|
MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2013
APAKAH Islam di Indonesia mampu
bersenyawa dengan nasionalisme? Sejarah perdebatan dan jawaban terhadap
pertanyaan ini sama tuanya dengan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Untuk memperingati Hari Kebangkitan Nasional dan menjelang
hari lahirnya Pancasila, kita layak mengulas kembali pertanyaan itu. Sebab,
reformasi dan terbukanya keran demokrasi serta kebebasan berpendapat telah
menyeruak sebagian kelompok yang antinasionalisme untuk tampil ke permukaan. Karena
itu, debat ihwal kompatibilitas Islam dengan nasionalisme masih relevan untuk
diajukan kembali.
Mereka yang menolak ide nasionalisme, secara ringkas, dapat
disimpulkan alasannya dalam tiga argumen. Pertama, argumen paling mendasar
adalah, dalam kredo Islam, persatuan diwujudkan atas dasar kesamaan iman atau
akidah. Biasanya yang dijadikan dalil adalah QS 49:10, innamal-mu’minun ikhwah
(kaum beriman itu bersaudara). Islam diyakini bersifat universal, melintasi
batas kebangsaan, dan wilayah geografis. Karena itu, Islam diyakini
bertentangan dengan nasionalisme.
Kedua, kelompok antinasionalisme berpandangan bahwa ide
nasionalismelah yang menyebabkan runtuhnya Khalifah Islam (Uthmaniyah). Akibat
nasionalisme, Khalifah Islam terpecah-pecah menjadi negara-negara kecil yang
satu sama lain saling bersengketa. Nasionalisme juga membuat umat Islam di
negara yang satu tidak peduli dengan nasib umat Islam di negara lain. Misalnya,
persoalan Palestina dianggap bukan persoalan umat Islam di Indonesia. Umat
Islam, menurut mereka, jadi egoistis dan lebih mementingkan negaranya sendiri
karena paham nasionalisme.
Ketiga, alasan yang klise, tapi terus diulang-ulang:
nasionalisme adalah ideologi bikinan dan impor dari Ba rat. Argumen ini kurang
lebih serupa dengan mereka yang antinasionalisme serta menolak demokrasi.
Alasan penguatnya kemudian adalah ideologi nasionalismedemokrasi impor ini
menjadi alat Barat untuk memecah-belah umat Islam.
Argumen sanggahan
Pertama, dalil yang dipakai untuk menjusti fikasi
antinasionalisme di atas tidak tepat. Ayat `kamu mukminin itu bersaudara'
bersifat deklaratif (khabariyyah) dan
sama sekali tidak mengandung larangan, baik eksplisit maupun implisit terhadap
nasionalisme. Yang dilarang adalah bercerai-berai (la tafarraqu). Namun, justru sebaliknya, beberapa ayat sebelum ayat
itu, masih dalam surat yang sama, Alquran mengonfirmasi fakta bahwa manusia
diciptakan berbangsa bangsa dan bersuku-suku (syu'uban wa qaba'ila).
Sejauh yang saya tahu, kebanyakan dalil nash yang dipakai untuk membenarkan anti
nasionalisme ditafsirkan dengan agak memaksakan pendapat. Soalnya, memang tiada
larangan eksplisit dan tegas dalam nash. Kalaupun ada, itu adalah larangan
fanatisme sempit (`ashabiyyah).
Pun demikian, sesungguh nya nasionalisme sebagai ko munitas
terbayang (imagined community)
sebagaimana diterapkan di Indonesia sudah melampaui itu karena meleburkan
berbagai suku bangsa dalam wadah NKRI. Sebaliknya, sejarah kekhalifahan dulu
banyak yang masih berparadigma kesukuan-dinasti (Umayyah, Abbasiyah, Seljuk,
Fathimiyah, Buwaih, dst) dan tidak egaliter. Soalnya, masih kental dengan
perbedaan strata sosial antarumat Islam dan kafir zimi serta hak orang merdeka
dan budak.
Kedua, menjadi nasionalis tidaklah otomatis berarti tidak
peduli pada umat Islam di belahan dunia lain. Lagi pula, ide menyatukan seluruh
umat Islam yang menyebar di berbagai negara itu susah--untuk tak dikatakan
utopis. Lha wong untuk merukunkan Indonesia dengan Malaysia saja susah, seperti
merukunkan antara Sunni dan Syiah bukanlah perkara mudah, apalagi mau
menyatukan umat Islam di belahan dunia yang jauh dengan tantangan yang begitu
banyak.
Justru, jika kembali melihat sejarah, khalifah Islam masa
Abbasiyah dulu sudah terpecah-pecah sebelum umat Islam mengenal ide nasionalisme.
Abbasiyah tercerai-berai menjadi dinasti-dinasti kecil karena fanatisme ke
sukuan. Sekali lagi, dalam konteks ini In donesia masih lebih baik. Bukankah
slogan `Bhinneka Tunggal Ika' itu adalah upaya me nyatukan berbagai suku bangsa
dalam bingkai kesamaan sejarah, ba hasa, dan budaya?
Ketiga, suatu ide tak bisa disalahkan hanya karena ide itu
berasal dari si ini atau si itu. Yang penting tetaplah substansinya dan dalam
tataran ini Islam tidaklah bertentangan dengan nasionalisme dan demokrasi. Sejarah
kekhalifahan klasik terbukti juga menyerap pola pemerintahan dari sistem
peradaban tetangganya. Sistem kementerian (wizarah) misalnya, menyerap dari
Persia.
Sejarah itu berlaku progresif. Misalnya, kita tidak bisa
mengadopsi kembali konsep budak hanya karena konsep perbudakan itu ada dan
diakui Islam baik di masa nabi maupun kekhalifahan. Tentunya, kita tidak ingin
menolak penghapusan perbudakan hanya karena upaya menghapus perbudakan itu
datang dari deklarasi internasional HAM 1948.
Fakta sejarah
Fakta sejarah perlu menjadi rujukan syariat. Sebab, menolak
fakta sejarah, sebagaimana argumen yang kerap dipakai kelompok
antinasionalisme, berarti berangkat dari ruang hampa untuk menerapkan bunyi
teks kitab suci dalam realitas.
Kalaupun kita tak boleh melihat fakta kebobrokan yang
terjadi dalam sebagian sejarah kekhalifahan klasik, kita masih bisa melihat
pengalaman umat Islam di Madinah saat masih dipimpin Nabi Muhammad.
Di Madinah, masyarakat yang dihadapi Nabi sangat plural:
muslim Muhajirin, muslim Anshar (Aus & Khazraj), 3 suku Yahudi (Nadhir,
Quraizhah, & Qainuqa'), dan sebagian kecil Nasrani serta penyembah berhala.
Bahkan, di masa awal, umat Islam masih minoritas jika dibandingkan dengan ahli
kitab yang mayoritas. Pluralitas etnik dan agama disikapi Nabi dengan membuat
traktat politik bernama Piagam Madinah (mitsaq al-Madinah).
Teks Piagam Madinah bisa kita dapatkan dari kitab sirah
Nabi tertua yang pernah ditemukan, yakni as-Sirah an-Nabawiyyah, karya Ibnu
Hisyam, pada Bab ar-Rasul Yuwadi'u al-Yahud (Rasulullah Mengikat Perjanjian
dengan Yahudi). Poin pertama piagam itu menyebutkan begini: `Surat perjanjian
ini dari Muhammad; antara orang beriman dan muslimin dari Quraisy dan Yatsrib,
serta yang mengikuti mereka, menyusul mereka, dan berjuang bersama mereka;
bahwa mereka adalah satu umat'.
Poin yang bisa kita ambil: Nabi Muhammad menyatukan setiap
elemen masyarakat dalam ummah yang bahumembahu mempertahankan Madinah bila ada
musuh menyerang. Madinah adalah gambaran tentang negara atau lebih tepatnya chiefdom, yang secara substantif sama
dengan nasionalisme yang dibatasi wilayah geografis.
Pada tatarannya, Piagam Madinah itu adalah kontrak sosial
yang kurang lebih sama dengan Pancasila. Dengan demikian, jelas bahwa Islam
tidak bertentangan dengan nasionalisme. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar