|
SUARA KARYA, 27 Mei 2013
Selama ini, nilai tukar rupiah
memang sudah bergerak anomali. Pergerakannya tak sejalan dengan Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG). Di saat IHSG mencapai rekor level tertinggi, rupiah
justru terus melemah. Demikian juga jika dibandingkan dengan mata uang lain di
regional Asia.
Jika mata uang negara lain,
seperti bath Thailand atau ringgit Malaysia, bisa bergerak mengikuti arus mata
uang global, baik dalam sisi positif maupun negatif, maka rupiah
berkecenderungan terus bergerak turun.
Sangat jelas, di dalam negeri,
likuiditas dolar memang sangat kering. Supply tak sesuai dengan demand. Tak ada
yang mau melepas dolarnya, semua menahan untuk menjual dolar, padahal kebutuhan
valas tentu masih besar, baik untuk kebutuhan impor maupun membayar utang pokok
dan bunganya.
Akhirnya pelemahan rupiah terhadap
dolar AS malah kian dalam. Ditambah lagi, dolar AS kembali menjadi save heaven currency. Ini dibuktikan
dengan naiknya indeks Dow Jones di Amerika Serikat (AS). Dolar pun kembali
berjaya, sementara rupiah bahkan sempat hampir menyentuh kisaran Rp 9.800 per
dolar AS.
Kondisi rupiah kelihatannya akan
makin terancam menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), meski masih
tidak jelas kapan kepastiannya. Pergerakan negatif rupiah pun tampaknya akan
terus berlangsung sebelum dan sesudah terjadinya inflasi yang diperkirakan
terjadi seiring kenaikan harga BBM.
Akan ada antisipasi dari pasar,
akan ada yang namanya pembelian on rummor terhadap dolar (sebelum terjadi).
Setelah terjadi inflasi tambahan, tentu rupiah pun dianggap tak lagi menarik,
orang tak mau memegang rupiah, sehingga nilainya makin jatuh terhadap mata uang
negara lain, termasuk dolar AS.
Suplier dolar saat ini praktis
hanya Bank Indonesia (BI). Namun, BI tentu tak mungkin terus menahan pelemahan
rupiah mengingat cadangan devisa pun sudah terus habis terkuras. Padahal,
cadangan devisa bukan hanya untuk keperluan mengamankan mata uang, melainkan
juga untuk kebutuhan impor.
Dengan kata lain, susah bagi kita
untuk berharap bahwa nilai tukar rupiah akan kembali ke kisaran awal 2012. Saat
itu rupiah ada di level Rp 9.300 per dolar AS. Saat ini, dolar bisa menyentuh
Rp 9.700 saja sudah dianggap ideal untuk melakukan pembelian, terlebih akan ada
tekanan negatif dari inflasi dampak kenaikan harga BBM.
Sangat disayangkan, pemerintah
kita memang tak bisa mengelola nilai tukarnya dengan baik. Dibutuhkan keberanian
besar untuk mengubah rezim devisa dan sistem nilai tukar kita. Rezim devisa
bebas dan sistem nilai tukar mengambang (floating
exchange rate) telah membuat rupiah kita selalu bergerak anomali.
Dengan rezim ini, sampai kapan pun
akan sulit membuat rupiah stabil dan mampu bersaing dengan mata uang negara
lain. Padahal, mata uang yang sehat seharusnya bisa menjamin anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN) yang sehat pula. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar