|
REPUBLIKA,
04 Mei 2013
Gonjang-ganjing
seputar pelaksanaan ujian nasional (UN) tahun ini memang luar biasa. Apa yang
salah dengan UN, apakah perlu dihapuskan saja atau sekadar dimodifi kasi? UN bukanlah
hal yang baru. Sejak 1950-an (UN atau apalah namanya) telah dilaksanakan setiap
akhir tahun ajaran.
Dari
sisi konsep, tidak ada yang salah dengan UN. Namun, dari sisi penyelenggaraan
yang karut-marut dan tak kunjung membaik setiap tahun, itulah masalah yang
sebenarnya. Dengan demikian, akan lebih bijak jika para pakar pendidikan
memberi masukan kepada pemerintah bagaimana cara menyelenggarakan UN secara
efektif dan efisien.
Kejadian
Luar Biasa (KLB) UN 2013 memang benar-benar berdampak luar biasa. Momentum ini
seakan menjadi senjata yang mematikan bagi para penentang UN untuk memaksa
pemerintah menghapuskan UN dari kalender pendidikan di Tanah Air. Anggapan
UN sebagai praktik penyiksaan terhadap siswa juga terlalu berlebihan. Bagaimana
tidak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menyusun materi soal UN
telah melibatkan para guru dan pakar pendidikan sesuai standar kompetensinya.
Kisi-kisi soal UN 2013 juga sudah jauh-jauh hari disosialisasikan ke
sekolah-sekolah dan bisa diunduh di internet.
Mengapa
UN menjadi menakutkan bagi sebagian siswa? Pertanyaan ini menarik untuk
dilontarkan dan sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mencari jawabannya. Siswa
yang merasa takut dan stres berlebihan saat menghadapi UN adalah siswa yang
tidak percaya diri untuk menghadapi UN. Rasa tidak percaya diri itu timbul
karena siswa merasa kurang, bahkan tidak siap menghadapi UN. Penyebab banyaknya
siswa yang tidak siap menghadapi UN pun bisa beragam, mulai dari guru yang
tidak tuntas memberikan materi pelajaran sesuai tuntutan kurikulum, siswa yang
malas belajar, dan yang memprihatinkan adalah tidak sedikit siswa yang duduk di
kelas akhir sebuah satuan pendidikan, tetapi kompetensinya jauh dari standar
minimal. Mungkin kita semua masih ingat sebuah kejadian di Sumatra Utara
pada 2011 di mana terdapat dua orang siswa peserta UN SMP yang kedapatan tidak
bisa membaca.
Pertanyaan
selanjutnya, mengapa fenomena memprihatinkan semacam itu bisa terjadi. Mengapa
terjadi degradasi yang sangat tajam pada kualitas pendidikan kita. Jawabannya,
antara lain, dalam praktik pendidikan kita terlalu banyak toleransi. Misalnya,
siswa yang seharusnya tidak naik kelas, terpaksa dikatrol nilainya oleh guru
agar naik kelas karena sesuatu dan lain hal.
Secara
logika, jika siswa sudah siap sepenuhnya secara kompetensi untuk menghadapi UN,
kasus-kasus seperti kebocoran soal tidak akan terjadi karena tidak ada siswa
yang membutuhkan bocoran. Praktik contek-mencontek tidak akan terjadi karena semua
anak kemampuannya hampir sama. Perasaan tertekan yang berlebihan juga tidak
akan terjadi.
Problematika
pendidikan kita memang sangat kompleks dan berlarut-larut. Membenahinya tentu bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kerja sama antara
pemerintah, cendekiawan, masyarakat, sekolah. Dan yang tidak kalah pentingnya
adalah peran orang tua dalam memantau pendidikan anaknya. Beberapa pandangan
berikut ini mungkin bisa memberikan sumbangsih pemikiran bagi penyeleng- garaan
UN yang efektif pada masa yang akan datang.
Sudah
saatnya menghentikan budaya katrol-mengatrol nilai dalam penyelenggaraan
pendidikan di Tanah Air. Sekolah harus memiliki kemauan dan keberanian untuk
menegakkan kriteria penilaian dan menolak segala bentuk intervensi dalam penilaian
hasil belajar peserta didik. Orang tua sebagai mitra sekolah wajib
memantau dan peduli terhadap hasil belajar anaknya secara konsisten.
Sungguh
tidak adil jika materi soal UN yang telah menggunakan standar yang sama di
seluruh Tanah Air, tapi standar sarana prasarana pendidikan di sekolah masih
jauh dari merata. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus memastikan bahwa
pengelompokan sekolah dalam kategori Sekolah Standar Nasional (SSN) dan pra-SSN
telah melalui prosedur penilaian yang benar.
Selaras
dengan prinsip UN yang berkeadilan, siswa yang menjadi peserta semestinya telah
terjamin mendapatkan materi pelajaran dari guru yang standar kompetensinya
memenuhi standar nasional. Dengan kata lain, sebelum siswa menempuh UN, gurunya
pun harus diuji kompetensinya dengan materi soal yang sama tingkat kesulitannya
dengan materi soal UN untuk siswa.
Hasil
pengujian selanjutnya menjadi bahan pemetaan kompetensi guru bidang studi yang
di-UN-kan secara nasional dan sebagai dasar pengambilan kebijakan peningkatan
komptensi guru. Penyelenggaraan uji kompetensi dapat menggunakan sistem
online atau jaringan komputer terbatas.
UN berbasis komputer Kekisruhan yang terus berulang dalam proses pencetakan dan pendistribusian naskah soal dan lembar jawaban UN memaksa kita untuk mulai berpikir untuk menyelenggarakan UN berbasis komputer sesuai tuntutan zaman saat ini. Sela- ma penyelenggaraan UN masih menggunakan kertas dan percetakan, akan sulit terhindar dari masalah pencetakan dan pendistribusian.
UN berbasis komputer Kekisruhan yang terus berulang dalam proses pencetakan dan pendistribusian naskah soal dan lembar jawaban UN memaksa kita untuk mulai berpikir untuk menyelenggarakan UN berbasis komputer sesuai tuntutan zaman saat ini. Sela- ma penyelenggaraan UN masih menggunakan kertas dan percetakan, akan sulit terhindar dari masalah pencetakan dan pendistribusian.
Menyelenggarakan
UN berbasis jaringan komputer memang tidak mudah. Persoalan utama yang dapat menghambat, antara lain, infrastruktur pendukung
belum tersedia secara merata di seluruh Tanah Air. Belum lagi jika menggunakan
sistem online, minimnya fasilitas jaringan internet dan terlalu banyaknya
peserta pasti akan menimbulkan masalah akses.
Pilihan
yang mungkin dapat diwujudkan dengan kondisi seperti itu adalah menggunakan
jaringan komputer terbatas. Fasilitas komputer yang dipergunakan dapat
memanfaatkan seluruh fasilitas ruang komputer yang ada di Kantor LPMP Provinsi,
Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, UPTD kecamatan, sekolah, dan pusat
komputer di perguruan tinggi di seluruh Tanah Air. Karena sudah berbasis komputer
dan variasi soalnya dapat dibuat lebih banyak, pelaksanaan UN tidak lagi harus
serentak.
Akhirnya,
kita semua berharap agar semua pihak berhenti untuk saling menyalahkan. Masalah
pendidikan kita bukan sekadar untuk diperdebatkan, melainkan diperlukan upaya
yang nyata dan berkesinambungan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar