|
MEDIA INDONESIA, 27 Mei 2013
BAGI bangsa Indonesia, upaya
peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan merupakan suatu yang mendesak untuk
segera dilakukan. Kemajuan suatu masyarakat dan bangsa mensyaratkan sumber daya
manusia (SDM) yang bermutu. Banyak bangsa, meskipun dengan sumber daya alam
(SDA) sangat terbatas, dapat maju dan makmur karena mutu SDM sangat baik. SDM
yang bermutu hanya dapat diwujudkan dengan pendidikan baik dan terukur.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan ‘Pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’.
Ujian nasional (UN) 2013 sudah berlalu meskipun dalam
suasana yang kurang produktif dan kondusif. Hasil UN SMA/ MA, SMK, SMALB, dan
paket C sudah diumumkan pada 24 Mei 2013 dan akan disusul hasil UN SMP/MTs,
SMPLB, dan paket B pada 1 Juni 2013. Hasil UN SD/MI dan paket A akan diumumkan
8 Juni 2013.
Kontroversi tentang UN dan kekisruhan dalam
penyelenggaraannya tahun ini semakin memperkuat alasan pihak yang kontra untuk
mendesak UN dihapus. Usulan penghapusan UN itu perlu dikaji dengan
kehati-hatian. Jika dilihat dari perspektif peningkatan dan pemerataan mutu
pendidikan, UN merupakan salah satu instrumen penting yang perlu untuk dipertahankan.
Namun, berbagai kelemahan baik secara institusional maupun
administrasinya harus terus disempurnakan. Urgensi UN bagi peningkatan dan
pemerataan mutu pendidikan, antara lain, mengukur pencapaian standar kompetensi
lulusan secara nasional.
Kompetensi minimal
Tujuan
UN ialah mengukur pencapaian standar kompetensi lulusan (SKL) secara nasional pada
suatu jenjang dan jenis pendidikan dasar dan menengah. SKL ialah kompetensi
minimal yang harus dikuasai siswa untuk lulus, bukan kompetensi maksimal atau
kompetensi unggulan. Sekolah diberi kewenangan
untuk
mengembangkan dimensi keunggulan, sesuai dengan tuntutan lingkungan serta visi
dan misi masing-masing. Hal itu merupakan perwujudan dari prinsip otonomi dalam
bidang pendidikan, sesuai dengan tuntutan peraturan perundang
-undangan
yang berlaku. Pada tingkat daerah, pendidikan merupakan salah satu bidang pemerintahan
yang diotonomikan. Pada tingkat sekolah disebut dengan manajemen berbasis
sekolah (MBS), dengan kepala sekolah diberi kewenangan untuk
mengoptimalkan potensi sekolah secara kreatif dan inovatif guna peningkatan mutu
di sekolah. Pada tingkat guru diwujudkan dalam bentuk kewenangan guru untuk mengembangkan
standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) secara kreatif dan inovatif,
sesuai dengan tuntutan lingkungan serta visi dan misi sekolah, yang mengacu
kepada kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dikembangkan di sekolah.
Sesuai
dengan prinsip otonomi pendidikan tersebut, pengukuran pencapaian SKL sebagai kriteria minimal mutlak diperlukan karena dua
alasan utama. Pertama, sebagai acuan bersama untuk dicapai, yang secara
bertahap dan sistematis menuju kepada tercapainya salah satu tujuan nasional,
yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Kedua, supaya sekolah tidak memberikan
pendidikan semu kepada peserta didik, yakni sekadar memberi ijazah, tidak
membekali mereka dengan kompetensi yang mencukupi, sesuai dengan jenjang dan
jenis pendidikan yang telah mereka tempuh.
Praktik itu pernah kita alami pada era 1970an, ketika
kewenangan penyelenggaraan ujian akhir sepenuhnya diberikan kepada sekolah,
yang disebut dengan evaluasi belajar tahap akhir (EBTA). Pada era itu, semua
sekolah, belajar atau tidak, cenderung meluluskan siswa mereka 100%. Akibatnya,
kita tidak memiliki tolok ukur tentang mutu pendidikan. Nilai rapor dan nilai
surat tanda tamat belajar (STTB) tidak dapat dijadikan kriteria tentang
pencapaian kompetensi siswa dan tidak dapat dibandingkan antarsekolah dan
antartahun.
Nilai rapor dan nilai STTB sangat bergantung pada setiap
sekolah. Nilai rapor dan nilai STTB dari sekolah-sekolah yang kurang baik
bahkan pada umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai rapor dan nilai
STTB sekolah-sekolah yang termasuk kategori baik. Atas dasar itu, pengukuran
dan penilaian pencapaian kompetensi lulusan secara nasional mutlak diperlukan
di era otonomi daerah saat ini.
Peningkatan mutu
Mutu
pendidikan yang baik tidak dapat diraih secara instan, tetapi harus dengan
kerja keras semua pihak yang terkait. Mutu
pendidikan yang baik hanya dapat di wujudkan bila siswa dapat belajar dengan
benar, guru berkesungguhan dalam melaksanakan tugas, orangtua memberi perhatian
yang baik terhadap pembela jaran anak-anak di rumah, dan kepala sekolah
bersungguh sungguh dalam menyeleng garakan manajemen sekolah yang mendukung
tumbuh dan berkembangnya budaya mutu di sekolah.
UN sejatinya dapat mendorong semua pihak tersebut untuk
bekerja keras guna mencapai kelulusan yang baik. Namun, dalam praktiknya
setidaknya ada dua kendala yang menjadi faktor penghalang terwujudnya kemampuan
kerja keras yang bersinergi dan konstruktif di antara pihak-pihak terkait.
Pertama, faktor psikis masyarakat dan sekolah yang menginginkan lulus 100%.
Sejak diimplementasikan ujian sekolah dan sampai pada saat pelaksanaan ebtanas,
sudah berkembang budaya lulus 100%. Kedua, faktor otonomi daerah, karena
pendidikan merupakan salah satu bidang yang diotonomikan, hasil UN sering
dijadikan sebagai indikator kinerja pemerintah daerah. Oleh karena itu, di
daerah-daerah tertentu ditengarai kepala daerah menekan kepala dinas pendidikan
supaya hasil UN di daerah mereka baik.
Selanjutnya kepala dinas pendidikan menekan kepala sekolah
dan kepala sekolah menekan guru. Faktor itu bisa menjadi pemicu bagi
pihak-pihak tertentu untuk melakukan berbagai kecurangan dalam pelaksanaan UN.
Berkaitan dengan faktor kedua itu kita mungkin bisa becermin dengan Malaysia. Negara
jiran itu, meskipun menganut sistem pemerintahan negara serikat, punya acuan
bahwa pendidikan tetap menjadi urusan pemerintah federal karena pendidikan
dipandang sangat strategis dan penting bagi kemajuan bangsa. Hasil UN pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah di Malaysia tidak serta-merta dijadikan
sebagai indikator kinerja pemerintah daerah atau pemerintah negara bagian.
Pemerataan mutu
Hasil UN yang jujur dan transparan
sangat bermanfaat bagi upaya pemerataan mutu pendidikan. Berdasarkan hasil UN,
pada tingkat sekolah, dapat diketahui kekuatan dan kelemahan pada berbagai mata
pelajaran. Dengan demikian, dapat dilakukan upaya-upaya sistematis dan terarah
untuk perbaikan. Pada tingkat daerah, dapat diketahui kekuatan dan kelemahan
dari berbagai satuan pendidikan yang ada di daerah sehingga pemerintah daerah
dapat melakukan upaya-upaya pembinaan dan pemberian bantuan secara tepat kepada
satuan pendidikan. Pada tingkat nasional, dapat diketahui kekuatan dan
kelemahan daerah masing-masing. Dengan demikian, pemerintah pusat dapat
melakukan pembinaan dan pemberian bantuan secara tepat pula kepada daerah dalam
rangka pemerataan mutu pendidikan.
Upaya pembangunan bidang pendidikan, terutama dalam rangka
peningkatan dan pemerataan mutu pendidikan, harus didasarkan pada data empiris
yang valid, tidak boleh didasarkan pada persepsi dan asumsi para pejabat,
apalagi memanfaatkan opini yang dibangun melalui media massa. Hasil analisis
daya serap UN dapat dimanfaatkan untuk perbaikan mutu pendidikan pada tingkat
sekolah, daerah, dan pusat.
Negara-negara yang menyelenggarakan ujian yang bersifat
high-stakes, seperti ujian nasional, membentuk badan yang diberikan otoritas
penuh (examination authority) dalam
penyelenggaraan ujian. Lembaga Peperiksaan di Malaysia, sebagai misal, meskipun
berada di bawah Kementerian Pendidikan, independen dari pengaruh kementerian
dan perdana menteri. Singapore
Examination and Assessment Board (SEAB) di Singapura (swasta) juga sangat
independen dalam penyelenggaraan ujian dan bertanggung jawab kepada parlemen.
Kedua lembaga penilaian di muka memiliki kewenangan penuh
dalam penyelenggaraan ujian dan punya perangkat serta sumber daya yang
mencukupi, sampai di daerah tempat diselenggarakannya ujian.
Itu sangat berbeda dengan di Indonesia saat ini. Menurut PP
No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, penyelenggara UN ialah
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Namun, lembaga itu tidak memiliki
otoritas penuh serta tidak memiliki perangkat dan sumber daya yang mencukupi
untuk menjamin terselenggarakannya UN dengan baik dan kredibel.
Banyak tangan yang berperan dalam penyelenggaraan UN;
banyak kepentingan pula yang dapat bermain. Dengan demikian, kejujuran dan
kredibilitas dalam penyelenggaraan UN sangat sukar diwujudkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar