|
MEDIA INDONESIA, 27 Mei 2013
KORUPSI hampir selalu di lanjutkan
dengan pencucian uang. Pemberitaan tentang penanganan korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang juga dikaitkan dengan penerapan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) No 8 Tahun 2010 semakin
marak. Kasus demi kasus muncul, semakin menguatkan dugaan bahwa selalu ada
praktik pencucian uang dalam perkara korupsi selama hasil korupsi telah
dimanfaatkan atau dialirkan. Pelaku korupsi selalu menggunakan uang hasil
korupsi untuk berbagai kegiatan, yang dalam konteks teoretis maupun konsep
(ketentuan undang undang/UU) perbuatan mengalirkan hasil kejahatan inilah yang
disebut sebagai tindak pidana pencucian uang.
Dalam hal terjadi tindak pidana pencucian uang terkait
dengan korupsi, UU tidak hanya menjerat orang yang mengalirkan, tetapi juga
pihak lain yang menerima. Dengan kata lain, dalam tindak pidana pencucian uang
terdapat dua kriteria pelaku, yaitu pelaku aktif yaitu pihak yang mengalirkan
hasil kejahatan (korupsi), dan pelaku pasif sebagai pihak yang menerima hasil
korupsi. Pelaku aktif akan dijerat dengan Pasal 3 atau Pasal 4 yang berbunyi
sebagai berikut.
Pasal 3: Setiap orang yang menempatkan, mentransfer,
mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga
atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, dipidana
karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
pu luh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
Pasal 4: Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan
asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan
yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama
20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Adapun pelaku pasif, yaitu orang yang menerima hasil
kejahatan, akan terjerat Pasal 5 (1) yang berbunyi: Setiap orang yang menerima
atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan,
penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
TPPU di partai?
Kasus dugaan korupsi kuota impor daging sapi yang
melibatkan beberapa orang, baik dari partai, pengusaha, maupun pihak yang
disebut sebagai makelar, membuat KPK memeriksa orang-orang yang diduga menerima
dana aliran hasil korupsi. Hiruk pikuk pemberitaan proses hukum kasus tersebut
bukan hanya karena dikaitkan dengan sejumlah orang yang menerima aliran dana
dari Ahmad Fathanah, melainkan juga ada pengakuan dia dalam persidangan di
pengadilan tipikor, yang menyatakan pernah menyumbangkan dana untuk Partai
Keadilan Sejahtera (PKS). Tentu saja pengakuan itu langsung disangkal sejumlah
kader PKS, yang meyakini bahwa dana yang ada di partai ialah dana yang halal
dan mereka tidak menerima sumbangan dari hasil korupsi. Namun, Ketua DPP PKS
Mahfud Siddik mempersilakan proses hukum membuktikan ada tidaknya sumbangan
itu, dan apakah masuk ke kas partai atau tidak.
Terlepas apakah ada bukti atau tidak bahwa ada dana
Fathanah yang berasal dari hasil korupsi yang disumbangkan ke PKS, penting
dipahami bahwa apabila suatu partai politik (parpol) ternyata terbukti menerima
dana dari hasil korupsi, artinya parpol tersebut telah terlibat tindak pidana
pencucian uang dan dapat dijerat dengan Pasal 5. Sebetulnya polemik sebelumnya
juga sempat muncul ketika mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin
menyatakan bahwa ada dana yang mengalir untuk suatu kegiatan pemiihan ketua
umum.
Bila ada bukti adanya aliran dana hasil korupsi ke parpol,
KPK harus memeriksa partai. Tidak mungkin KPK menyatakan akan memproses oknum
saja, kecuali memang tidak ada bukti keterlibatan partai. KPK tidak bisa
menyatakan hanya akan memproses oknum, bukan terhadap partai, kalau ternyata
ada dana yang mengalir ke partai. Hal demikian karena UU TPPU mengatur
korporasi sebagai subjek hukum, kecuali memang tidak ditemukan bukti permulaan
yang cukup bahwa ada dana yang masuk ke kas partai.
Ketentuan yang menyatakan bahwa korporasi ialah subjek
hukum UU TPPU terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka ketentuan Pasal 1 angka 9:
Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara itu,
keterkaitan partai sebagai korporasi tercantum dalam Pasal 1 angka 10:
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa parpol
merupakan subjek hukum dari UU TPPU. Dengan demikian, kalau ada bukti permulaan
yang cukup bahwa ada aliran dana hasil korupsi yang masuk ke parpol, penyidik
seharusnya memproses secara hukum. Sebetulnya ketentuan bahwa korporasi bisa
menjadi subjek hukum bukan hanya dalam UU TPPU. Banyak UU yang mengatur hal
tersebut, seperti UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan UU Lingkungan Hidup. Bahkan UU No 7/Drt/1955 tentang Tindak Pidana
Ekonomi sudah mengatur ten tang korporasi se bagai subjek hu kum pidana.
Harus didalami
KPK seharusnya mendalami semua informasi yang didapatkan.
KPK juga harus mencari bukti-bukti penerimaan ke partai seperti yang dikatakan
Fathanah, siapa yang menerima, bagaimana kapa sitas yang me nerima, apakah dia
seorang pengurus yang dalam UU TPPU disebut sebagai pengendali korporasi, dan
dia menerima sesuai dengan fungsinya sebagai pengurus partai itu (apakah posisi
yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk mencari dana partai, hal ini bisa
dilihat dalam AD/ ART, apa tugas pokoknya), apakah penerimaan sesuai dengan
tujuan atau program partai, dan yang paling penting ialah apakah dana itu
berasal dari korupsi.
Ketentuan yang harus diikuti dalam mencari atau mendalami
ada tidaknya keterlibatan partai (parpol apa pun) dalam penerimaan dana hasil
korupsi, sebagaimana telah diuraikan tadi, diatur dalam Pasal 6 ayat (2) yang
berisi bahwa pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana
pencucian uang: a) dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali
korporasi; b) dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi; c)
dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan d)
dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.
Apakah parpol dapat dibubarkan kalau terlibat TPPU?
Bagaimana kalau suatu parpol ternyata terbukti di pengadilan menerima dana
hasil korupsi (Pasal 5), atau bahkan terlibat ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4?
Dalam Pasal 6 jelas diatur bahwa korporasi (parpol) dapat dijatuhi sanksi
pidana. Hal itu tercantum sebagai berikut. (1) Dalam hal tindak pidana
pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5
dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau
personel pengendali korporasi.
Bagaimana bentuk sanksi yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi, itu dicantumkan dalam Pasal 7 ayat (1) yang berbunyi: Pidana pokok
yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda paling banyak
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Kemudian, apakah korporasi (dalam hal ini parpol) dapat
dibubarkan, hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf d. Dengan demikian,
apakah parpol akan dijatuhi sanksi berupa pembubaran sangat bergantung pada
putusan hakim. Sebab, penjatuhan pidana berupa pembubaran dan/atau pelarangan
korporasi merupakan pidana tambahan yang bisa dijatuh kan bersamaan dengan
pidana pokok sesuai ayat (1) tersebut.
Secara keseluruhan, pidana tambahan tersebut, seperti yang
tercantum pada Pasal 6 ayat (2), yaitu selain pidana denda sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a) pengumuman putusan hakim; b) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha
korporasi; c) pencabutan izin usaha; d) pembubaran dan/atau pelarangan
korporasi; e) perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau f)
pengambilalihan korporasi oleh negara.
Bahkan terkait dengan sanksi korporasi yang melakukan TPPU,
perlu juga diperhatikan ketentuan Pasal 9 ayat (1): Dalam hal korporasi tidak
mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana
denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau
personel pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda
yang dijatuhkan. 2) Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang
dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan
pengganti denda dijatuhkan terhadap personel pengendali korporasi dengan
memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Dari ketentuan tersebut, seharusnya dipahami bahwa para
pengurus korporasi (dalam hal ini parpol) yang terlibat TPPU akan terancam juga
oleh sanksi pidana yang cukup berat.
Perlu diwaspadai
Negara harus mewaspadai pendanaan
parpol dari praktik pencucian uang. Kita harus ingat bahwa hasil korupsi di
negara ini yang ‘masih beredar’ sangat tinggi. Kerugian negara mencapai
triliunan rupiah, dan yang sudah dirampas negara jumlahnya masih sangat kecil
ketimbang yang dikorupsi. Dana tersebut sangat mungkin masuk pendanaan pemilu
atau kegiatan parpol, dan ini sangat berbahaya bagi tegaknya demokrasi. Kalau
itu terjadi, artinya kegiatan parpol digunakan sebagai sarana pencucian uang.
Kekhawatiran itu bukan sesuatu yang mengada-ada, karena
kewaspadaan adanya hasil korupsi masuk kegiatan parpol sudah sering dibicarakan
dan harus diantisipasi. Misalnya saja seperti yang ditekankan pada suatu
strategi internasional yang tertuang dalam Common
Rules against Corruption in the Funding of Political Parties and Electoral
Campaigns, atau Framework Principles
on Promoting Good Governance and Combating Corruption.
Dari dua dokumen tersebut diingatkan betapa berbahayanya
bila hasil korupsi masuk kas keuangan parpol. Selain itu, di dalamnya terdapat
imbauan untuk melarang penggunaan hasil kejahatan, termasuk korupsi masuk kas
partai dan juga harus ada konsep tentang transparansi penggunaan dana dan
pembatasan jumlah sumbangan, serta adanya akses untuk menjamin keterbukaan pada
publik (proscribe the use of funds
acquired through illegal and corrupt practices to finance political parties and
enshrine the concept of transparency in the funding of political parties by
requiring the declaration of donation exceeding a specified limit).
Prakarsa internasional itu berangkat dari pemikiran bahwa
biaya kampanye bisa sedemikian tinggi, dan hal itu juga mendorong parpol untuk
tidak terlalu menghiraukan dari mana datangnya sumbangan. Selain itu, dana
besar yang berasal dari hasil kejahatan juga akan memengaruhi sikap berpolitik
para pelaku parpol.
Bila kita ingin pemerintahan negara ini bersih karena
terbentuk melalui pemilu yang jurdil dan dibiayai dengan dana dari sumber yang
bersih pula, tidak ada pilihan lain kecuali hukum harus ditegakkan, termasuk
bila ada dana yang mengalir ke parpol. Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar