|
KOMPAS, 31 Mei 2013
Tanggal
1 Juni besok, situs Bung Karno di Ende akan diresmikan secara besar-besaran
oleh Wakil Presiden Boediono, dengan taman dan penataan lanskap di lokasi
ditempatkannya patung Soekarno. Patung karya pematung Hanafi tersebut berbeda
dari patung Soekarno mana pun di Indonesia. Patung-patung lain menggambarkan
Soekarno beraksi, tangan teracung. Di Ende, Soekarno seorang pemikir reflektif,
tenang, dan duduk. Koor gabungan 1.000 siswa SMA Ende akan mengumandangkan lagu
polifonik ”Io Vivat Nostrorum Sanitas” (sehat walafiatlah sobat-sobat kita)
yang diajarkan Bung Karno untuk klub teaternya di Ende.
Kontribusi
Ende
Soekarno
dengan gagah perkasa menjalani hukuman penjara pertama, 1930, tetapi mengalami
kehancuran mental, ketidakpastian sosial, dan disorientasi politik pada
pemenjaraan kedua, 1933, sampai-sampai meminta belas kasihan pemerintah
kolonial. Dalam keadaan begitu, Soekarno menjejakkan kakinya di dermaga
Pelabuhan Ende, Februari 1934.
Soekarno
yang datang ke Ende adalah Soekarno yang ”secara politik mati”, kata Hatta.
Namun, di Ende, perlahan Soekarno membangun kembali kekuatan dirinya tahap demi
tahap.
Pertama,
Soekarno menjadi seorang bapak keluarga tanpa gangguan kegiatan politik seperti
di Bandung. Soekarno menanam sayur-mayur, memetiknya untuk dimasak di rumah
kontrakannya demi lima anggota keluarganya. Sebagai bapak keluarga, Soekarno
juga menjadi seorang Muslim yang taat—shalat sehari lima waktu dan setiap Jumat
ke masjid.
Kedua,
dari menjadi bapak keluarga, Soekarno perlahan-lahan menghidupkan kembali
kegiatan
intelektualnya dan menjadikan dirinya seorang ahli Islam. Di Jawa,
keasyik-masyukannya dengan marxisme menenggelamkan perhatiannya terhadap Islam.
Meskipun demikian, tulisan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, 1926, adalah
manifesto politik Soekarno muda yang brilian, 25 tahun—tidak kalah dari Marx
(30) dan Engels (28); ketiganya berada dalam kurun umur sama.
Di
Jawa, Soekarno melihat Islam dari luar, dari kacamata marxisme yang menuntut
simpati Islam terhadap marxisme karena Islam pada dasarnya adalah sosialis,
demikian Soekarno. Di Ende, Soekarno banyak menulis dan melihat Islam dari
dalam.
Ketiga,
Soekarno dijauhi golongan atas di Ende dan ditakuti golongan bawah karena
propaganda kolonial: dia dianggap komunis. Soekarno mengeluh bahwa tidak ada
orang yang mendengarnya di Ende: ”Orang di sini yang mengerti tidak bicara dan
yang bicara tidak mengerti.”
Karena
itu, ”aku akan membentuk masyarakatku sendiri” dan mempersetankan ”orang pintar
yang tolol itu”. Dia mendirikan ”Kelimoetoe Toneel Club”, dengan dukungan
tukang jahit, sopir, nelayan; beranggaran dasar dan Soekarno sendiri
direkturnya. Dia menulis dan mementaskan 13 drama dalam tempo empat tahun!
Rata-rata setiap triwulan satu drama. Dengan anggota antara 56 dan 90 orang dia
membentuk ”massa kecil”, kemudian jadi ”kampus” tempat diskusi. Soekarno
menanam kesadaran akan kemerdekaan meski semuanya dalam bahasa simbolik teater
karena lima polisi kolonial selalu mengawasinya.
Keempat,
perlahan Soekarno mengalihkan diri menjadi cendekiawan sejati dengan keluar
melangkah ke suatu kelompok berbeda, dengan para pastor/misionaris. Diskusi
dalam bahasa Belanda secara rutin dijalankan dengan mereka di Ende, yang
rata-rata seumur dengannya, 35-40 tahun, saat pemuda Soekarno berumur 33 tahun.
Di
sana dipelajari agama mondial dalam diskusi dengan dukungan buku di
perpustakaan pribadi para pastor itu. Sosialisme Soekarno dibandingkan langsung
dengan sosialisme gereja yang dipelajarinya di sana.
Kelima,
berbekal hasil diskusi itulah, renungan di bawah pohon sukun yang begitu
membuai Soekarno menjadi puncak dari semua yang diperoleh di Ende, yaitu
menggali dan merenung tentang Pancasila yang dilukiskan Soekarno dengan begitu
puitik.
Ende
dan Sang Ideolog
Soekarno
memang lebih menekankan renungan di bawah pohon sukun. Namun, menurut penulis,
Soekarno mengabaikan dua hal lainnya, karena gabungan ketiganya—diskusi, aksi
teater, dan refleksi—secara gemilang mengantarnya menuju kesatuan mistik di
bawah pohon sukun untuk menemukan sesuatu yang tujuh tahun kelak, pada 1 Juni
1945, disebutnya sebagai Pancasila. Maka, lahirlah seorang ideolog negara,
state ideologist, di Ende.
Dengan
demikian, Ende jadi penting bagi Soekarno. Jika Ende penting bagi Soekarno, dan
Soekarno penting bagi Indonesia, dengan sendirinya Ende harus penting bagi
Indonesia. Sebab, apa pun yang penting bagi Soekarno, penting bagi bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar