendidik anak yang berasal dari berbagai
latar belakang sosial ekonomi.
Palu hakim MK memang sudah diketuk dan
bersifat final. Namun, sebagai sumbang saran, sudah sewajarnya sekolah-sekolah
tetap menyeleksi calon guru yang akan mengajar sehingga seyogianya guru
memiliki latar belakang pendidikan guru. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar