|
JAWA POS, 27 Mei 2013
KONFERENSI Wilayah (Konferwil) NU Jawa Timur 31 Mei - 2 Juni 2013
sangat istimewa. Selain berbarengan dengan Harlah Ke-90 NU, juga bertepatan
dengan pemutaran serentak di se luruh Indonesia film Sang Kiai, film kolosal yang
mengisahkan perjuangan Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy'ari dalam merebut
kemerdekaan RI.
Seperti kita ketahui, Bung Karno lewat utusannya minta fatwa kepada Mbah Hasyim (panggilan akrab pendiri NU itu) soal hukum membela tanah air, bukan membela agama. Mbah Hasyim memberikan fatwa wajib hukumnya membela tanah air dalam formulasi resolusi jihad. Bahkan, dalam radius 94 km (sesuai jarak qashar salat) haram bagi warga NU atau umat Islam mundur ketika berhadapan dengan penjajah. Resolusi jihad inilah yang kemudian meletupkan peristiwa 10 November.
Sebenarnya, sebelum mendirikan NU, para kiai justru mendirikan organisasi kebangsaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Para kiai merespons realitas sosial politik bangsa kita yang terjajah. Bisa kita lihat betapa nasionalisme para kiai sangat kuat dan inheren dengan sejarah republik ini. Disusul, untuk melawan keterbelakangan dan kebodohan, pada 1918 para kiai mendirikan Taswirul Afkar. Lembaga studi ini dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) yang mewadahi intelektualisasi para kiai dan kaum santri.
Selain berpikir soal ilmu agama dan nasionalisme, para kiai juga sangat prihatin pada keadaan sosial ekonomi masyarakat, teutama warga NU. Maka, didirikanlah Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Saudagar). Meski tak maksimal, berkat Nahdlatut Tujjar, Taswirul Afkar berkembang menjadi lembaga pendidikan di beberapa kota.
Jadi, sebelum mendirikan NU pada 1926, para kiai membangun tiga fondasi kebangsaan penting, yakni kebangkitan nasionalisme, intelektualisme, dan kesaudagaran (ekonomi). Sayang, kebangkitan saudagar ini dalam perkembangannya kurang mendapat perhatian serius dari generasi penerus NU. Yang terpelihara dengan baik aspek nasionalisme dan intelektualisme (terutama bidang keagamaan).
Padahal, aspek ekonomi ini turut menjadi fondasi utama bagi kemandirian dan kejayaan NU. Dalam prinsip Mbah Hasyim, dengan fondasi ekonomi yang kuat, NU tidak tergantung kepada pejabat atau penguasa.
Mayoritas muassis (pendiri) NU adalah entrepreneur yang kuat. Saya sebut ini jiwa mulia. Rasulullah SAW yang seorang entrepreneur bersabda, "Usaha yang paling mulia adalah dagang." Posisi ini menempatkan kita sebagai tangan di atas. Maka, wajar jika Mbah Hasyim menganjurkan agar para kiai dan guru agama terus mengembangkan bisnis untuk kemaslahatan umat. "Kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri," kata Mbah Hasyim ketika mendeklarasikan Nahdlatut Tujjar.
Greg Fealy (1998) mencatat bahwa para kiai pendiri NU bukan saja elite agama, tapi juga elite bidang pertanian dan bisnis. Mbah Hasyim berdagang kuda, nila, dan besi tua sekaligus produsen besar gula dan beras. KH Wahab Chasbullah adalah pedagang dan agen perjalanan haji. KH Bisri Sansuri adalah pedagang dan memiliki banyak sawah. KH A. Wahid Hasyim terjun dalam bidang tekstil dan impor. KH Ilyas pedagang batik.
Karena kaya, tidak hanya independen, bahkan para kiai inilah yang menghidupi NU, bukan cari penghidupan dalam NU. NU pun pesat dan disegani ibarat "bayi raksasa" seperti diramalkan KH Kholil bin Abdul Latif (Mbah Kholil) Bangkalan. Maklum, para muassis NU rela berkorban harta untuk kepentingan organisasi keislaman yang kini terbesar di Indonesia, bahkan dunia internasional itu.
Kegiatan usaha itu jugalah yang menyubsidi pesantren masing-masing sehingga berkembang pesat. Tradisi Mbah Hasyim, ketika membeli tanah, selalu menyisakan tanah untuk kepentingan umat Islam. Jelas berbeda dengan konglomerat sekarang yang menumpuk harta untuk sekadar memuaskan nafsu serakah dan menimbulkan protes.
Ketua Umum Tanfidziah NU pertama, H Hasan Gipo, adalah saudagar kaya, bahkan bukan kiai. Konon, Hasan Gipo inilah yang mendanai Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Saud. Komite Hijaz, salah satu cikal bakal NU, bertugas menyampaikan sikap para kiai yang menolak asas tunggal Wahabi serta penghancuran peninggalan sejarah dan peradaban Islam, termasuk makam Rasulullah SAW dan para sahabat.
Memperkukuh fondasi ekonomi yang dipancangkan para muassis NU perlu menjadi agenda utama dalam Konferwil NU di Pesantren Bumi Sholawat, Kompleks SMP Progresif Lebo, Sidoarjo, asuhan KH Agoes Ali Masyhuri itu. Sudah waktunya NU lebih fokus pada penataan ekonomi warga NU ketimbang politik. Ingat, para muassis meletakkan politik sebagai wadah perjuangan agama dan kebangsaan, bukan kepentingan pragmatis sempit. Konferwil NU kali ini layak mengeksplorasi potensi besar ekonomi NU. Ini bukan saja akan menumbuhkan entrepreneur muda NU, tapi juga membuat NU mandiri dan berwibawa. ●
Seperti kita ketahui, Bung Karno lewat utusannya minta fatwa kepada Mbah Hasyim (panggilan akrab pendiri NU itu) soal hukum membela tanah air, bukan membela agama. Mbah Hasyim memberikan fatwa wajib hukumnya membela tanah air dalam formulasi resolusi jihad. Bahkan, dalam radius 94 km (sesuai jarak qashar salat) haram bagi warga NU atau umat Islam mundur ketika berhadapan dengan penjajah. Resolusi jihad inilah yang kemudian meletupkan peristiwa 10 November.
Sebenarnya, sebelum mendirikan NU, para kiai justru mendirikan organisasi kebangsaan Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Para kiai merespons realitas sosial politik bangsa kita yang terjajah. Bisa kita lihat betapa nasionalisme para kiai sangat kuat dan inheren dengan sejarah republik ini. Disusul, untuk melawan keterbelakangan dan kebodohan, pada 1918 para kiai mendirikan Taswirul Afkar. Lembaga studi ini dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) yang mewadahi intelektualisasi para kiai dan kaum santri.
Selain berpikir soal ilmu agama dan nasionalisme, para kiai juga sangat prihatin pada keadaan sosial ekonomi masyarakat, teutama warga NU. Maka, didirikanlah Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Saudagar). Meski tak maksimal, berkat Nahdlatut Tujjar, Taswirul Afkar berkembang menjadi lembaga pendidikan di beberapa kota.
Jadi, sebelum mendirikan NU pada 1926, para kiai membangun tiga fondasi kebangsaan penting, yakni kebangkitan nasionalisme, intelektualisme, dan kesaudagaran (ekonomi). Sayang, kebangkitan saudagar ini dalam perkembangannya kurang mendapat perhatian serius dari generasi penerus NU. Yang terpelihara dengan baik aspek nasionalisme dan intelektualisme (terutama bidang keagamaan).
Padahal, aspek ekonomi ini turut menjadi fondasi utama bagi kemandirian dan kejayaan NU. Dalam prinsip Mbah Hasyim, dengan fondasi ekonomi yang kuat, NU tidak tergantung kepada pejabat atau penguasa.
Mayoritas muassis (pendiri) NU adalah entrepreneur yang kuat. Saya sebut ini jiwa mulia. Rasulullah SAW yang seorang entrepreneur bersabda, "Usaha yang paling mulia adalah dagang." Posisi ini menempatkan kita sebagai tangan di atas. Maka, wajar jika Mbah Hasyim menganjurkan agar para kiai dan guru agama terus mengembangkan bisnis untuk kemaslahatan umat. "Kenapa tidak kalian dirikan saja satu badan usaha, yang setiap wilayah ada satu badan usaha yang mandiri," kata Mbah Hasyim ketika mendeklarasikan Nahdlatut Tujjar.
Greg Fealy (1998) mencatat bahwa para kiai pendiri NU bukan saja elite agama, tapi juga elite bidang pertanian dan bisnis. Mbah Hasyim berdagang kuda, nila, dan besi tua sekaligus produsen besar gula dan beras. KH Wahab Chasbullah adalah pedagang dan agen perjalanan haji. KH Bisri Sansuri adalah pedagang dan memiliki banyak sawah. KH A. Wahid Hasyim terjun dalam bidang tekstil dan impor. KH Ilyas pedagang batik.
Karena kaya, tidak hanya independen, bahkan para kiai inilah yang menghidupi NU, bukan cari penghidupan dalam NU. NU pun pesat dan disegani ibarat "bayi raksasa" seperti diramalkan KH Kholil bin Abdul Latif (Mbah Kholil) Bangkalan. Maklum, para muassis NU rela berkorban harta untuk kepentingan organisasi keislaman yang kini terbesar di Indonesia, bahkan dunia internasional itu.
Kegiatan usaha itu jugalah yang menyubsidi pesantren masing-masing sehingga berkembang pesat. Tradisi Mbah Hasyim, ketika membeli tanah, selalu menyisakan tanah untuk kepentingan umat Islam. Jelas berbeda dengan konglomerat sekarang yang menumpuk harta untuk sekadar memuaskan nafsu serakah dan menimbulkan protes.
Ketua Umum Tanfidziah NU pertama, H Hasan Gipo, adalah saudagar kaya, bahkan bukan kiai. Konon, Hasan Gipo inilah yang mendanai Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Saud. Komite Hijaz, salah satu cikal bakal NU, bertugas menyampaikan sikap para kiai yang menolak asas tunggal Wahabi serta penghancuran peninggalan sejarah dan peradaban Islam, termasuk makam Rasulullah SAW dan para sahabat.
Memperkukuh fondasi ekonomi yang dipancangkan para muassis NU perlu menjadi agenda utama dalam Konferwil NU di Pesantren Bumi Sholawat, Kompleks SMP Progresif Lebo, Sidoarjo, asuhan KH Agoes Ali Masyhuri itu. Sudah waktunya NU lebih fokus pada penataan ekonomi warga NU ketimbang politik. Ingat, para muassis meletakkan politik sebagai wadah perjuangan agama dan kebangsaan, bukan kepentingan pragmatis sempit. Konferwil NU kali ini layak mengeksplorasi potensi besar ekonomi NU. Ini bukan saja akan menumbuhkan entrepreneur muda NU, tapi juga membuat NU mandiri dan berwibawa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar