Jumat, 17 Mei 2013

Seputar Pasal Penghinaan dalam KUHSeputar Pasal Penghinaan dalam KUHPP


Seputar Pasal Penghinaan dalam KUHP
M Yusfidli Adhyaksana ;  Penerima Beasiswa AUSAid, Sedang menyelesaikan studi S-3 di Fakultas Hukum University of Wollongong, Australia
KORAN TEMPO, 16 Mei 2013


Agak janggal ketika pasal ini harus dibawa ke domain manajemen public relations yang tentu berusaha menyajikan informasi sejelas mungkin sesuai dengan prinsip keterbukaan kepada masyarakat. 
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melaporkan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi ke Markas Besar Kepolisian RI dengan dasar adanya public statement yang dianggap menyerang kehormatan dan nama baik partai--dalam kasus penyitaan mobil mewah elite PKS oleh KPK, terkait dengan perkara suap kuota impor daging sapi. Menurut media massa, pasal yang diadukan adalah pasal "penghinaan". Untuk diketahui, rumusan pasal-pasal tersebut diatur dalam Buku II Bab XVI Pasal 310-321 KUHP tentang penghinaan. Menarik untuk dilihat kembali masalah seputar pasal penghinaan tersebut.
Dalam istilah populer, ketentuan pidana mengenai "penghinaan" lazim disebut sebagai "pencemaran nama baik", meskipun ini hanya salah satu spesiesnya. Perlu dipahami bahwa ketentuan pasal-pasal tersebut adalah "delik aduan". Artinya, hanya bisa diproses lebih lanjut apabila orang yang merasa dihina mengajukan aduan dan laporannya kepada pihak berwenang. Pengecualian terhadap "delik aduan" hanya ada apabila yang merasa dihina adalah pejabat yang menjalankan tugas yang sah (Pasal 316 dan Pasal 319 KUHP). Selain itu, penghinaan menuntut adanya bukti unsur kesengajaan dari pelaku.
Masyarakat umum sering keliru memahami pencemaran nama baik dan penghinaan ringan sebagai "ajang" menilai mana yang benar dan mana yang salah. Dalam konstruksi hukumnya, pasal 310 tidak mensyaratkan bahwa apa yang dituduhkan kepada orang yang merasa dirugikan kehormatan atau nama baiknya harus "salah" sehingga berujung "fitnah". Fitnah sendiri hanya akan memperberat ancaman pidana (pasal 311), namun tidak menjadi tujuan pembuktian pasal 310. 
Dua alasan pembenar
Hanya ada dua alasan untuk lepas dari jerat Pasal 310 ayat (1), yaitu public statement yang dikutip media tersebut secara jelas ditujukan "demi kepentingan umum" atau "karena terpaksa untuk membela diri" (Pasal 310 ayat (3)). Dalam konteks KPK dan PKS, yang relevan digunakan sebagai dasar adalah "demi kepentingan umum", karena penyitaan adalah upaya paksa dalam penyidikan, yang tentu dengan mudah bisa dimasukkan dalam kategori "demi kepentingan umum". Ini adalah alasan sah untuk mengeluarkannya dari jaring pidana pasal "pencemaran nama baik", meskipun ada orang yang tidak bisa menerimanya.
Adapun apabila perbuatan merugikan "kehormatan"' atau "nama baik" seseorang itu tidak bermaksud "menuduh", hanya menggunakan kata-kata yang "menyerang" atau "menyinggung" kehormatan/nama baik seseorang, maka konstruksi hukumnya adalah pasal 315 mengenai penghinaan ringan. Serupa dengan pasal 310, tidak dituntut adanya sifat "fitnah" atau "kebohongan" di dalamnya. Masyarakat perlu berhati-hati dalam konteks ini karena kata-kata menghina di media sosial bisa dengan mudah terperangkap dalam "penghinaan ringan", meskipun apa yang ditulis sesuai dengan fakta.
Informasi
Di sini tidak akan dibahas pengertian "seseorang" yang merasa dihina dan siapa yang berhak mengadu, karena akan membuka perdebatan mengenai apakah perbuatan yang ditujukan kepada kelompok dan bukan individu orang juga bisa dikenai pasal ini. Namun setidaknya terdapat dua masalah yang bisa diperjelas dalam kasus KPK dan PKS. Pertama, apakah kata-kata "menghalangi penyitaan" merupakan perbuatan penghinaan (pencemaran nama baik); dan kedua, apakah pasal penghinaan ringan bisa dikenakan kepada seorang juru bicara yang notabene adalah representasi dari manajemen public relations suatu institusi.
Pertama, mengenai pernyataan "menghalangi penyitaan". Apabila ini benar sesuai dengan kutipan media massa, KPK harus mulai proaktif melakukan penyelidikan terhadap individu-individu yang memang menghalangi penyitaan yang sah sesuai dengan undang-undang, dengan konstruksi hukum Pasal 21 UU Tipikor. Hal ini akan memperkuat alasan bahwa semua yang dilakukan adalah "demi kepentingan umum" dan mementahkan keberlakuan Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2). KPK berwenang memulai penyelidikan tanpa harus menunggu aduan karena merintangi penyidikan bukan merupakan delik aduan. 
Terlepas dari Pasal 21 UU Tipikor, kriminalisasi pernyataan "menghalangi penyitaan" sebagai obyek perbuatan Pasal 310 ayat (1) atau ayat (2) adalah penafsiran yang tidak tepat, karena penyitaan dilakukan demi kepentingan umum. Dengan demikian, masyarakat juga berhak tahu mengapa kepentingan umum tersebut tidak terpenuhi pada kesempatan pertama.
Kedua, mengenai keberlakuan pasal "penghinaan ringan" (Pasal 315) terhadap suatu pernyataan dari seorang jubir yang, kebetulan dalam konteks ini, adalah jubir KPK. Adalah menjadi tugas ahli bahasa untuk memberi penafsiran leksikal, gramatikal, dan kontekstual adanya pernyataan publik yang dianggap menghina seseorang. Akan tetapi, bisa dibayangkan apabila semua pernyataan jubir lembaga penegak hukum bisa diadukan berdasarkan pasal penghinaan ringan. Bukankah kata-kata "...menahan, menyita, atau menyidik individu A, misalnya" adalah istilah yang bisa dianggap "menghina" atau "menyerang kehormatan" bagi sebagian orang di satu sisi, namun di sisi lain tidak mungkin dihindari dalam praktek public relations, karena berhubungan juga dengan transparansi dan pemberian informasi kepada masyarakat.
Penghinaan ringan
Rumusan pasal-pasal mengenai penghinaan agaknya perlu diformulasikan kembali. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan perkembangan budaya mengakses informasi, sulit untuk menghindari penyebutan nama seseorang dalam konteks "masyarakat berhak tahu". Sedangkan tujuan Bab XVI KUHP saat ini antara lain untuk menghindari penyebutan nama seseorang, guna menjaga "kehormatan" dan "nama baik" orang tersebut dalam kerangka budaya "Barat" yang sangat mementingkan perlindungan privacy individu. Kecermatan diperlukan guna mencegahnya menjadi pasal karet yang multi-tafsir.
Sebenarnya, rumusan adopsi dari KUHP warisan Belanda tersebut, khususnya pasal 315 mengenai "penghinaan ringan", akan lebih cocok ditujukan bagi pelaku yang melakukan bullying dengan menyebarkan aib seseorang dan membuat orang tersebut malu ke luar rumah, kehilangan pekerjaan atau usaha, mengalami depresi, melukai diri sendiri, atau bahkan bunuh diri. Selain itu, tepat untuk menjaga kehormatan dan nama baik kedudukan tertentu, misalnya kepala negara. Agak janggal ketika pasal ini harus dibawa ke domain manajemen public relations yang tentu berusaha menyajikan informasi sejelas mungkin sesuai dengan prinsip keterbukaan kepada masyarakat. 
Seyogianya masalah ini tidak lalu menjadi preseden dan membuat fungsi jubir dan humas lembaga penegak hukum menjadi semakin rumit. Kontrol sosial dari PKS tetap dibutuhkan, karena partai politik memiliki potensi dan aset yang sangat besar untuk melawan abuse of power lembaga penegak hukum. Tentu ada mekanisme yang bisa digunakan untuk mendudukkan masalah ini pada proporsi yang sebenarnya tanpa mempertajam perbedaan, dan guna mencegah terulangnya kejadian serupa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar