Kamis, 02 Mei 2013

Menanti Gaji “Riil” Buruh


Menanti Gaji “Riil” Buruh
Muhammad Sholahuddin ;  Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Surakarta, PhD Student IIUM Malaysia
SUARA MERDEKA, 01 Mei 2013


Tiap 1 Mei seolah-olah menjadi ritual tahunan buruh memperjuangkan nasib. Mereka menyuarakan tiga tuntutan, yaitu penghapusan sistem kontrak alih daya (outsourcing), perbaikan tingkat upah, dan pemberian jaminan sosial kesehatan mulai 2014. Perjuangan nasib buruh berlangsung di tengah pujian dunia terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Pertumbuhan ekonomi kita sekitar 6,5% di tengah krisis global disebut-sebut paling pesat di dunia setelah China. Di AS, Presiden SBY mendapat pujian karena membawa Indonesia menuju kekuatan baru ekonomi Asia. Inggris pun tak mau kalah memuji. Namun itu sejatinya ironi karena realitas pertumbuhan ekonomi kita kurang disertai dengan pemerataan kesejahteraan.

Analisis Eric Stark Maskin Born AS, peraih Nobel Ekonomi 2007 menyebutkan beberapa ekonom dunia meyakini kerja kontrak alih daya dan politik upah murah adalah prasyarat keunggulan dan pertumbuhan ekonomi sebuah negara pada era globalisasi. 

Namun hasil observasi Maskin, juga Kaushik Basu, guru besar ekonomi asal Cornell University New York AS menjelaskan sebaliknya. Keduanya menyebut justru globalisasi itulah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan. Fenomena itu terjadi terutama di negara berkembang, termasuk Indonesia, yaitu menaikkan pendapatan rata-rata tetapi menimbulkan masalah distribusi pendapatan.

Terlepas dari perdebatan itu, tak mudah memenuhi tiga tuntutan buruh. Jika semua ditanggung pengusaha pasti muncul masalah baru. Pengusaha akan memasukkan komponen kenaikan upah ke dalam biaya produksi. Konsekuensinya, harga jual barang naik, terjadi inflasi, daya beli masyarakat makin rendah dan pada gilirannya buruh kesulitan memenuhi kebutuhan.

Bagaimana mencari solusi supaya buruh bisa sejahtera tapi pengusaha tetap mendapatkan keuntungan? Permasalahan inti berawal dari kekurangtepatan tolok ukur yang dipakai menentukan upah buruh, karena mendasarkan pada biaya hidup terendah dengan asumsi masih bujang. Akibatnya pengusaha cenderung menetapkan upah buruh, terutama buruh baru, pada batas terendah. 

Buruh seakan-akan tidak menikmati gaji untuk memenuhi kebutuhan riil, namun sekadar untuk mempertahankan hidup. Karena itu,  pemilik perusahaan dianggap mengeksploitasi buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang memicu kelahiran gagasan perlu pembatasan waktu kerja, menentukan upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.

Sistem kerja alih daya yang sekarang banyak diterapkan sejatinya bagian dari usaha menekan biaya operasional perusahaan. Tujuannya, menaikkan keuntungan pengusaha, atau meningkatkan daya saing perusahaan. 

Namun kebijakan itu sering berdampak pada kurang diindahkannya hak kaum buruh sehingga menimbulkan konflik. Sebagai jalan keluar, kontrak kerja direvisi dengan memberikan hak kepada buruh kebebasan berserikat, pemberian dana pensiun, penghargaan, dan sejumlah kompensasi. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat, dan sebagainya.

Model kapitalisme itu, meski ditambah berbagai kompensasi bagi buruh, dalam jangka pendek akan memberatkan pengusaha dan dalam jangka panjang juga berimbas pada rendahnya daya beli buruh terhadap barang kebutuhan yang harganya makin mahal.

Peran Negara

Terkait upah buruh, Abdullah Fanani al Banjary (2012) mengatakan semestinya penentuan standar gaji mendasarkan pada manfaat tenaga/ jasa yang diberikan oleh buruh, atas kesepakatan atau kerelaan antara pekerja dan pengusaha. Semua itu tidak lepas dari hukum permintaan dan penawaran pasar tenaga kerja. 

Di samping itu, negara tak boleh campur tangan. Kesepakatan upah yang sepadan bisa dirundingkan oleh pekerja dan pengusaha, sehingga tak perlu ada batasan UMR. Pasalnya kebijakan penetapan besaran UMR oleh pemerintah makin tak mencukupi karena buruh harus membiayai layanan publik, seperti kesehatan, pendidikan, listrik, air bersih dan sebagainya  yang semestinya didapat dengan gratis atau murah dari negara. 

Kontrak kerja buruh merupakan akad mengikat, bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak. Seandainya terjadi sengketa antara buruh dan majikan, termasuk dalam menentukan upah maka badan arbitrase yang harus membantu menyelesaikan, termasuk menentukan upah yang adil. 

Badan arbitrase ini dipilih berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat maka negaralah yang memilih badan arbitrase untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak mengikuti keputusan badan arbitrase. Mengenai dana pensiun dan berbagai bentuk tunjangan sesungguhnya itu bentuk tambal sulam sistem kapitalis guna mencukupi kebutuhan buruh. 

Upaya tersebut telah menghilangkan kewajiban negara memberikan jaminan kepada rakyat. Jaminan pendidikan, kesehatan, dan keamanan seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Jangan sampai tanggung jawab negara ini dipikul oleh pengusaha dan buruh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar