|
KORAN
TEMPO, 16 Mei 2013
Agak janggal ketika pasal ini harus dibawa ke domain
manajemen public relations yang tentu berusaha menyajikan informasi sejelas
mungkin sesuai dengan prinsip keterbukaan kepada masyarakat.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melaporkan juru bicara
Komisi Pemberantasan Korupsi ke Markas Besar Kepolisian RI dengan dasar adanya
public statement yang dianggap menyerang kehormatan dan nama baik partai--dalam
kasus penyitaan mobil mewah elite PKS oleh KPK, terkait dengan perkara suap
kuota impor daging sapi. Menurut media massa, pasal yang diadukan adalah pasal
"penghinaan". Untuk diketahui, rumusan pasal-pasal tersebut diatur
dalam Buku II Bab XVI Pasal 310-321 KUHP tentang penghinaan. Menarik untuk
dilihat kembali masalah seputar pasal penghinaan tersebut.
Dalam istilah populer, ketentuan pidana mengenai
"penghinaan" lazim disebut sebagai "pencemaran nama baik",
meskipun ini hanya salah satu spesiesnya. Perlu dipahami bahwa ketentuan
pasal-pasal tersebut adalah "delik aduan". Artinya, hanya bisa
diproses lebih lanjut apabila orang yang merasa dihina mengajukan aduan dan
laporannya kepada pihak berwenang. Pengecualian terhadap "delik aduan"
hanya ada apabila yang merasa dihina adalah pejabat yang menjalankan tugas yang
sah (Pasal 316 dan Pasal 319 KUHP). Selain itu, penghinaan menuntut adanya
bukti unsur kesengajaan dari pelaku.
Masyarakat umum sering keliru memahami pencemaran nama baik
dan penghinaan ringan sebagai "ajang" menilai mana yang benar dan
mana yang salah. Dalam konstruksi hukumnya, pasal 310 tidak mensyaratkan bahwa
apa yang dituduhkan kepada orang yang merasa dirugikan kehormatan atau nama
baiknya harus "salah" sehingga berujung "fitnah". Fitnah
sendiri hanya akan memperberat ancaman pidana (pasal 311), namun tidak menjadi
tujuan pembuktian pasal 310.
Dua alasan pembenar
Hanya ada dua alasan untuk lepas dari jerat Pasal 310 ayat
(1), yaitu public statement yang dikutip media tersebut secara jelas ditujukan
"demi kepentingan umum" atau "karena terpaksa untuk membela
diri" (Pasal 310 ayat (3)). Dalam konteks KPK dan PKS, yang relevan
digunakan sebagai dasar adalah "demi kepentingan umum", karena
penyitaan adalah upaya paksa dalam penyidikan, yang tentu dengan mudah bisa
dimasukkan dalam kategori "demi kepentingan umum". Ini adalah alasan
sah untuk mengeluarkannya dari jaring pidana pasal "pencemaran nama
baik", meskipun ada orang yang tidak bisa menerimanya.
Adapun apabila perbuatan merugikan "kehormatan"'
atau "nama baik" seseorang itu tidak bermaksud "menuduh",
hanya menggunakan kata-kata yang "menyerang" atau
"menyinggung" kehormatan/nama baik seseorang, maka konstruksi
hukumnya adalah pasal 315 mengenai penghinaan ringan. Serupa dengan pasal 310,
tidak dituntut adanya sifat "fitnah" atau "kebohongan" di
dalamnya. Masyarakat perlu berhati-hati dalam konteks ini karena kata-kata
menghina di media sosial bisa dengan mudah terperangkap dalam "penghinaan
ringan", meskipun apa yang ditulis sesuai dengan fakta.
Informasi
Di sini tidak akan dibahas pengertian "seseorang"
yang merasa dihina dan siapa yang berhak mengadu, karena akan membuka
perdebatan mengenai apakah perbuatan yang ditujukan kepada kelompok dan bukan
individu orang juga bisa dikenai pasal ini. Namun setidaknya terdapat dua
masalah yang bisa diperjelas dalam kasus KPK dan PKS. Pertama, apakah kata-kata
"menghalangi penyitaan" merupakan perbuatan penghinaan (pencemaran
nama baik); dan kedua, apakah pasal penghinaan ringan bisa dikenakan kepada
seorang juru bicara yang notabene adalah representasi dari manajemen public
relations suatu institusi.
Pertama, mengenai pernyataan "menghalangi
penyitaan". Apabila ini benar sesuai dengan kutipan media massa, KPK harus
mulai proaktif melakukan penyelidikan terhadap individu-individu yang memang
menghalangi penyitaan yang sah sesuai dengan undang-undang, dengan konstruksi
hukum Pasal 21 UU Tipikor. Hal ini akan memperkuat alasan bahwa semua yang
dilakukan adalah "demi kepentingan umum" dan mementahkan keberlakuan
Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2). KPK berwenang memulai penyelidikan tanpa harus
menunggu aduan karena merintangi penyidikan bukan merupakan delik aduan.
Terlepas dari Pasal 21 UU Tipikor, kriminalisasi pernyataan
"menghalangi penyitaan" sebagai obyek perbuatan Pasal 310 ayat (1)
atau ayat (2) adalah penafsiran yang tidak tepat, karena penyitaan dilakukan
demi kepentingan umum. Dengan demikian, masyarakat juga berhak tahu mengapa
kepentingan umum tersebut tidak terpenuhi pada kesempatan pertama.
Kedua, mengenai keberlakuan pasal "penghinaan
ringan" (Pasal 315) terhadap suatu pernyataan dari seorang jubir yang,
kebetulan dalam konteks ini, adalah jubir KPK. Adalah menjadi tugas ahli bahasa
untuk memberi penafsiran leksikal, gramatikal, dan kontekstual adanya
pernyataan publik yang dianggap menghina seseorang. Akan tetapi, bisa
dibayangkan apabila semua pernyataan jubir lembaga penegak hukum bisa diadukan
berdasarkan pasal penghinaan ringan. Bukankah kata-kata "...menahan, menyita,
atau menyidik individu A, misalnya" adalah istilah yang bisa dianggap
"menghina" atau "menyerang kehormatan" bagi sebagian orang
di satu sisi, namun di sisi lain tidak mungkin dihindari dalam praktek public
relations, karena berhubungan juga dengan transparansi dan pemberian informasi
kepada masyarakat.
Penghinaan ringan
Rumusan pasal-pasal mengenai penghinaan agaknya perlu
diformulasikan kembali. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan perkembangan
budaya mengakses informasi, sulit untuk menghindari penyebutan nama seseorang
dalam konteks "masyarakat berhak tahu". Sedangkan tujuan Bab XVI KUHP
saat ini antara lain untuk menghindari penyebutan nama seseorang, guna menjaga
"kehormatan" dan "nama baik" orang tersebut dalam kerangka
budaya "Barat" yang sangat mementingkan perlindungan privacy
individu. Kecermatan diperlukan guna mencegahnya menjadi pasal karet yang
multi-tafsir.
Sebenarnya, rumusan adopsi dari KUHP warisan Belanda
tersebut, khususnya pasal 315 mengenai "penghinaan ringan", akan
lebih cocok ditujukan bagi pelaku yang melakukan bullying dengan menyebarkan
aib seseorang dan membuat orang tersebut malu ke luar rumah, kehilangan
pekerjaan atau usaha, mengalami depresi, melukai diri sendiri, atau bahkan
bunuh diri. Selain itu, tepat untuk menjaga kehormatan dan nama baik kedudukan
tertentu, misalnya kepala negara. Agak janggal ketika pasal ini harus dibawa ke
domain manajemen public relations yang tentu berusaha menyajikan informasi
sejelas mungkin sesuai dengan prinsip keterbukaan kepada masyarakat.
Seyogianya masalah ini tidak lalu menjadi preseden dan
membuat fungsi jubir dan humas lembaga penegak hukum menjadi semakin rumit.
Kontrol sosial dari PKS tetap dibutuhkan, karena partai politik memiliki
potensi dan aset yang sangat besar untuk melawan abuse of power lembaga penegak
hukum. Tentu ada mekanisme yang bisa digunakan untuk mendudukkan masalah ini
pada proporsi yang sebenarnya tanpa mempertajam perbedaan, dan guna mencegah
terulangnya kejadian serupa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar