Sabtu, 11 Mei 2013

Sindikasi Politik Menuju Pilpres 2014


Sindikasi Politik Menuju Pilpres 2014
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 10 Mei 2013


Para penggila dan penikmat kekuasaan di negeri ini kini sedang merancang dan meramu strategi memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan, terutama pada Pemilu 2014. Semua energi pikiran, tenaga, dan kekuatan dana diarahkan untuk pemenangan Pemilu 2014 yang dianggap variabel vital yang menentukan arah Indonesia masa depan. Di situ pula semua kekuatan atau energi politik niscaya bermetamorfosis, sehingga bisa dianggap “cocok” dengan kebutuhan zaman.

Pada ranah ini, semua kekuatan politik, baik yang ada pada individu para politikus maupun kelompok partai, berusaha menyatukan visi dan misi serta menyamakan persepsi politik untuk maju bersama meraih kemenangan pemilu. Penyatuan kekuatan baik dalam bentuk penggandengan capres dan cawapres maupun rancangan koalisi politik memenangi berbagai kepentingan politik. Semua tentu ingin mengarah pada isu “perubahan” yang memang senantiasa menjadi paradigma demokratisasi yang menjadi “tren” gerakan politik mutakhir pascareformasi.

Oleh karena kepentingan bersama dalam meraih kekuasaan pada pemilu itulah yang bisa menjadi “motivasi” penting munculnya “perkoncoan” pada semua kelompok dan kekuatan politik. Itulah yang disebut Peter Mair dan Rikard S Katz (1995) sebagai bangunan atau perluasan “sindaksi” politik. Seperti disitir Max Regus (2009). Sindikasi politik dimaksudkan membatasi kompetisi sekaligus keinginan meraup monopolistik. Kekuatan politik membutuhkan momentum untuk membangun “sindikasi” politik semacam itu.

Sumber Apatisme Politik
Terlepas dari maksud dan tujuan atau niat suci parpol dan semua politikus untuk menyelamatkan bangsa dan mengarahkan rakyat kepada kesejahteraan sesuai dengan cita-cita Republik, semua itu bagian dari keinginan memenuhi kepentingan pribadi yang egoistik, yaitu penikmatan kekuasaan yang hakikatnya tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan lainnya. Itu tidak lain dari apa yang dikatakan Friedericch Nietzsche, kekuasaan merupakan suatu kenikmatan tiada tara tidak sebanding dengan kenikmatan-kenikmatan apa pun.

Oleh karena itu, setiap politikus tidak henti-hentinya berjuang meraih dan merengkuh kekuasaan yang nikmat itu. Selain itu orientasi politik masing-masing kekuatan politik tidak lain mengarah pada dominasi dan hegemoni kekuasaan, agar kekuasaan menumpuk di tangan mereka.
Oke, bahwa kekuasaan yang terbangun dengan stabilitas yang mumpuni menghendaki basis dukungan politik yang kuat. Namun, sayangnya sepanjang sejarah politik kekuasaan di negeri ini, “perkoncoan” alias “sindikasi” politik tidak lebih hanya untuk membagi-bagikan “kue kekuasaan” atau “roti kemewahan”, yang telah atau yang berhasil diraih. Rakyat hanya tinggal dalam rintihan kepedihan atau meratapi nasib yang tidak kunjung diperbaiki oleh para penguasa yang telah dipilihnya. Atau, rakyat kecil hanya ibarat mendapatkan “remah-remah” tumpah dari meja para penguasa yang lupa diri dalam kenikmatan kekuasaan.

Semua itulah menjadi sumber dari apatisme publik terhadap politik beserta para politikus, dan muak dengan segala permainan di ranjang kekuasaan yang penuh bau amis perselingkuhan tersebut. Politik pun semakin dinilai dan dicap sebagai sosok sangat kotor dan menjijikan. Politik sebagai jalan untuk meraih kekuasaan dapat ditempuh dengan segala cara, alias politik tanpa moral ala Nicollo Maciavelli semakin diikuti. Politik seperti dipaparkan JA Barnes sebagai seni mengatur manusia dengan cara menipu dan seni meyakinkan orang dengan penuh kebohongan demi tujuan-tujuan politik pun ditermia kebenarannya.

Tidak heran pilpres dalam setiap lima tahun itu semakin tidak dinikmati rakyat. Rakyat semakin apatis dalam mengikuti pemilu yang diselenggarkan. Jumlah golput membuncah dan semakin digandrungi publik, sebagai bentuk protes atas ketidaksukaan mereka terhadap politikus, politik, dan pemilu itu sendiri.

Keadaban Politik
Setelah sekian tahun reformasi digulirkan, jalan sejarah demokrasi kita justru menjelang punah lantaran belum sanggup menyelenggarakan pemilu yang menghasilkan pemimpin bangsa yang benar-benar amanah, yang sungguh-sungguh memperjuangkan kesejahteraan rakyat, dan membawa bangsa kepada kemakmuran sesuai cita-cita negara merdeka. Sebuah kondisi politik yang oleh Clifford Geertz, sebagai berada di jelang kebuntuan state mangue, yakni sebuah negara yang belum menemukan bentuk politik yang cocok bagi watak rakyatnya, tersandung percobaan institusional satu ke yang lain. Jalan buntu politik karena bangsa ini, terutama elite negeri kekeringan imajinasi dan kemiskinan ide yang membawa pencerahan bagi Republik.

Lalu, bagaimana dengan politik pemilu yang sedianya digelar 2014? Apakah kita kembali mengalami kebuntuannya? Apakah sesudah itu rakyat kembali harus meratapi nasibnya lantaran ditinggal pergi para penguasa yang congkak dan lupa diri? Harapan kita tentu tidak. Maka rakyat harus memastikan “keterpilihan” politik yang mampu mempresentasikan institusi politik kekuasaan demi kepentingan dirinya. Rakyat harus tegas untuk tidak menempatkan pilpres sebagai fase penggembira atau momentum para politikus dan penggila kekuasaan mengumbar segala ambisi dan janji-janji politiknya.

Lebih darip itu, para politikus dan parpol harus memastikan keadaban politik demi keagungan politik dan kemuliaan bangsa. Parpol dan para politikus atau para kandidat niscaya menunjukkan kejujuran politik dengan menempatkan integritas moral politik pada posisi puncak perjuangannya. Politikus tidak boleh terus menerus menyembunyikan niatan dan kebusukan politik dengan kosmetika-kosmetika politik untuk mengelabui kesadaran dan itikad baik dari politik publik.

Sudah waktunya politikus dan parpol mengedepankan atau mentransendensikan kepentingan bangsa dan rakyat di atas segala perjuangan politik mereka selama ini, yang selalu mengedepankan keuntungan diri yang egoistik. Jika tidak, bangsa ini akan semakin terpuruk atau terperangkap dalam kubangan kehancuran yang masif, dengan tidak ada lagi peluang menemukan jalan kebangkitannya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar