|
SUARA KARYA, 28 Mei 2013
Pemilu 2014 hanya tinggal satu
tahun lagi. Tentu kita tindak ingin momentum lima tahunan itu hanya sekedar
ritual rutin masuk ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), kemudian keluar dengan
jari diwarnai tinta dan setelah itu urusan selesai. Sebaliknya, pemilu tahun
depan seharusnya menjadi saat yang dinantikan seluruh pemilih di Indonesia
menentukan masa depannya.
Dalam ilmu politik, ada konsep
yang disebut dengan retrospective voting
(Morina, 1978). Maknanya, pemilih menentukan pilihan atas calon atau partai
politik (parpol) dalam sebuah pemilu dengan melihat kepada track record dari calon atau parpol tersebut sebelumnya. Apabila
calon atau partai politik itu gagal, maka orang atau institusi politik itu
tidak dipilih lagi dan pilihan dijatuhkan kepada calon atau parpol lain yang
dinilai berhasil. Hal itu juga otomatis berlaku sebaliknya. Harapannya adalah
mayoritas pemilih di Indonesia mendasari pilihannya dalam bingkai retrospective voting itu.
Minim Prestasi
Mari kita tengok apa yang sudah
dilakukan para wakil rakyat di Senayan sejauh ini. Hasilnya tidak terlalu
menggembirakan. Selama kurun waktu tahun 2009 sampai 2012, jumlah Undang-Undang
(UU) yang diproduksi DPR hanya 102 UU saja. Jika dirata-rata, per tahunnya
sekitar 25 UU tiap tahun, atau tiap bulan hanya 2 UU yang dihasilkan. Data
kuantitatif ini belum ditambahkan dan dibandingkan dengan data kualitatif
terkait dengan berapa banyak jumlah UU hasil pembahasan DPR di-judicial review-kan ke Mahkamah
Konstitusi (MK).
Prestasi yang minim itu tentu saja
tidak sepadan dengan gaji dan tunjangan yang diterima anggota DPR RI selama
ini. Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010
tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR, jumlah take home pay anggota DPR mencapai 51, 56 juta per bulan.
Dalam hal lain, yaitu pada
kasus-kasus penting tertentu yang menyentuh persoalan mendasar masyarakat, DPR
dan anggotanya lebih seperti "pemadam kebakaran yang sering datang
terlambat" ketimbang menjadi penjaga amanat rakyat. Misalnya, ketika kasus
kenaikan harga-harga komoditas tertentu seperti bawang merah, bawang putih, dan
cabai mencuat ke permukaan, DPR baru kasak-kusuk memanggil Menteri Perdagangan
dan menanyakan kenapa tiga komoditas itu harganya melonjak. Padahal, sebagai
lembaga yang mengawasi kinerja lembaga eksekutif, bukan hal yang sulit untuk
DPR berkoordinasi dan mengawasi Presiden dan jajaran kabinetnya memantau proses
seluruh komoditas masyarakat dari hulu ke hilir, sejak produksi, distribusi,
sampai dengan dijual di pasaran dan dibeli oleh masyarakat.
Belum lagi, ketidakseriusan
anggota DPR bekerja makin diperparah oleh makin banyaknya anggota DPR yang
tersangkut kasus hukum. Trend-nya
menunjukkan bahwa jumlah anggota DPR yang tersandera kasus korupsi dan
sejenisnya makin hari makin bertambah.
Mewakili
Yang menggembirakan di balik
muramnya wajah DPR adalah bahwa masyarakat tahu betul bahwa wakil mereka di DPR
tidak perform. Hasil survei Publica
Research and Consulting yang baru-baru ini dirilis menyebutkan bahwa 84,1
persen responden survei menilai anggota DPR hanya mewakili partai, dan hanya
8,4 persen responden yang menyatakan anggota DPR memang mewakili rakyat.
Jawaban responden itu sejalan dengan apakah mereka telah menetapkan pilihan
ataukah belum. Mayoritas dari 1.300 responden (sebanyak 59,8 persen) survei
yang digelar pada 18-21 Februari 2013 ini menyatakan belum menentukan
pilihannya pada Pemilu 2014. Dari jumlah itu, 25,4 persen di antaranya menjawab
rahasia dan 34,4 persen menjawab belum tahu. (Kompas.com, 21/3) Artinya, karena
pemilih mayoritas menilai negatif anggota DPR, maka mereka belum tahu siapa dan
atau parpol apa yang akan mereka pilih nanti.
Para anggota DPR, pengurus parpol,
dan calon anggota legislatif perlu memperhatikan hasil survei itu dengan
seksama. Mereka semua harus berkaca pada penilaian masyarakat itu dan berbenah
jika ingin menjadi pilihan masyarakat di Pemilu yang akan datang.
Pada dasarnya pemilih tidak ingin
yang . Mereka hanya ingin kepentingan dan aspirasi mereka menjadi "makanan
sehari-hari" wakil mereka di DPR. Di Inggris, para anggota House of Commons menempatkan aspirasi
warga Inggris di atas kepentingan parpol mereka. Logikanya sangat sederhana,
kalau mereka memperjuangkan aspirasi konstituen mereka, mereka yakin bahwa akan
dipilih lagi di pemilu berikutnya. Sebaliknya, kalau aspirasi partai tempat
mereka berada yang dinomorsatukan, mereka harus siap-siap kehilangan kursi di the Palace of Westminster.
Wakil yang ingin dipilih pemilih
Indonesia pun bukan sosok yang neko-neko.
Bukan artis yang rupawan, atau tokoh yang hanya mengandalkan popularitas figur,
atau yang berani membagi-bagikan uang kepada mereka. Lebih dari hal itu, yang
mereka inginkan hanya the good
representative (Dovi, 2007), yaitu wakil rakyat yang benar-benar mewakili
mereka, yang berani menjamin dan memastikan dapat membawa mereka bangkit dari
kondisi sekarang ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar