Kamis, 02 Mei 2013

Format Baru Gerakan Buruh


Format Baru Gerakan Buruh
Launa ;  Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia
SINAR HARAPAN, 01 Mei 2013
  

Kendati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menetapkan Satu Mei (“May Day”) sebagai hari libur nasional, kebijakan itu tak menyurutkan elemen serikat buruh untuk tetap menggelar aksi May Day.
Kabarnya, sekitar 200.000 buruh dari berbagai wilayah akan kembali mengepung Jakarta. Unjuk rasa menyambut May Day itu akan mengusung beragam tuntutan, antara lain menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), isu implementasi jaminan sosial, upah layak, sistem kerja alih daya (outsourcing), buruh kontrak, politik upah murah, adalah beberapa isu seksi yang akan diangkat.
Namun, isu penghapusan buruh kontrak tampaknya akan tetap menjadi topik utama. Pasalnya, sistem outsourcing lebih banyak merugikan dibanding menguntungkan buruh.

Outsourcing dinilai membuka peluang bagi perusahaan memutuskan hubungan kerja secara sepihak, saat perjanjian kontrak kerja antara buruh berakhir. Dalam sistem kerja alih daya ini, perusahaan bisa menolak kewajiban mereka memberikan pesangon kepada buruh.

Pascareformasi, problem hubungan industrial di negeri ini memang terus bereskalasi cepat, mulai dari minimnya peluang kerja, tingginya angka pengangguran, rendahnya kemampuan sumber daya tenaga kerja, gaji yang rendah, serta jaminan sosial yang nyaris tak ada.

Belum lagi perlakuan negatif pengusaha, seperti memperbanyak pekerja outsourcing, memaksimalkan pekerja dengan satus kontrak, melakukan tindak asusila, penghinaan, pelecehan seksual, larangan berjilbab, hingga larangan berserikat (union busting).

Success story tuntutan buruh paling fenomenal pascareformasi adalah disahkannya Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) oleh DPR pada 28 Oktober 2011. Di luar itu, berbagai tuntutan buruh praktis nyaris terbentur.

Ditinjau dari sisi efektivitas gerakan, perjuangan buruh setidaknya masih menghadapi dua kendala, yakni problem eksternal (relasi buruh-pemerintah-pengusaha dus relasi buruh-politik) dan problem internal (konflik berlarut dan di kebanyakan organ serikat buruh).

Di level eksternal, problem yang hingga kini terus melilit banyak serikat buruh, antara lain soal kebebasan berserikat, pelanggaran hak-hak normatif buruh, rumitnya proses penyelesaian hukum di Pengadilan Hubungan Industrial, kian kompleksnya penanganan buruh akibat pelimpahan urusan perburuhan dari pusat ke daerah, menguatnya model fleksiblitas pasar kerja, dan kentalnya corak ekonomi pasar yang mendominasi kebijakan ekonomi negara.

Sementara itu di level internal, banyak organ serikat buruh umumnya masih berkutat pada fenomena konflik internal dan eksternal (baik antarpengurus maupun antarserikat), pola perjuangan yang normatif, dan kentalnya fenomena oligarki dalam tubuh kepengurusan serikat buruh.

Rentannya konflik internal dalam tubuh serikat buruh umumnya bukan disebabkan oleh masalah prinsipil-ideologis, namun lebih didominasi soal-soal teknis, seperti sikap egois para elite buruh, ketidakmatangan dalam mengelola organisasi, pemimpin serikat buruh yang kurang mengakar, lemahnya militansi anggota, dan sejenisnya.

Kecenderungan pola pengorganisasian serikat buruh juga bersifat rutinitas, di mana hampir seluruh waktu pemimpin habis untuk mengurus problem internal organisasi, seperti iuran anggota, distribusi jabatan, administrasi, advokasi, dan rapat-rapat seremonial.

Relasi pemimpin serikat buruh dengan anggotanya pun kian birokratis. Anggota hanya bertemu dengan pemimpin jika sedang menghadapi masalah. Setelah masalah selesai, praktis komunikasi, koordinasi, dan konsolidasi tak lagi berjalan efektif.

Tuntutan Kesejahteraan

Umumnya organ serikat Indonesia membatasi lingkup perjuangannya sebatas tuntutan kesejahteraan (economic unionism/business unionism).

Pola perjuangan ini kerap membuat serikat buruh gagal mengikatkan diri pada basis ideologi politik tertentu dan berperan aktif dalam mendorong isu-isu perubahan sosial yang lebih luas dan mendasar, seperti membangun jaringan dengan elemen civil society dan kelompok-kelompok pro demokrasi.

Hingga kini, serikat buruh terlihat sulit meredefinisi dan mereposisi perannya sebagai kekuatan gerakan sosial. Serikat buruh kerap gagap dalam memetakan akar masalah dan gagal memberi solusi alternatif atas problem kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan sosial.

Ini merupakan buah dari kebijakan rezim Orde Baru yang berhasil mengikis orientasi politik-ideologis serikat buruh dan sukses menanamkan orientasi teknis-ekonomis melalui sistem Hubungan Industrial Pancasila/HIP—sebagai konsep ideal yang menjadi koridor gerakan buruh Indonesia sepanjang 32 tahun kekuasaan Orde Baru.

Orientasi kebanyakan serikat buruh yang eksklusif inilah yang disebut sebagai “gerakan tanpa ideologi kelas”. Dengan kata lain, gerakan buruh pascareformasi masih mewarisi watak gerakan buruh era Orde Baru, yakni lemahnya kepekaan dan militansi serikat buruh dalam melawan berbagai bentuk ketidakadilan struktural dan kultural yang terus direproduksi negara.

Problem internal lain adalah menjamurnya budaya oligarkis di banyak organ serikat buruh. Padahal, demokratisasi adalah syarat mutlak bagi tumbuhnya organisasi serikat buruh yang kuat. Meluasnya kultur patron-clinet adalah penyebab utama tingginya tensi konflik internal di tubuh serikat buruh.

Dalam situasi budaya organisasi seperti ini, serikat buruh cenderung menjadi organ elitis para pengurus yang tidak mengakar ke bawah, kinerja organisasi menjadi tak terkontrol, meluasnya apatisme di kalangan anggota, dan kian memperkuat watak status quo pengurus.

Ditinjau dari aspek pengorganisasian isu, berbagai kasus menunjukkan agenda perjuangan serikat buruh di tingkat nasional (DPP federasi/konfederasi) kerap bersinergi dengan kepentingan, aspirasi, dan isu pokok di tingkat lokal (DPD, DPC, dan Pengurus Unit Kerja/PUK).

Sementara itu gerakan buruh di tingkat lokal nyaris tak mampu mengangkat isu-isu lokal ke level nasional akibat lemahnya pengorganisasian, SDM, networking, komunikasi, koordinasi, dan konsolidasi antarperangkat organisasi di internal organisasi serikat buruh.

Kendala lain, dari 33 juta buruh formal, lima juta di antaranya PNS/TNI/Polri, enam juta lainnya buruh kelas menengah yang biasanya memiliki ambivalensi terhadap perubahan drastis.

Pada arus eksternal, saatnya gerakan buruh membuat pilihan aliansi politik strategis dengan kekuatan civil society, kelompok-kelompok pro demokrasi, dan partai politik. Relasi gerakan buruh dengan berbagai elemen politik strategis itu menjadi niscaya agar aspirasi dan kepentingan buruh menjadi bagian dari integral dari agenda kebijakan negara.

Gerakan buruh harus merevitalisasi corak perjuangan, dari format business unionism (sekadar memperjuangkan kesejahteraan, menuntut kenaikan gaji, memperbaiki kondisi kerja, dan sejenisnya) ke format social unionism menjadi bagian integral dari kekuatan politik yang berperan aktif dalam mengubah orientasi kebijakan negara.

Tanpa reorientasi, redefinisi, reposisi, dan revitalisasi format gerakan, perjuangan buruh akan terus menghadapi problem krusial: berdaya tekan rendah, misorientasi, dan potensial gagal dalam mewujudkan kehidupan buruh yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat. Selamat merayakan May Day: “satu suara, satu dunia, solidaritas”! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar