|
KORAN SINDO, 31 Mei 2013
Politik itu
selalu gaduh dan menegangkan. Terlebih dalam sistem demokrasi bagi sebuah
masyarakat yang besar dan plural seperti Indonesia.
Terdapat 34 provinsi, 409 kabupaten, dan 93 kota. Kalau saja pilkada tidak dilaksanakan serentak, hampir setiap hari ada pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota. Betapa gaduh, meriah, dan menegangkan. Belum lagi pemilu di tingkat nasional untuk memilih anggota DPR dan pasangan capres-cawapres. Kita tidak tahu persis, berapa triliun uang beredar untuk biaya kompetisi pesta perebutan kursi jabatan itu. Sungguh mahal menyelenggarakan pemilu dan pilkada di negara dengan jumlah pulau 17.504, jumlah kecamatan 6.519, dan pemerintahan desa/kelurahan 76.510.
Bisa dibayangkan persiapannya sejak rapat internal partai, membuat survei politik, melakukan analisis, kemudian persuasi massa dan kampanye dengan berbagai cara dan langkah. Yang itu semua kadang dilakukan berulang kali. Spanduk dengan potret tokoh bermunculan di sana-sini. Tidak cukup hanya modal spanduk, para calon dan tim sukses mereka juga melakukan silaturahmi ke berbagai tokoh masyarakat, membagi uang dan kaus, ikut kerja bakti sosial, dan sebagainya.
Stasiun televisi tidak mau ketinggalan menangkap lahan bisnis ini sehingga berbagai iklan kampanye dan debat para calon bermunculan di TV dengan biaya yang fantastis. Pesta dan festival demokrasi dilaksanakan tidak semata untuk mencari pemimpin yang baik, tapi pesta dan kompetisi itu juga hiburan yang mengasyikkan. Maka itu, demokrasi itu selalu menyajikan kegaduhan dan kemeriahan yang mahal, menegangkan, sekaligus juga menghibur rakyat. Kompetisi yang masih sulit ditebak siapa calon pemenangnya akan seru diikuti dan ditonton.
Sekarang ini pun begitu keadaannya ketika kita membahas siapa yang bakal jadi presiden pada Pemilu 2014, masih sulit ditentukan dibanding pemilu pada era Orde Baru. Para pengamat beradu data dan argumentasi, namun berakhir dengan open ended, belum bisa memberi pilihan yang mantap, serbahipotetis dan dugaan sementara. Kegaduhan berdemokrasi itu merata se-Indonesia. Maka itu, logis jika para pengamat asing kagum dan tertarik dengan eksperimentasi demokrasi di Indonesia. Bangsa ini sibuk dengan berbagai seremoni dan pesta salah satunya penyelenggaraan pilkada dari ujung Sumatera sampai ujung Papua.
Setelah usai pilkada yang unggul mengadakan pesta kemenangan. Yang kalah kadang heboh melakukan protes dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Lalu para pendukungnya ada yang terlibat bentrok menambah kegaduhan masyarakat. Belum lagi peran para advokat ketika terjadi perselisihan. Semua semakin membuat panggung politik seru dan gaduh ketika ditangkap media sosial. Meskipun paling senang heboh, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, partai politik itu hanyalah salah satu pilar dari pilar-pilar yang lain seperti pilar pendidikan, ekonomi, birokrasi, pertahanan, kebudayaan, dan sebagainya.
Hanya, pilar politik ini begitu berkuasa memengaruhi dan mengatur pilar yang lain. Yang repot adalah ketika pilar politik diisi oleh orang-orang yang kualitas ilmu dan moralnya di bawah pilar yang lain. Dalam jajaran birokrasi misalnya, banyak tenaga profesional yang paham betul bidang garap dan tanggung jawabnya, namun tiba-tiba dihadapkan pada menteri yang tidak cukup paham terhadap departemen yang dipimpinnya karena jadi menteri semata alasan politik koalisi. Di sini pilar politik telah menggerogoti pilar yang lain, padahal mestinya memperkokoh.
Cukup menyedihkan, sekitar 291 kepala daerah terlibat korupsi, belum lagi yang menimpa anggota DPR. Kalau saja gaduh dan heboh layaknya kompetisi sepak bola dunia, itu sangat menghibur. Tapi, yang terjadi selalu saja kehebohan yang berkaitan dengan skandal korupsi. Sudah saatnya kita semua melakukan evaluasi perjalanan reformasi yang ditandai terutama oleh kebebasan berekspresi, desentralisasi pemerintahan, pemilihan langsung kepala daerah dan presiden. Parpol yang begitu menonjol perannya dalam membuat kegaduhan politik dan sosial harus merenung dan menyampaikan pertanggungjawabannya pada bangsa dan rakyat atas prestasi dan kegagalan mereka dalam mengurus pemerintahan.
Sementara peran parpol kedodoran, pilar-pilar bernegara yang lain mesti diperkuat sehingga keributan (noisy) yang menimpa parpol tidak memperlemah pilar lain, terutama pendidikan, ekonomi, birokrasi, keamanan, dan penegakan hukum. Biarlah teman-teman di parlemen sibuk berdebat, mengingat kata parlemen sendiri memang berasal dari bahasa Prancis yang berarti berdebat, berbicara dan berwacana. ●
Terdapat 34 provinsi, 409 kabupaten, dan 93 kota. Kalau saja pilkada tidak dilaksanakan serentak, hampir setiap hari ada pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota. Betapa gaduh, meriah, dan menegangkan. Belum lagi pemilu di tingkat nasional untuk memilih anggota DPR dan pasangan capres-cawapres. Kita tidak tahu persis, berapa triliun uang beredar untuk biaya kompetisi pesta perebutan kursi jabatan itu. Sungguh mahal menyelenggarakan pemilu dan pilkada di negara dengan jumlah pulau 17.504, jumlah kecamatan 6.519, dan pemerintahan desa/kelurahan 76.510.
Bisa dibayangkan persiapannya sejak rapat internal partai, membuat survei politik, melakukan analisis, kemudian persuasi massa dan kampanye dengan berbagai cara dan langkah. Yang itu semua kadang dilakukan berulang kali. Spanduk dengan potret tokoh bermunculan di sana-sini. Tidak cukup hanya modal spanduk, para calon dan tim sukses mereka juga melakukan silaturahmi ke berbagai tokoh masyarakat, membagi uang dan kaus, ikut kerja bakti sosial, dan sebagainya.
Stasiun televisi tidak mau ketinggalan menangkap lahan bisnis ini sehingga berbagai iklan kampanye dan debat para calon bermunculan di TV dengan biaya yang fantastis. Pesta dan festival demokrasi dilaksanakan tidak semata untuk mencari pemimpin yang baik, tapi pesta dan kompetisi itu juga hiburan yang mengasyikkan. Maka itu, demokrasi itu selalu menyajikan kegaduhan dan kemeriahan yang mahal, menegangkan, sekaligus juga menghibur rakyat. Kompetisi yang masih sulit ditebak siapa calon pemenangnya akan seru diikuti dan ditonton.
Sekarang ini pun begitu keadaannya ketika kita membahas siapa yang bakal jadi presiden pada Pemilu 2014, masih sulit ditentukan dibanding pemilu pada era Orde Baru. Para pengamat beradu data dan argumentasi, namun berakhir dengan open ended, belum bisa memberi pilihan yang mantap, serbahipotetis dan dugaan sementara. Kegaduhan berdemokrasi itu merata se-Indonesia. Maka itu, logis jika para pengamat asing kagum dan tertarik dengan eksperimentasi demokrasi di Indonesia. Bangsa ini sibuk dengan berbagai seremoni dan pesta salah satunya penyelenggaraan pilkada dari ujung Sumatera sampai ujung Papua.
Setelah usai pilkada yang unggul mengadakan pesta kemenangan. Yang kalah kadang heboh melakukan protes dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Lalu para pendukungnya ada yang terlibat bentrok menambah kegaduhan masyarakat. Belum lagi peran para advokat ketika terjadi perselisihan. Semua semakin membuat panggung politik seru dan gaduh ketika ditangkap media sosial. Meskipun paling senang heboh, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, partai politik itu hanyalah salah satu pilar dari pilar-pilar yang lain seperti pilar pendidikan, ekonomi, birokrasi, pertahanan, kebudayaan, dan sebagainya.
Hanya, pilar politik ini begitu berkuasa memengaruhi dan mengatur pilar yang lain. Yang repot adalah ketika pilar politik diisi oleh orang-orang yang kualitas ilmu dan moralnya di bawah pilar yang lain. Dalam jajaran birokrasi misalnya, banyak tenaga profesional yang paham betul bidang garap dan tanggung jawabnya, namun tiba-tiba dihadapkan pada menteri yang tidak cukup paham terhadap departemen yang dipimpinnya karena jadi menteri semata alasan politik koalisi. Di sini pilar politik telah menggerogoti pilar yang lain, padahal mestinya memperkokoh.
Cukup menyedihkan, sekitar 291 kepala daerah terlibat korupsi, belum lagi yang menimpa anggota DPR. Kalau saja gaduh dan heboh layaknya kompetisi sepak bola dunia, itu sangat menghibur. Tapi, yang terjadi selalu saja kehebohan yang berkaitan dengan skandal korupsi. Sudah saatnya kita semua melakukan evaluasi perjalanan reformasi yang ditandai terutama oleh kebebasan berekspresi, desentralisasi pemerintahan, pemilihan langsung kepala daerah dan presiden. Parpol yang begitu menonjol perannya dalam membuat kegaduhan politik dan sosial harus merenung dan menyampaikan pertanggungjawabannya pada bangsa dan rakyat atas prestasi dan kegagalan mereka dalam mengurus pemerintahan.
Sementara peran parpol kedodoran, pilar-pilar bernegara yang lain mesti diperkuat sehingga keributan (noisy) yang menimpa parpol tidak memperlemah pilar lain, terutama pendidikan, ekonomi, birokrasi, keamanan, dan penegakan hukum. Biarlah teman-teman di parlemen sibuk berdebat, mengingat kata parlemen sendiri memang berasal dari bahasa Prancis yang berarti berdebat, berbicara dan berwacana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar