Jumat, 17 Mei 2013

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia : Salah Paham?


Tanggung Jawab Sosial Perusahaan di Indonesia : Salah Paham?
Fathony Rahman Kandidat Doktor Bidang Administrasi Bisnis
Wilmington University, DE, USA
TEMPO.CO, 16 Mei 2013

Berdasarkan penjelasan atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, tanggung jawab sosial dan lingkungan didefinisikan sebagai komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. 

Harvard Kennedy School mengeluarkan definisi yang kredibel dan lengkap yang melihat corporate social responsibility (CSR) sebagai suatu strategi. CSR, menurut mereka, tidak hanya meliputi apa yang dilakukan perusahaan dengan keuntungan mereka, tetapi juga bagaimana keuntungan tersebut dihasilkan. CSR mencakup lebih dari sekadar kedermawanan dan kepatuhan. Pada saat yang bersamaan, CSR dipandang sebagai suatu cara untuk membantu perusahaan mengelola dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan, beserta hubungan perusahaan dengan lingkungan kerja, pasar, supply chain, komunitas, dan domain kebijakan publik. 

Dalam pemahaman mereka, CSR tertanam dalam keseluruhan aktivitas bisnis, membentang dari hulu hingga hilir. CSR bukan suatu departemen, apalagi sekadar aktivitas bersolek (window-dressing) atas kegiatan buruk perusahaan. Seperti strategi perusahaan di bidang pemasaran, keuangan, dan sumber daya manusia, perusahaan membutuhkan strategi CSR yang tepat untuk menjalankan usahanya.
 
Pada 2008, dalam artikel yang dipublikasikan pada Journal of Corporate Social Responsibility and Environmental Management, Alexander Dahlsrud menganalisis 37 definisi CSR oleh berbagai macam kalangan (akademisi, pemerintah, dan LSM) di seluruh dunia. Ia menemukan adanya kekongruenan di antara definisi-definisi tersebut. Dengan metode content analysis, ia berhasil mengidentifikasi lima dimensi dari definisi CSR, yaitu kesukarelaan (voluntariness), stakeholder, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kesukarelaan merupakan bukti bahwa CSR bukanlah suatu aktivitas yang bersifat wajib.
 
Salah kaprah?

Apabila kita merujuk pada definisi Harvard dan temuan Dahlsrud di atas, tidak ada kewajiban dan batasan terhadap siapa yang harus melaksanakan CSR. Artinya, CSR dapat dilakukan oleh perusahaan dengan bidang usaha apa pun. Hal ini berbeda dengan bunyi Pasal 74 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 2007 yang mengatakan bahwa hanya perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam yang wajib melaksanakan CSR. Dengan pemahaman seperti ini, seakan-akan hanya perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam yang mampu melakukan kegiatan negatif dan berpotensi untuk tidak bertanggung jawab secara sosial. Bagaimana dengan perusahaan sepatu yang mengupah karyawannya di bawah UMR, perusahaan manufaktur yang membuang limbahnya ke sungai, dan tentu saja, bagaimana dengan perusahaan rokok yang produknya terbukti berkontribusi positif terhadap meningkatnya kasus kanker? Apakah mereka tidak wajib menjalankan CSR? 

Dalam setiap pelaporan, audit merupakan komponen terpenting. Sebelum dipublikasikan, laporan CSR harus diaudit dan diverifikasi. Tanpa audit, laporan tersebut hanyalah klaim sepihak dari pihak perusahaan. Itu sama halnya seperti kita becermin dan memuji kecantikan diri sendiri tanpa konfirmasi pendapat dari orang lain. Harus ada lembaga atau pihak ketiga yang kredibel untuk melakukan audit dan menilai akuntabilitas CSR.

Pelaporan kegiatan CSR yang diatur dalam Pasal 6 PP No. 47 Tahun 2012 menyatakan bahwa pelaksanaan CSR dimuat dalam laporan tahunan perusahaan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Tentu saja, RUPS adalah rapat umum yang dihadiri oleh pihak-pihak yang memiliki saham dalam perusahaan sehingga tidak merefleksikan kepentingan stakeholders. Dengan demikian, lantas bagaimana pemerintah dapat menilai apabila terjadi pelanggaran? Karena itu, sebelum dipublikasikan, laporan CSR harus diaudit dan diverifikasi. PP ini luput mencantumkan audit dalam pelaporan CSR.
 
Pasal 5 huruf b UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal mewajibkan setiap penanam modal melaksanakan CSR. Menurut Pasal 5 angka 1 PP No. 47 Tahun 2012, CSR diperhitungkan sebagai biaya. Tampaknya, ada ketidaksesuaian antara kedua butir tersebut. Dalam bisnis, biaya diperhitungkan dalam satu periode tertentu sehingga sifatnya jangka pendek. Sedangkan aktivitas penanaman modal, seperti juga CSR, sifatnya jangka panjang. Undang-undang ini menurunkan daya saing Indonesia di mata penanam modal asing. Belum juga usaha dijalankan dan keuntungan didapat, tetapi sudah ada beban biaya wajib tambahan. Alih-alih meningkatkan aktivitas CSR, aturan ini malah berpotensi membuat iklim investasi menjadi tidak menarik.

Regulasi non-CSR

Adopsi CSR oleh dunia usaha di Indonesia perlu didukung dengan regulasi non-CSR yang lebih baik yang meliputi unsur serta prinsip pelaksanaan CSR yang sebenarnya. Undang-undang yang mewajibkan CSR tidak diperlukan apabila peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan dunia usaha terinci dengan jelas. Undang-undang mengenai dampak lingkungan, ketenagakerjaan, kesetaraan gender dalam pekerjaan, pengupahan, persaingan usaha dan perlindungan konsumen, misalnya, perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya. 

Dengan merinci regulasi yang berkaitan dengan dunia usaha, CSR dapat dilakukan tanpa paksaan sehingga dapat tercapai dua hal sekaligus: (1) terciptanya lingkungan bisnis yang sehat dengan aturan yang jelas, dan (2) terciptanya peluang bagi perusahaan untuk menjalankan CSR tanpa paksaan.
Setelah paparan di atas, tentunya kita dapat menyimpulkan bahwa CSR bukan sekadar aktivitas pemoles kegiatan yang membawa dampak negatif secara sosial. Regulasi yang mengatur CSR di Indonesia tidak hanya diskriminatif, tapi juga rancu dan sarat dengan kepentingan penguasa. Di seluruh dunia, hanya Indonesia satu-satunya negara yang mewajibkan CSR melalui undang-undang. Ironisnya, secara substansi, regulasi tersebut berbeda dengan definisi dan pemahaman yang berlaku umum di dunia. Kalau sudah seperti ini, siapa yang salah paham? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar