Minggu, 05 Mei 2013

Terkepung Sampah Visual


Terkepung Sampah Visual
Firdaus Cahyadi ;  Knowlegde Manager for Sustainable Development,
OneWorld-Indonesia 
REPUBLIKA, 04 Mei 2013


Pada 1985, penyanyi rock perempuan Nicky Astria memopulerkan lagu yang berjudul `Tangan-Tangan Setan'. Lagu itu menggambarkan kondisi kota yang tak lagi indah karena di bangunan-bangunan penuh coretan liar tak beraturan. Waktu berlalu, coretan liar di beberapa bangunan kota masih ada. Kini bukan hanya coretan liar yang merusak keindahan kota, namun juga iklan-iklan produk barang dan jasa. Lihat saja, hampir di setiap tempat strategis di kota-kota besar selalu terdapat iklan-iklan yang menawarkan produk barang dan jasa. 

Iklan-iklan di ruang publik itu tambah marak ketika mendekati pemilu, baik legislatif maupun eksekutif. Tak mau kalah dengan perusahaan, para politisi itu juga mengotori ruang publik dengan gambar-gambar narsisnya. Iklan-iklan di sudut kota kini telah menjelma menjadi sebuah sampah visual. Mengapa disebut sampah visual, karena sudah tidak enak dipandang mata.

Keberadaan sampah visual bukan hanya ada di sudut-sudut kota. Di dalam gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) Commuterline jurusan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) pun sampah-sampah visual mulai mengganggu pandangan mata. Bahkan, sampah-sampah visual di gerbong KRL Commuterline sudah mengor bankan hak penumpang atas informasi.

Bagaimana tidak, tempat yang memuat informasi rangkaian gerbong kereta pun sudah tertutupi oleh iklan. Penumpang juga akan kesulitan mengetahui rute KRL Commuterline, karena tempat yang biasanya memperlihatkan informasi rute KRL sudah berganti dengan iklan sebuah produk barang dan jasa. Singkat kata, sekarang para penumpang KRL Commuterline lebih mudah untuk mengetahui mereka harus membeli produk apa daripada berada di gerbong berapa dan bagaimana rute KRL yang mereka tumpangi.

Kita benar-benar sudah dikepung oleh iklan-iklan yang telah menjelma men- jadi sampah visual tersebut. Kepungan sampah-sampah visual dalam kehidupan kita itu bukan hanya telah mengganggu keindahan, namun perlahan dan tanpa kita sadari telah membentuk sikap kita untuk lebih konsumtif. Sering kali kita membeli sebuah produk barang dan jasa bukan karena kita benar-benar butuh terhadap barang dan jasa itu, tapi karena kita terbuai dengan iklan yang ditawarkannya.

Celakanya, akibat kepungan sampah visual itu, sikap konsumtif sudah tertanam sejak masih anak-anak. Tak jarang, suatu saat kita melihat saudara atau anak kita yang masih kecil merengek meminta dibelikan air mineral dengan merek tertentu? Anak menangis karena kehausan itu normal. Namun, bila anak sudah meminta dibelikan sebuah produk air mineral dengan merek tertentu, jelas itu sebuah sikap konsumtif yang telah tertanam di memori otaknya.

Ada berita menarik pada November 2011 silam yang menggambarkan betapa konsumtifnya masyarakat kita. Berita itu menuliskan tentang puluhan orang yang menjadi korban karena berdesak-desakan untuk bisa mendapatkan produk Blackberry murah. Kita semua tentu paham bahwa Blackberry bukanlah kebutuhan dasar, sehingga seharusnya tidak perlu diperebutkan dalam memperolehnya. Blackberry tidak terkait dengan hidup dan mati kita sebagai manusia. Namun, kepemilikan Blackberry terkait dengan identitas sosial kita. Karena identitas sosial itu pulalah maka tidak memiliki Blackberry seakan menjadi hidup kita tidak berarti.

Suatu survei yang dilakukan oleh aktivis Forum Warga Kota Jakarta, sebuah LSM yang mendampingi warga miskin kota Jakarta pada tahun 2010 menarik disimak. Menurut lembaga tersebut, masyarakat miskin dampingannya mengeluarkan uang rata-rata Rp 30 ribu/bulan/KK untuk mengakses internet di warnet dan sebesar Rp 160 ribu/bulan/KK untuk membeli voucher handphone. Jika ditotal maka sekitar Rp 190 ribu/bulan/KK pengeluaran warga miskin kota untuk belanja produk telematika.

Bandingkan pengeluaran warga miskin tersebut di atas dengan kebutuhan-kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan atau Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM) menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010. Pada tahun itu GKNM di Jakarta sebesar Rp 117.682. Artinya, pengeluaran untuk belanja produk telematika oleh warga miskin itu telah melebihi pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.

Kepungan sampah visual ini harus diurai. Pemerintah yang memiliki kekuasaan politik harus mengeluarkan kebijakan untuk mengendalikan merajalelanya sampah visual, yang selain merusak keindahan kota dan mengganggu pandangan mata juga menimbulkan dampak merebaknya sikap konsumtif di masyarakat kita. Menjaga keindahan kota dan menyelamatkan masyarakat dari sikap konsumtif lebih penting dan mahal daripada pemasukan pajak dari sampah visual itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar