|
IndoPROGRESS, 29 Mei 2013
APA KABAR kaum Muslim Demokrat Indonesia?
Dinamika diskursus dan aktivisme kaum Muslim Demokrat dengan berbagai tendensi
dan variannya di Indonesia, telah membawa mereka dan juga gerakan sosial serta
gerakan Islam di Indonesia pada persimpangan jalan: apakah kaum Muslim Demokrat
akan terjebak di dalam logika kuasa yang oligarkis, ataukah mereka akan
konsisten terhadap cita-cita pergerakan mereka dengan memperjuangkan politik
demokratis yang lebih radikal?
Menanggapi gugatan kawan Airlangga
Pribadi atas problematika dan
dilema kaum Muslim Demokrat di Indonesia, kali ini saya ingin mengamini argumen
Airlangga, sekaligus menambahkan beberapa kritik terhadap tesis Muslim Demokrat
di Indonesia. Kritik ini meliputi kritik epistemologis, metodologis, dan
praxis. Melalui tulisan ini, saya berharap bahwa kaum Muslim Demokrat dan
gerakan sosial di Indonesia pada umumnya, dapat melakukan refleksi yang lebih
dialektis atas kiprahnya selama ini.
Pentingnya Realisme dalam Membaca Masyarakat Islam
Sebagaimana pernah saya sampaikan sebelumnya dalam
tulisan saya tentang metode Marxis dalam studi Islam, kali ini
saya ingin memaparkan kembali tentang kegunaan metode Marxis dalam memahami
masyarakat Islam. Sedikit banyak, saya terinspirasi oleh karya-karya Maxime
Rodinson (1973; 1980; 1981). Dalam karya-karyanya, Rodinson mencoba mengalihkan
fokus studi Islam dan Orientalisme secara keseluruhan dari pembacaan yang
simplistis atas masyarakat Islam, menuju sebuah pembacaan yang lebih
komprehensif dan kritis, yaitu dengan memperhatikan aspek-aspek kesejarahan,
kuasa, dan ekonomi-politik yang membentuk budaya dan tatanan nilai masyarakat
Islam. Namun, dalam menanggapi tuduhan ‘determinisme basis ekonomi’ atau
‘determinisme ekonomi-politik’ dalam analisa Marxis atas masyarakat Islam,
Rodinson sendiri menegaskan bahwa faktor-faktor ideasional dan kultural atau
kebudayaan, bukanlah sekedar cerminan epifenomenal superstruktur atas basis
material suatu masyarakat, suatu argumen yang juga ditegaskan oleh Georg Lukács
(1971). Ada dinamika dan pertautan antara faktor-faktor material dan ideasional
dalam perkembangan sejarah suatu masyarakat. Lebih lanjut lagi, aspek-aspek
ideasional seperti perkembangan diskursus keagamaan dalam suatu masyarakat
dapat muncul dalam berbagai bentuknya yang terkadang dapat berbenturan atau
berkonflik satu sama lain. Berangkat dari argumen inilah, kita dapat
memahami dinamika Islam dan politik di Indonesia serta kelemahan
argumen-argumen kaum Muslim Demokrat.
Beberapa Kritik tambahan atas Kaum Muslim Demokrat di Indonesia
Beberapa kelemahan argumen kaum Muslim Demokrat dalam
dinamika demokratisasi di Indonesia, dijelaskan secara gamblang oleh Airlangga
dalam artikelnya. Pertama, argumen kaum Muslim
Demokrat sebagai salah satu lokomotif demokratisasi di Indonesia terlampau
menekankan pada aspek agensi, namun abai pada kondisi dan hambatan struktural
di mana agensi itu bekerja. Kedua,kemunculan
gagasan-gagasan progresif, terutama dalam varian liberal ala kaum Muslim
Demokrat, juga tidak lepas dari faktor-faktor material yang memungkinkan
gagasan tersebut muncul – seperti ketersediaan dana untuk berbagai
lembaga non-pemerintah (LSM) baik dari dalam maupun luar negeri. Ketiga, kaum Muslim Demokrat abai akan fakta bahwa
perspektif modal sosial (social capital) yang
sering menjadi landasan bagi argumen mereka, merupakan ‘kuda troya’ (trojan horse) atas agenda-agenda developmentalisme ala
institusi-institusi keuangan internasional seperti Bank Dunia (World Bank dan Lembaga Moneter Internasional (International Monetary Fund, IMF), dan juga merupakan
bagian dari agenda kapitalisme neoliberal (Carroll, 2009; 2010; Sommers, 2008).
Selain kritik-kritik tersebut di atas, beberapa tambahan
kritik lain perlu disebut. Pertama, kaum
Muslim Demokrat abai terhadap kesenjangan basis material dan aspek-aspek
ekonomi-politik lain antara para ‘intelektual Islam’ dengan realitas objektif
umat dan masyarakat yang mereka perjuangkan. Tatkala kaum Muslim Demokrat sibuk
berdiskusi dan melakukan kegiatan-kegiatan ‘produksi intelektual,’ di saat yang
bersamaan berbagai kelompok masyarakat yang tertindas dan termarginalisasi
masih saja tereksploitasi. Sesekali, kaum Muslim Demokrat ‘turun gunung’ dan
turut aktif dalam berbagai agenda politik progresif, seperti perlindungan
terhadap hak-hak minoritas, namun komitmen dan partisipasi mereka berhenti
hanya di situ.
Kedua, kesenjangan ekonomi-politik ini juga tercemin
dalam kesenjangan diskursif antara para intelektual dan umat yang katanya
diwakilkan oleh mereka. Sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, aspek diskursif
dari transmisi suatu pengetahuan keagamaan penting untuk diperhatikan, karena
aspek ini dapat dipahami secara berbeda oleh berbagai kelompok masyarakat dan
menimbulkan berbagai interpretasi (Kendhammer, 2013). Sebelum agenda-agenda
pembaharuan Islam dan keagamaan secara umum dapat disebarkan, yang tidak kalah
penting adalah mengetahui bagaimana persepsi dan pemahaman publik atas
diskursus keagamaan secara umum. Hemat saya, untuk mengetahui kecakapan
diskursif publik atas agenda-agenda pembaruan keagamaan dan ide-ide progresif
lainnya, barangkali yang diperlukan bukan hanya kecakapan membaca dan memahami
teks-teks keagamaan dan perdebatan paling mutakhir dalam kajian ilmu sosial dan
humaniora. Tak kalah penting adalah adanya kepekaan atas faktor-faktor material
yang membentuk pemahaman masyarakat, sekaligus kerelaan untuk belajar bersama
berbagai elemen masyarakat, terutama mereka yang tertindas, dalam hubungan yang
setara, pedagogis dan dialektis (Freire, 2006).
Tentu saya mengapresiasi komitmen berbagai
kalangan kaum Muslim Demokrat Indonesia atas agenda-agenda politik
progresifnya, seperti pembelaan terhadap kelompok minoritas keagamaan dan
isu-isu sosial dan politik yang mendesak. Namun, menurut saya, mereka telah
gagal dalam menganalisa permasalahan yang lebih besar dari berbagai
permasalahan yang terkait dengan diskursus keagamaan di Indonesia, serta dalam
memperjuangkan agenda demokrasi yang lebih luas, mendalam dan partisipatoris.
Fenomena munculnya kelompok-kelompok vigilantis yang bernuansa kegamaan dan
etnis, misalnya, tidak dapat disimplifikasi menjadi sekedar masalah
‘fundamentalisme versus moderatisme dan liberalisme Islam.’ Kita perlu melihat
bagaimana sejarah dari berbagai kelompok tersebut, dampak transisi politik dari
otoritarianisme menuju demokrasi, serta perubahan pola politik kuasa dan
patronase, serta aliran dana yang memungkinkan kelompok-kelompok tersebut terus
aktif (Wilson, 2006; 2010). Begitupun persoalan munculnya berbagai perda
bernuansa syari’ah, yang tidak lepas dari dorongan akumulasi kapital dan
populisme politik dalam konteks politik lokal yang terdesentralisasi (Buehler,
2008). Tentu faktor-faktor yang bersifat ideologis, seperti pemahaman
fundamentalis atas agama berperan dalam penyebaran fenomena seperti ini. Namun,
bukankah diseminasi ide-ide seperti itu lebih mudah terjadi di dalam konteks
masyarakat perkotaan dengan praktek-praktek politik yang koruptif dan
kesenjangan sosio-ekonomi yang makin meningkat? (Kendhammer, 2013). Kemudian,
diseminasi ide-ide pembaharuan keagamaan dan agenda-agenda sosial progresif ala
kaum Muslim Demokrat juga terkesan elitis. Akibatnya, ide-ide kaum Muslim
Demokrat justru terdengar asing bagi umat Islam Indonesia itu sendiri.
Kesenjangan ini juga diperparah dengan praktek politik dari berbagai tokoh kaum
Muslim Demokrat yang memutuskan untuk merapat dengan kekuatan-kekuatan bisnis
dan politik yang oligarkis atau bergabung dengan politik kepartaian tanpa
kalkulasi yang matang atas berbagai dilema dalam politik elektoral. Secara
mengherankan, beberapa tokoh terkemuka dari kaum Muslim Demokrat juga
mengadvokasi keunggulan agenda-agenda ekonomi politik pasar bebas, namun tidak
melangkah lebih jauh dengan membongkar berbagai ortodoksi asumsi dari
agenda-agenda tersebut.
Akibatnya, kaum Muslim Demokrat Indonesia
justru terjebak dalam praktek-praktek politik yang oligarkis dan
anti-demokratik yang berlawanan dengan agenda yang mereka perjuangkan selama
ini. Kemudian, asosiasi masyarakat antara kaum Muslim Demokrat dengan
keterlibatan mereka dalam politik praktis – suatu asosiasi yang ingin
‘diceraikan’ oleh kaum Muslim Demokrat namun nampaknya tidak berhasil –
akhirnya memberikan dampak negatif bagi agenda-agenda pembaruan Islam itu
sendiri. Imajinasi kolektif berbagai kelompok masyarakat, termasuk beberapa
kelompok kelas menengah, atas kaum Muslim Demokrat, sebagai penyebar pemahaman
keagamaan yang ‘sesat’ atau ‘nyeleneh,’ sedikit banyak berakar dari abainya
kaum Muslim Demokrat atas faktor-faktor material-struktural yang berkaitan
dengan aktivitas dan agenda intelektual mereka. Pada akhirnya, hal ini menjadi
hambatan bagi agenda-agenda progresif dari kaum Muslim Demokrat itu sendiri dan
agenda-agenda pembaruan Islam yang lebih luas.
Refleksi dan Penutup
Berkaca dari kegagalan kaum Muslim Demokrat
dalam memperjuangkan agenda-agenda politik yang lebih demokratik dan
anti-oligarki, untuk kedepannya saya melihat setidaknya ada dua catatan yang
perlu diperhatikan kaum Muslim Demokrat dan gerakan sosial di Indonesia.
Pertama, kita perlu melihat pada proses sejarah sosial
(social history) dari pembentukan suatu diskursus. Dalam
pemikiran politik Barat, analisa sejarah sosial ini pernah dilakukan oleh Wood
(2008; 2012) secara bernas untuk melihat apa sesungguhnya ketegangan utama
dalam sejarah filsafat politik Barat. Kaum Muslim Demokrat dan kita, bagian
dari gerakan sosial yang lebih luas di Indonesia, perlu belajar dari karya
intelektual tersebut. Sejarah sosial pembentukan suatu diskursus intelektual,
termasuk diskursus tentang peranan utama kaum Muslim Demokrat, tidak terlepas
dari berbagai faktor material yang berada di sekelilingnya. Khususnya faktor pembentukan
elit (elite formation), yaitu proses perkembangan intelektual
dari para cendekiawan Muslim Demokrat itu sendiri dan juga proses perkembangan
elit-elit ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan yang secara potensial dapat
membantu perkembangan dan diseminasi diskursus para kaum Muslim Demokrat,
misalnya perkembangan kelompok diskusi, lembaga tangki pemikir (think tank), dan sumber dana yang dapat membantu
keberlangsungan lembaga-lembaga semacam itu. Tujuan dari analisa sejarah sosial
atas suatu diskursus intelektual, tidak terkecuali diskursus Muslim Demokrat,
adalah untuk mengetahui bagaimana suatu diskursus intelektual dalam
perkembangannya dapat terdistorsi dan alih-alih mewakili kepentingan kelompok
yang tertindas, justru menjadi perwakilan dan perpanjangan tangan dari kelas
yang berkuasa.
Kedua, kooptasi diskursif dan ekonomi-politik atas
agenda kaum Muslim Demokrat juga tidak lepas dari internasionalisasi dan
ekpansi kapitalisme neoliberal yang memungkinkan kooptasi itu terjadi. Kaum
Muslim Demokrat di Indonesia, juga tidak lepas dari jeratan proses kooptasi
ini.
Apakah kaum Muslim Demokrat hanya menjadi kaum
Muslim ‘Demokrat,’ pandai bercakap dan berdebat dalam diskursus dan leksikon
agenda-agenda sosial dan politik liberal, namun abai pada struktur oligarkis
yang menopangnya? Apakah kaum Muslim Demokrat, sebagaimana banyak elemen dari
gerakan sosial yang lain, pada akhirnya tunduk kepada oligarki? Mungkin, hanya
kaum Muslim Demokrat sendirilah yang mampu menjawab pertanyaan tersebut.
Namun, seingat saya, bukankah sejarah
menunjukkan, sebagaimana dapat kita lihat dalam perjuangan berbagai elemen
progresif dalam Sarekat Islam (SI) melawan kolonialisme, bahwa Islam hanya
dapat menjadi kekuatan pembebas apabila ia berpihak kepada mereka yang lemah
dan tertindas?
Ah,
lagi-lagi saya lupa. Agaknya sudah lama kita enggan membaca kembali sejarah
kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar