|
SUARA KARYA, 29 Mei 2013
Gonjang-ganjing
perpanjangan kontrak lapangan migas Mahakam memang sangat perlu dikaji
mengingat setelah itu, sampai tahun 2021, hampir 75 persen lapangan minyak di
Indonesia habis masa kontraknya dan dikembalikan ke negara.
Benny Lubiantara dalam
buku Ekonomi Migas menguraikan dengan jelas berbagai sistem kontrak migas di
banyak negara produsen minyak, baik dalam kelompok OPEC maupun non-OPEC. Buku
itu, yang merupakan penuangan pengalaman panjang penulis dalam riset migas
internasional, juga memetakan dengan baik masalah migas di Indonesia saat ini.
Itu sangat baik dipakai sebagai acuan karena berbagai pendapat "katak
dalam tempurung" tentang situasi migas di negara kita dapat lebih
dicerahkan.
Prinsip dasar
pengelolaan sumber migas kita adalah "kedaulatan" atas sumber daya
itu. Artinya, kekuasaan atas migas tetap di tangan negara. Kontraktor hanya mendapat
"bagi hasil" yang besarnya telah memperhitungkan risiko besar
kontraktor akibat ketidakpastian eksplorasi serta kucuran modal besar dan
teknologi canggih.
Namun, lapangan migas
yang sudah habis masa kontraknya, tetapi masih mampu berproduksi, boleh dikatakan
tidak lagi berisiko karena jumlah migas yang tersisa sudah diketahui, perangkat
produksi masih tersedia, teknologi yang diterapkan sudah dikuasai, dan sumber
daya manusia (SDM) operasional masih tersedia. Karena itu, pola bagi hasil
tidak layak dipakai lagi dan sudah selayaknya lapangan migas itu dikelola
sendiri.
Apabila ada
pertimbangan untuk memperpanjang kontrak, jangan sampai hasil yang diperoleh
kontraktor melebihi keekonomian yang wajar. Sebagai acuan adalah apa yang
diterapkan di Irak, yang ingin menghidupkan kembali lapangan-lapangan migas
yang ditinggalkan semasa perang. Lapangan-lapangan itu masih sangat potensial
dan pengelolanya tidak lagi menghadapi risiko eksplorasi. Ini analog dengan
lapangan-lapangan migas Indonesia yang akan dikembalikan ke negara setelah
habis masa kontrak.
Irak menerapkan
"sistem upah operasional" atau service contract kepada kontraktor
pengelola yang ditunjuk. Semua biaya operasi dapat dikembalikan (cost recovery). Penunjukan melalui
tender dan pemenang adalah yang mengajukan upah terendah di samping harus
memenuhi kualifikasi teknis, pengalaman internasional, keuangan dan kemampuan
lain. Karena itu, supaya bisa menang, peserta tender berkutat menghitung
keekonomian yang kompetitif.
Pertamina pernah ikut
tender di Irak untuk mendapatkan lapangan West
Qurna fase 2 tahun 2009. Agar menang, Pertamina mengajukan upah sangat
rendah dengan pertimbangan adanya benefit
lain seperti minyak mentah yang dapat dibawa ke Indonesia, pengalaman di luar
negeri, peluang kontrak lain. Upah yang diminta Pertamina sebesar 1,25 dolar AS
per barel merupakan "keberanian" mengingat kerasnya iklim dan masih
rawannya stabilitas keamanan di kawasan tersebut. Namun, apa boleh dikata,
tawaran itu masih kalah dari tawaran konsorsium Lukoil dan Statoil yang sedikit
lebih rendah, yaitu $ 1,15 per barel.
Pola yang dipakai Irak
dapat ditiru oleh Indonesia untuk lapangan-lapangan yang sudah dikembalikan
agar diperoleh pendapatan negara secara maksimal, di samping tetap menarik bagi
investor. Andai masih diperlukan perpanjangan kontrak kepada perusahaan minyak
asing, sebaiknya diterapkan sistem upah agar negara lebih diuntungkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar