Kamis, 02 Mei 2013

Silabi Bukan Robotisasi Guru


“Dua Perkara” Kurikulum 2013 (bag 2 dari 2)
Silabi Bukan Robotisasi Guru
Tri Marhaeni Puji Astuti ;  Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Unnes, Anggota Tim Penyusun Kurikulum Mata Pelajaran Antropologi
SUARA MERDEKA, 01 Mei 2013


Setelah membahas tentang paradigma indirect learning dalam tulisan pertama kemarin, dengan keterbatasan ruangan, saya menyambung dengan pembahasan mengenai keluhan ''robotisasi guru''.

Sebagai salah satu anggota Tim Penyusun Kurikulum Mata Pelajaran Antropologi, saya mencoba ''menghayati'' maksud yang diamanatkan oleh Kurikulum 2013. Rasanya tak ada tujuan untuk memberatkan siapa pun, apalagi robotisasi guru. Tentu masih ada kekurangan di sana-sini, akan tetapi dengan semangat ''berubah menuju baik'' demi anak bangsa, rasanya wajar kalau kita mengikuti dulu kebijakan ini. Pemerintah, dalam hal ini Pusat Kurikulum dan Perbukuan juga terus berupaya mencari strategi agar guru tidak bingung dengan kondisi ini.

Hambatan Inovasi

Dalam tulisan kemarin saya menguraikan contoh-contoh, untuk menghindari kekhawatiran dan kebingungan banyak orang. Seolah-olah kurikulum yang baru mengharuskan guru mengajarkan agama, misalnya guru Bahasa Inggris atau guru mata pelajaran lain di luar guru agama dan guru PKn, padahal tidak demikian.

Kebingungan itu wajar, mengingat sebuah inovasi pasti mengalami berbagai kendala dalam pelaksanaannya. Demikian pula Kurikulum 2013 yang merupakan salah satu inovasi bidang pendidikan. Menurut Rogers (1987), dalam sebuah inovasi pasti ada hambatan-hambatan, yakni hambatan sosial, budaya, dan hambatan psikologis. Hambatan sosial lebih disebabkan adanya interaksi antarindividu dan/ atau bertentangan dengan pranata sosial yang ada. Dalam kasus ini guru menerima informasi dari interaksinya dengan sesama guru atau kolega yang belum jelas juga, sehingga pemahamannya bisa salah.

Kebingungan pemahaman karena hasil interaksi ini bisa memunculkan skeptisitas atau hambatan sosial dalam menyikapi perubahan kurikulum. Hambatan budaya terkait dengan sistem nilai, perilaku, sikap, dan kepercayaan. Dalam kasus pergantian kurikulum, guru merasa belum memercayai nilai ìkebaikanî yang terkandung dalam kurikulum. Karena belum percaya maka masyarakat/ guru bisa saja memilih bersikap skeptik. 

Maka untuk membuktikan ìkebaikanî itu justru kurikulum harus diberlakukan. Hambatan psikologis lebih pada ìrasa kenyamananî: guru sudah terbiasa dengan kurikulum lama. Apalagi guru punya perasaan ìkurikulum lama saja belum jelas dan paham, kok sudah berganti dengan yang baruî. Perasaan itu tentu saja memicu ketidaknyamanan dan ìkegusaranî.

Kompetensi Generik

Kebingungan lain yang mengemuka adalah ketika silabi sudah disusun oleh Tim Penyusun Kurikulum, ada anggapan guru ''dirobotisasi''. Anggapan itu sah-sah saja, karena belum tentu jelas kebenarannya. Sebelum menyusun silabi, tim juga harus membuat Kompetensi Generik. Kompetensi ini merupakan ìkompetensi bayanganî, artinya tidak muncul secara eksplisit dan tertulis dalam Kurikulum 2013, namun disusun oleh tim sebagai panduan untuk menyusun Kompetensi Dasar berdasarkan Kompetensi Inti. 

Kompetensi Generik bertujuan membuat keterkaitan sesama mata pelajaran dalam suatu pemintan. Dengan kata lain, dengan adanya Kompetensi Generik ini, semua mata pelajaran kelompok pemintan mengembangkan kompetensi yang sama, yang berbeda hanya konteksnya, Dengan demikian ikatan mata pelajaran menjadi solid untuk membangun kompetensi yang utuh, terintegrasi.

Berdasarkan Kompetensi Inti dan Kompetensi Generik, disusunlah Kompetensi Dasar dan silabi. Beberapa contoh Kompetensi Dasar sudah saya contohkan dalam tulisan bagian pertama, kemarin.

Dengan disusunnya silabi di tingkat pusat justru guru punya acuan dalam menyusun dan mengembangkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) sesuai dengan silabi yang ada. Sementara itu penyusunan RPP mengharuskan guru kreatif dan inovatif dalam mengembangkan strategi pembelajaran, media, dan alat peraga. Demikian pula dalam proses pembelajaran guru dan siswa sudah diberi acuan untuk menanya, mengamati, mengasosiasi, mengeksplorasi, dan mengomunikasikan. 

Dengan acuan tersebut, misalnya guru dan siswa dapat (dan harus) mengeksplorasi kekayaan lokal lingkungan sekolah dan masyarakat sekitar dalam proses pembelajaran. Jadi tidak benar jika ìdiseragamkanî, justru ìditungguî kreativitasnya dalam proses pembelajaran dengan acuan silabinya. 

Jauh dari maksud merobotisasi guru, sebaliknya guru diberi kebebasan untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran dengan proses menanya, mengamati, mengasosiasi, mengeksplorasi, dan mengomunikasikan pada setiap pembelajarannya. Dengan demikian pembelajaran menjadi proses yang menyenangkan, aktif, kreatif, dan inovatif. 

Silabi justru akan mengurangi kebingungan guru dalam menyusun RPP, mengingat kompetensi dalam kurikulum yang baru ini ìbegitu idealî. Sebisa mungkin guru ìdimudahkanî untuk mencapainya. Pusat Kurikulum juga sudah menyusun buku-buku sesuai dengan kompetensi dalam kurikulum baru, seperti buku pegangan guru dan siswa. Pelatihan-pelatihan untuk guru juga sudah dirancang, mengingat Indonesia memiliki wilayah dengan heterogenitasnya, maka merancang dan melaksanakan pelatihan juga tidak gampang.

Dengan banyaknya jumlah guru, tentu pelatihan dilaksanakan secara bertahap. Pelatihan pertama untuk para kepala sekolah dan pengawas, karena salah satu tugas mereka adalah membimbing guru dalam merancang pembelajaran, termasuk menyusun RPP. Maka kepala sekolah dan pengawas harus paham Kurikulum 2013, agar dapat membimbing guru.

Memang masih banyak ketidaksempurnaan di sana sini, namun minimal inilah iktikad baik pemerintah untuk “menenteramkan” kehirukpikukan pro dan kontra pemberlakuan Kurikulum 2013. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar