Sabtu, 11 Mei 2013

Optimisme Pasar Bebas ASEAN


Optimisme Pasar Bebas ASEAN
Vincent Didiek WA ;  Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unika Soegijapranata Semarang  
SUARA MERDEKA, 10 Mei 2013


KESEPAKATAN bersama negara anggota ASEAN adalah mewujudkan ASEAN Economic Community (AEC) pada 2015, dan kita belum siap menghadapinya (SM, 7/5/13). Padahal target itu adalah tahap kedua setelah keterwujudan ASEAN Free Trade Area (AFTA), yaitu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional.

Upaya itu antara lain ditempuh dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia, sekaligus menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduk. AFTA terbentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) IV ASEAN di Singapura tahun 1992.

Pasar tunggal adalah jenis blok perdagangan yang terdiri atas area perdagangan bebas  dengan kebijakan umum pada regulasi produk, dan kebebasan bergerak dari faktor-faktor produksi (modal dan tenaga kerja), serta perusahaan dan jasa. Upaya itu guna mempermudah pergerakan modal, tenaga kerja, barang, dan jasa di antara para anggota. 
Kesepakatan itu juga berarti semaksimal mungkin menghapus hambatan fisik (perbatasan), teknis (standar), dan fiskal (pajak) di antara negara-negara anggota. Kawasan perdagangan bebas adalah tangga pertama untuk menuju pasar tunggal, dan kita bisa melihat Uni Eropa sebagai contoh pertama dari kawasan perdagangan bebas, kesatuan pabean, dan pasar tunggal.

Common Effective Preferential Tariffs for ASEAN Free Trade Area (CEPT AFTA) merupakan skema untuk mewujudkan AFTA melalui penurunan tarif hingga 0-5%, termasuk penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan nontarif lainnya. Perkembangan terakhir terkait dengan AFTA adalah kesepakatan menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunei Darussalam pada 2010, serta Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, serta bagi Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam pada 2015. 

Secara umum, tujuan utama dari pasar bersama tersebut, pertama; sebagai kawasan produksi yang kompetitif sehingga produk kawasan bisa memiliki daya saing global yang lebih kuat. Kedua; menjadi kawasan yang atraktif sehingga mampu menarik investasi langsung dari negara di luar ASEAN. Ketiga; meningkatkan perdagangan antarnegara anggota .

Fenomena dalam pasar bersama tersebut tampaknya mengikuti pola yang terjadi pada pembentukan Uni Eropa, yang dimulai 1957, serta hingga kini menjadi pasar tunggal dan memiliki mata uang tunggal Euro. Jacob Viner (1950) dipandang sebagai ekonom pertama yang mengemukakan fenomena dampak pembentukan kawasan perdagangan bebas, yakni ada kreasi perdagangan (trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion). 

Keterbentukan kawasan perdagangan bebas biasanya disertai dengan pembentukan custom union, dalam bentuk penentuan kepabeaan bersama, yang implementasinya dalam bentuk pengurangan dan penghapusan tarif bea masuk di antara negara anggota ASEAN, serta penghapusan kuota impor, dan diskriminasi impor. 

Intinya adalah kawasan bebas tarif yang berlaku untuk sesama negara anggota, dan pengenaan tarif bersama untuk melakukan perdagangan dengan negara lain di luar kawasan. Kreasi perdagangan akan terbentuk ketika terjadi efisiensi sebagai dampak dari penghapusan tarif di antara negara anggota ASEAN. 

Termasuk pertumbuhan investasi dan perdagangan baru akibat pembentukan kawasan perdagangan bebas tersebut. Sebaliknya, pengalihan perdagangan terjadi dari impor yang berasal dari negara nonanggota ke negara anggota.
Berbagai studi dan penelitian yang dilakukan Chia (2004), Roberts (2004), dan Yin (2010) menyimpulkan bahwa AFTA  bisa meningkatkan intensitas perdagangan di antara para anggota, serta mengurangi impor dari AS, Uni Eropa, dan Jepang. Manfaat lain adalah keterbukaan peluang pasar bagi pengusaha dan wirausahawan Indonesia.

Tantangan Besar

Selain itu, biaya produksi makin rendah bagi produsen Indonesia yang sebelumnya membutuhkan barang modal dan bahan baku/ penolong, biaya pemasaran dari negara anggota ASEAN. Selain itu, kerja sama dalam menjalankan bisnis semakin terbuka untuk melakukan kemitraan strategis dengan pelaku bisnis di negara anggota ASEAN, dan pilihan konsumen atas jenis dan ragam yang tersedia di pasar domestik makin banyak.

Kesepakatan yang akan diimplementasikan itu menghadapi berbagai tantangan karena perbedaan dan kesenjangan pendapatan per kapita di antara anggota ASEAN, dari yang berkategori tinggi seperti Singapura dan Brunei, berpendapatan per kapita menengah seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina, hingga anggota yang masuk dalam kategori berpendapatan per kapita rendah seperti Vietnam, Kamboja, dan Myanmar. 

Pengaturan kebijakan makro antarnegara juga merupakan tantangan besar karena mengurangi tingkat otoritas masing-masing negara  (sovereignty). Tantangan lain adalah pergerakan pekerja migran, misalnya antara Indonesia dan Filipina serta Malaysia atau pergerakan pekerja kerah putih (expatriate) yang belum membuahkan kesepakatan bersama antarnegara anggota ASEAN. Saat ini, regulasi hanya dalam lingkup bilateral antaranggota. 

Pada aras mikro, pengusaha/ produsen Indonesia dituntut untuk terus meningkatkan kemampuan dalam menjalankan bisnis secara profesional supaya bisa memenangi kompetisi dengan berbagai produk/jasa dari negara anggota ASEAN yang lain. Kemeningkatan daya saing itu, baik dalam memanfaatkan peluang pasar domestik maupun pasar negara anggota ASEAN yang lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar