|
KORAN SINDO, 30 Mei 2013
Transformasi
atau perubahan adalah sebuah perjalanan. Seperti layaknya sebuah pelayaran,
setiap perusahaan, yayasan atau badan milik pemerintah selalu akan menghadapi
medan yang berbeda-beda.
Apalagi sebuah bangsa, tak terkecuali bangsa adidaya sekalipun, akan berselancar melewati sigmoid curve yang berbentuk S (tertidur) yang arahnya naik dan turun. Tak ada tujuan akhir, yang ada hanyalah tujuan-tujuan antara.
Perubahan dan Manajemen Perubahan
Ini adalah dua hal yang berbeda. Dunia usaha yang dikendalikan pengusaha dan manajer sudah sangat terbiasa menggunakan manajemen perubahan. Artinya perubahan tak bisa digulirkan tanpa manajemen perubahan. Jadi perubahan itu ada ilmunya, ada tahapan-tahapan, dan tentu saja ada politik dan pertarungan-pertarungan yang harus diatasi. Akan terlihat betul perusahaan mana yang ada kemajuannya dalam perubahan dan mana yang digulung perubahan.
Bahkan terlihat juga mana eksekutif yang berhasil keluar dari gulungan ombak perubahan dan mana yang tewas ditelan samudra. Yang satu memakai manajemen perubahan dan satunya lagi sekadar melakukan perubahan. Namun pada level negara, hal seperti ini juga terjadi. Terlihat jelas mana negara yang melakukan perubahan tanpa manajemen perubahan dan mana negara yang menerapkan perubahan dengan manajemen perubahan.
Negara-negara yang menggunakan manajemen perubahan sekaligus pada saat perubahan dilakukan biasanya mempunyai pola perubahan yang jelas, ada rambu-rambunya, dan ada tujuan antaranya. Indonesia barangkali termasuk dalam kategori yang pertama, melakukan perubahan tanpa manajemen perubahan. Perubahan yang demikian biasanya dilakukan negaranegara yang telah menerapkan advanced dan sophisticated management, dengan sistem yang didukung teknologi yang memadai.
Mereka sudah memiliki SDM dengan kualifikasi yang sama tingginya dengan SDM yang dimiliki dunia usaha. Bahkan mereka sudah memiliki sistem perbaikan terus-menerus (continuous improvement) yang ajek. Di negara-negara seperti itu, manajemen perubahan tak banyak diperlukan kecuali medan yang dihadapi berubah 180 derajat seperti saat ini dan terjadilah radical change. Tak dapat disangkal pula bahwa banyak kementerian dan lembaga negara di sini yang mendapatkan dukungan dari negara-negara donor untuk memberikan konsultasi atau bantuan manajemen perubahan.
Namun, harus diakui, konsultan-konsultan yang didatangkan itu umumnya miskin pengalaman dan justru banyak bertanya dengan konsultan-konsultan lokal. Banyak pula akal yang digunakan seperti berpura-pura melakukan tender untuk menyeleksi konsultan lokal, tetapi mereka hanya menyerap ilmu, lalu tak pernah ada pengumuman siapa pemenangnya. Harus dipahami bahwa mereka tak punya keahlian mengelola dalam lingkungan yang volatile dan unpredictable.
Ini sama persis dengan meminta bantuan dokter-dokter Amerika untuk memasang spiral (IUD) kepada kaum ibu kita yang ternyata tidak biasa dan tidak bisa. Di sana KB yang populer bukan dengan IUD. Dokterdokter kandungan Indonesialah yang piawai memasang IUD, bukan dokter Amerika. Padahal rumah sakit di sana peralatannya jauh lebih maju. Namun dunia consulting adalah dunia yang berbeda, ini adalah dunia kedokteran yang serbatahu, serba-dianggap berpengetahuan meski ceritanya akan lain.
Semua terpulang pada kekuatan leader yang menggerakkan perubahan itu sendiri. Demikianlah akhirnya banyak perubahan yang digulirkan pemerintah kandas di tengah jalan. Pemimpin-pemimpinnya sibuk menghadapi serangan publik yang resistan, yang dientertain media massa, dan para politikus yang membutuhkan tema untuk “mencuri kamera”. Pikiran masyarakat pun menjadi kacau, tak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Padahal poin-poin yang diperbarui bisa jadi sama persis dengan keinginan para pemrotes. Tapi keduanya bicara dalam pikiran yang tidak sama. Itulah perubahan tanpa manajemen perubahan.
It’s a Journey
Transformasi pada dasarnya adalah sebuah perjalanan, ia bukan akhir dari perjalanan itu sendiri. Ini menarik diperhatikan kalimat-kalimat yang sering muncul dari perlawanan terhadap perubahan yang sering kali mempertanyakan, “Mengapa harus sering berubah?” Seperti pada gunjingan yang dituduhkan terhadap kurikulum 2013.
Kelihatan sekali masyarakat kita masih berpikiran 7 tahun terlalu pendek untuk diubah, sementara para ahli pendidikan mengatakan dewasa ini setiap 2,5 tahun jumlah ilmu pengetahuan meningkat dua kali lipat. Ibarat berlayar, ketika kita pergi mengarungi lautan selama berbulan-bulan, menembus badai dan terjangan ombak, perasaan letih pasti mendera kapten dan segenap awak kapal. Maka, ketika melihat sebuah pulau di kejauhan, di benak kita segera terlontar pikiran, “Ah akhirnya kita sampai ke tujuan.” Begitu sampai di pulau, hal pertama yang ingin kita lakukan adalah beristirahat.
Beristirahat itu nyaman. Kenyamanan ini kerap menjadi perangkap. Kita kemudian enggan berlayar lagi, mengulang pengalaman melelahkan menembus badai dan ombak, menghadapi derasnya hujan dan teriknya matahari. Maka, kita pun masuk dalam jebakan istirahat, jebakan rasa aman dan ingin menikmati seakan-akan semua sudah selesai.
Kita lupa pada tujuan awal bahwa kita pergi berlayar bukan untuk mencari tempat berlabuh yang baru, melainkan untuk membentuk diri menjadi pelaut yang tangguh. Membuktikan bahwa kita bisa mengarungisamudraluas, menghadapi terjangan ombak setinggi bukit, dan terjangan badai yang menggila. Itulah yang akhirnya membedakan kita dengan pelautpelaut lain. Kita mampu berlayar menjelajah samudra, sementara pelaut lain hanya sanggup berkeliling pulau. Ketangguhan itulah yang mengantarkan kita ke samudra biru.
Negeri ini masih harus banyak belajar dari perubahan itu sendiri dan belajar menggunakan manajemen untuk mengawal perubahan. Mudah diucapkan, tapi lebih menyenangkan untuk ditendang-tendang seperti bola ketimbang dilayari menerjang samudra. ●
Apalagi sebuah bangsa, tak terkecuali bangsa adidaya sekalipun, akan berselancar melewati sigmoid curve yang berbentuk S (tertidur) yang arahnya naik dan turun. Tak ada tujuan akhir, yang ada hanyalah tujuan-tujuan antara.
Perubahan dan Manajemen Perubahan
Ini adalah dua hal yang berbeda. Dunia usaha yang dikendalikan pengusaha dan manajer sudah sangat terbiasa menggunakan manajemen perubahan. Artinya perubahan tak bisa digulirkan tanpa manajemen perubahan. Jadi perubahan itu ada ilmunya, ada tahapan-tahapan, dan tentu saja ada politik dan pertarungan-pertarungan yang harus diatasi. Akan terlihat betul perusahaan mana yang ada kemajuannya dalam perubahan dan mana yang digulung perubahan.
Bahkan terlihat juga mana eksekutif yang berhasil keluar dari gulungan ombak perubahan dan mana yang tewas ditelan samudra. Yang satu memakai manajemen perubahan dan satunya lagi sekadar melakukan perubahan. Namun pada level negara, hal seperti ini juga terjadi. Terlihat jelas mana negara yang melakukan perubahan tanpa manajemen perubahan dan mana negara yang menerapkan perubahan dengan manajemen perubahan.
Negara-negara yang menggunakan manajemen perubahan sekaligus pada saat perubahan dilakukan biasanya mempunyai pola perubahan yang jelas, ada rambu-rambunya, dan ada tujuan antaranya. Indonesia barangkali termasuk dalam kategori yang pertama, melakukan perubahan tanpa manajemen perubahan. Perubahan yang demikian biasanya dilakukan negaranegara yang telah menerapkan advanced dan sophisticated management, dengan sistem yang didukung teknologi yang memadai.
Mereka sudah memiliki SDM dengan kualifikasi yang sama tingginya dengan SDM yang dimiliki dunia usaha. Bahkan mereka sudah memiliki sistem perbaikan terus-menerus (continuous improvement) yang ajek. Di negara-negara seperti itu, manajemen perubahan tak banyak diperlukan kecuali medan yang dihadapi berubah 180 derajat seperti saat ini dan terjadilah radical change. Tak dapat disangkal pula bahwa banyak kementerian dan lembaga negara di sini yang mendapatkan dukungan dari negara-negara donor untuk memberikan konsultasi atau bantuan manajemen perubahan.
Namun, harus diakui, konsultan-konsultan yang didatangkan itu umumnya miskin pengalaman dan justru banyak bertanya dengan konsultan-konsultan lokal. Banyak pula akal yang digunakan seperti berpura-pura melakukan tender untuk menyeleksi konsultan lokal, tetapi mereka hanya menyerap ilmu, lalu tak pernah ada pengumuman siapa pemenangnya. Harus dipahami bahwa mereka tak punya keahlian mengelola dalam lingkungan yang volatile dan unpredictable.
Ini sama persis dengan meminta bantuan dokter-dokter Amerika untuk memasang spiral (IUD) kepada kaum ibu kita yang ternyata tidak biasa dan tidak bisa. Di sana KB yang populer bukan dengan IUD. Dokterdokter kandungan Indonesialah yang piawai memasang IUD, bukan dokter Amerika. Padahal rumah sakit di sana peralatannya jauh lebih maju. Namun dunia consulting adalah dunia yang berbeda, ini adalah dunia kedokteran yang serbatahu, serba-dianggap berpengetahuan meski ceritanya akan lain.
Semua terpulang pada kekuatan leader yang menggerakkan perubahan itu sendiri. Demikianlah akhirnya banyak perubahan yang digulirkan pemerintah kandas di tengah jalan. Pemimpin-pemimpinnya sibuk menghadapi serangan publik yang resistan, yang dientertain media massa, dan para politikus yang membutuhkan tema untuk “mencuri kamera”. Pikiran masyarakat pun menjadi kacau, tak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Padahal poin-poin yang diperbarui bisa jadi sama persis dengan keinginan para pemrotes. Tapi keduanya bicara dalam pikiran yang tidak sama. Itulah perubahan tanpa manajemen perubahan.
It’s a Journey
Transformasi pada dasarnya adalah sebuah perjalanan, ia bukan akhir dari perjalanan itu sendiri. Ini menarik diperhatikan kalimat-kalimat yang sering muncul dari perlawanan terhadap perubahan yang sering kali mempertanyakan, “Mengapa harus sering berubah?” Seperti pada gunjingan yang dituduhkan terhadap kurikulum 2013.
Kelihatan sekali masyarakat kita masih berpikiran 7 tahun terlalu pendek untuk diubah, sementara para ahli pendidikan mengatakan dewasa ini setiap 2,5 tahun jumlah ilmu pengetahuan meningkat dua kali lipat. Ibarat berlayar, ketika kita pergi mengarungi lautan selama berbulan-bulan, menembus badai dan terjangan ombak, perasaan letih pasti mendera kapten dan segenap awak kapal. Maka, ketika melihat sebuah pulau di kejauhan, di benak kita segera terlontar pikiran, “Ah akhirnya kita sampai ke tujuan.” Begitu sampai di pulau, hal pertama yang ingin kita lakukan adalah beristirahat.
Beristirahat itu nyaman. Kenyamanan ini kerap menjadi perangkap. Kita kemudian enggan berlayar lagi, mengulang pengalaman melelahkan menembus badai dan ombak, menghadapi derasnya hujan dan teriknya matahari. Maka, kita pun masuk dalam jebakan istirahat, jebakan rasa aman dan ingin menikmati seakan-akan semua sudah selesai.
Kita lupa pada tujuan awal bahwa kita pergi berlayar bukan untuk mencari tempat berlabuh yang baru, melainkan untuk membentuk diri menjadi pelaut yang tangguh. Membuktikan bahwa kita bisa mengarungisamudraluas, menghadapi terjangan ombak setinggi bukit, dan terjangan badai yang menggila. Itulah yang akhirnya membedakan kita dengan pelautpelaut lain. Kita mampu berlayar menjelajah samudra, sementara pelaut lain hanya sanggup berkeliling pulau. Ketangguhan itulah yang mengantarkan kita ke samudra biru.
Negeri ini masih harus banyak belajar dari perubahan itu sendiri dan belajar menggunakan manajemen untuk mengawal perubahan. Mudah diucapkan, tapi lebih menyenangkan untuk ditendang-tendang seperti bola ketimbang dilayari menerjang samudra. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar