|
SUARA KARYA, 28 Mei 2013
Menjelang perhelatan akbar Pemilu
2014, diperkirakan gonjang-gonjang politik akan semakin membahana. Bahkan,
hampir menapaki puncak inti klimaks. Di pertengahan tahun ini saja, sudah
banyak dinamika yang mengarah ke sana. Diawali dari mengemukanya kasus pengaturan
daging impor sapi yang diduga melibatkan mantan Presiden PKS, Luthfi Hasan
Ishaq sehingga mengakibatkan PKS menjadi 'bulan-bulanan' media. Kemudian,
diikuti oleh prahara internal partai penguasa, Demokrat. Disusul kemudian oleh
keluarnya Hary Tanoesoedibjo, sang taipan grup media massa MNC yang manarik
diri dari barisan partai Nasdem.
Menjelang perhelatan Pemilu 2014,
dinamika politik di negeri kita dalam waktu-waktu dekat praktis akan mengalami
peningkatan. Sedini mungkin setiap parpol akan memasang jurus kuda-kuda untuk
menguatkan dukungan publik sebagai langkah meningkatkan elektabilitas partai.
Tak ketinggalan pula para petinggi partai yang kebetulan menduduki kursi
penting di berbagai struktural kenegaraan tentu tidak akan tinggal diam.
Seoptimal mungkin mereka akan berpikir dan berupaya keras bagaimana parpol
kepunyaannya mampu menduduki kursi teratas.
Mencuatnya isu-isu personal
kepartaian yang akhir-akhir mengemuka di berbagai media mengindikasikan betapa
para petinggi parpol sudah mulai memperhatikan kepentingan personal partainya.
Kepentingan personal di sini mereka wujudkan dengan cara melakukan konsolidasi
internal kepartaian serta merealisasikan konsep komunikasi dan sosialisai
politik secara lebih intens dan aktif. Dengan begitu, maka kegaduhan politik di
sektor internal kenegaraan kita akan tambah menggeliat lantaran banyak petinggi
pemerintahan kita semakin menyibukkan diri mengurusi kepentingan partai
ketimbang persoalan kebangsaan.
Fenomena kepentingan personal yang
kental dalam diri partai bukan tidak mungkin mengakibatkan dinamika politik
kita akan semakin tidak jelas arahnya. Demikian dikarenakan partai politik yang
bergerak di dalamnya tidak betul-betul berangkat atas dasar kepentingan rakyat.
Melainkan, lebih dikarenakan berangkat atas dasar kepentingan kelompok partai
secara kolektif.
Karenanya, tak sedikit parpol yang
keberadaannya tidak bersahabat dengan rakyat dan belum cukup amanah mewakili
kebutuhan-kebutuhan rakyat. Mereka hanya datang saat menjelang pemilu untuk
berkampanye, membawa sempalan-sempalan janji yang enak didengar. Namun, itu
hanya musiman, setelah masa-masa pemilu usai, sesigap mungkin parpol
menghilang. Janji tinggal janji, sedangkan rakyat gelisah menanti.
Sampai di sini, maka kehadiran
parpol sebagai mesin politik telah gagal dalam menjalankan fungsi-fungsi yang
semestinya mereka jalankan dengan baik, yaitu menjadi wahana bagi warga negara
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan
kepentingannya dihadapan penguasa. (Budiardjo, 2008: 405)
Kegaduhan politik di negeri yang
(katanya) demokratis ini bisa saja ditengarai karena sulitnya parpol dan
politisi kita melepaskan diri dari sifat pragmatis. Bukan rahasia umum lagi,
kita dapati berbagai aktivitas politik yang kerapkali menjadikan uang sebagai
subtansi utama. Bahkan, jika boleh mengatakan, dinamika politik kita sejauh ini
masih terbelit dengan krisis idealis kepartaian. Tahun politik yang sejatinya
dijadikan ajang memperkenalkan visi-misi partai, kini dijadikan moment
melakukan transaksi jabatan. Bisnis politik seperti ini biasanya dijalankan
dengan cara melakukan rekrutmen politik lewat jalan "tawar menawar"
antara parpol dan kader rekrutannya.
Bisnis politik di tahun politik
memang menjanjikan begitu banyak keuntungan. Karena, pada tahun-tahun ini kaum
elite berduit berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai anggota kader supaya
bisa memiliki 'kendaraan' menduduki kursi legislatif. Tak pelak, mereka yang
duduk di Senayan adalah pentolan kaum-kaum berduit yang sejatinya kapasitas
mereka sebagai politisi belum teruji. Istilah miring perihal politisi dadakan
berkembang pesat, sebagai refleksi atas model rekrutmen politik yang terlampau
bersifat pragmatis.
Bisnis politik sebagai bagian dari
kegaduhan politik bisa pula kita dapati ketika muncul kemungkinan adanya
penyelewengan para aktor politik yang memiliki wewenang di kursi parlemen,
dalam hal ini adalah para wakil rakyat. Sebagaimana kita tahu keberadaan para
wakil rakyat di Gedung Senayan tidaklah independen, melainkan berangkat atas
nama fraksi-fraksi kepartaian. Bukan bermaksud buruk sangka, namun bukan
rahasia umum lagi, jika kebanyakan para anggota dewan memiliki kecenderungan
lebih memprioritaskan kepentingan partai dan dirinya ketimbang rakyat.
Karenanya, menghadapi Pemilu 2014,
kecendrungan para politisi Senayan untuk mendapatkan 'dana siluman' sangat
potensial. Modusnya pun beraneka ragam, ada yang melalui pengelambungan
anggaran, permainan kebijakan, dan ada pula yang melalui permainan tender dan
proyek. Untuk itulah, kesigapan elemen masyarakat dalam melakukan kontrol dan
pengawasan memiliki peran sentral, agar tahun politik saat ini tidak dijadikan
ajang menjarah kekayaan negara.
Sampai di sini, maka kehadiran
konsensus politik sebagai langkah mengantisipasi kegaduhan politik mutlak
diperhatikan. Beberapa faktor kegaduhan politik yang terjadi belakangan ini bisa
saja disebabkan tidak adanya sebuah konsensus bersama yang betul-betul mengarah
pada kepentingan nasional dan masa depan bangsa, serta belum mampu
menyelamatkan bangsa Indonesia dari hiruk-pikuk politik yang bersifat
pragmatis. Untuk itu, reformasi politik dari model pragmatis menuju idealis
perlu ditanamkan pada diri masing-masing partai. Jika perlu lakukanlah
perbaikan, syukur-syukur bila sampai menciptakan perubahan. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar