Rabu, 22 Mei 2013

Teror Geng Motor


Teror Geng Motor
Saharuddin Daming ;  Mantan Komisioner Komnas HAM
REPUBLIKA, 20 Mei 2013

Sudah merupakan impian semua umat manusia untuk hidup secara damai, tenteram, dan bahagia, sehingga siapa pun termasuk negara wajib menghadirkan nilai ideal tersebut tanpa syarat. Itu sebabnya, dalam berbagai instrumen HAM maupun UUD 1945, khususnya Pasal 28 G ayat 1 pada prinsipnya menegaskan bahwa setiap manusia berhak bebas dari rasa takut, apalagi tindakan yang mengganggu ketenangan dan keamanan diri, keluarga, maupun harta benda dan lingkungannya.

Sayangnya, jaminan keamanan dalam konstitusi kita itu kini tergerus beragam tantangan. Salah satu ancaman nyata terhadap hak asasi atas keamanan tersebut adalah geng motor. Setelah sedikit reda dari pemberitaan selama beberapa bulan, warga masyarakat di beberapa kota kembali resah dengan ulah geng motor. 

Di berbagai warung pojok terjadi pergunjingan sinis tentang polisi yang dinilai hanya bernafsu memburu pelaku kriminal yang berimbal fulus, seperti narkoba, judi, juga terorisme. Sedangkan, aksi brutal geng motor terkesan dibiarkan. Padahal, kurang apa kekuatan polisi dari berbagai satuan untuk membereskan mereka. Kalau perlu, satuan TNI juga dilibatkan demi menegakkan hukum dan memelihara martabat masyarakat yang semakin terusik dengan teror geng motor.

Perkembangan geng motor sekarang sudah berada dalam taraf berbahaya. Mereka sangat arogan, anarkistis, dan egois karena tak mau didahului saat berkendara. Mereka tak segan-segan tawuran, merampok, hingga membunuh tanpa sedikitpun merasa berdosa. Sepanjang 2012, sudah 65 orang yang kehilangan nyawa di tangan geng motor. 

Kelompok berandal itu melakukan pelanggaran hukum secara berganda. Mulai dari pelanggaran lalu lintas, misalnya, hingga membawa senjata tajam dan bom molotov. Mereka biasanya beraksi pada malam hari dengan knalpot yang memekakkan telinga. Motor yang mereka gunakan pun kebanyakan bo dong dari hasil curian kalau bukan rampasan. 

Anggotanya lebih banyak kaum pria yang berwajah sangar, tukang mabuk, penjudi, pemakai dan pengedar narkoba, pezina, pemerkosa, serta gemar berkelahi atau membuat onar. Prinsip mereka dalam beraksi, kencang dan mampu melibas orang yang lewat. 

Saat direkrut, mereka harus mengucapkan sumpah tri prasetia geng motor, yaitu harus berani melawan polisi, melawan orang tuanya sendiri, dan harus bernyali baja dalam melakukan kejahatan. Seremoni pelantikannya ditandai dengan adu jotos dan minum minuman keras sampai muntah. Tak hanya itu, geng motor yang dipimpin Klewang di Riau mempersyaratkan perempuan yang direkrut sebagai anggota baru harus terlebih dahulu berhubungan badan dengan sang ketua, selanjutnya dapat dinikmati secara bergilir oleh anggota lainnya. 

Geng motor merupakan wadah yang mampu memberikan gejala watak keberingasan anak muda. Perkembangannya, tak lepas dari tren mode yang sedang berlangsung saat ini. Jika memotret patologi keanggotaan, mereka sebagian besar adalah korban destruksi pembinaan orang tua atau keluarga. 
Dengan kondisi pembinaan orang tua atau keluarga yang terganggu, anak tidak betah di rumah sehingga mencari lingkungan yang dapat mengakomodasi kebutuhan emosionalnya. Jika proses pencarian jati diri terjatuh di kubangan yang berkutat dengan energi negatif seperti geng motor, ia pun akan bermeta- morfosis mengikuti tren lingkungan geng motor.

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa dunia remaja merupakan tahap perkembangan emosi yang sangat sensitif dengan lingkungan sosial. Ketika ia terjebak dalam kumpulan pergaulan yang dominan berciri destruktif, pola perilakunya akan cenderung mengikuti tren baru di lingkungannya meski bernilai negatif. 
Adapun faktor penyebab terjadinya tawuran antargeng motor, antara lain, karena rebutan wanita atau daerah kekuasaan, hingga wilayah pemasaran narkoba. Mereka juga tidak takut kepada aparat karena di antara mereka ada yang mempunyai beking aparat. Bahkan, ada yang merupakan anak dari pejabat penting aparat penegak hukum. 

Berkaca dari potret buram geng motor seperti ini, profil style mereka sebenarnya sudah dapat disejajarkan dengan terorisme, bahkan bisa lebih jahat dari terorisme. Sejahat-jahatnya teroris yang dicap dan menjadi santapan lezat Densus 88 saat ini, tidak ada doktrin yang sampai membenarkan perzinaan, apalagi pembangkangan kepada orang tua sendiri.

Meski geng motor bisa dikualifikasikan sebagai terorisme baru, aparat penegak hukum tampak gamang melakukan penegakan hukum. Bandingkan dengan tersangka teroris yang melakukan kejahatan secara tersembunyi (laten) dengan sasaran tertentu, tapi polisi sangat tegas dan selalu dapat meng - ungkap keberadaan mereka meski bersembunyi pada lubang semut. 

Dengan sikap ambigu aparat penegak hukum seperti itu, sebagian warga masyarakat yang mempunyai kesempatan menemukan anggota geng motor yang jatuh atau nyasar, langsung dieksekusi tanpa ampun. Ini adalah buah dari ketidaksabaran publik. Dalam hal ini, pihak berwajib bukan tidak mampu, tetapi terkesan sungkan alias tidak mau bertindak tegas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar