Jumat, 17 Mei 2013

Usai SBY Ajak Stop Mengeluh


Usai SBY Ajak Stop Mengeluh
Ario Djatmiko  Ketua Bidang Penataan Praktik Global Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia atau IDI
JAWA POS, 16 Mei 2013

"DI mata Tuhan, kita semua sama," begitu pesan Pak Saidun, guru ngaji di kampung. Pesan itu amat membekas. Karena itu, dalam forum apa pun saya selalu menghindari penggunaan kata buruh. Sebutan buruh jelas membawa konotasi manusia itu tidak sama meskipun buruh, pekerja, tenaga kerja, atau karyawan pada dasarnya sama. Yaitu, golongan manusia yang menggunakan kemampuannya untuk mendapat imbalan dari sang majikan. 

Apa yang membuat mereka berbeda? Buruh atau blue collar worker sebutan untuk tenaga kasar; menggunakan otot untuk mencari nafkah. Adapun karyawan, white collar worker atau kelas menengah adalah pekerja otak. Golongan pekerja terampil, berkemampuan khusus dan terdidik. Apa pun sebutannya, dua hal yang membuat mereka sama: penerima upah dan bisa di-PHK oleh sang majikan. 

Pada 57 tahun lalu, 1956, dengan bangga pemerintah Amerika mengumumkan bahwa jumlah white collar workers di AS telah melampaui blue collar workers. Artinya, jumlah pekerja otak telah melampaui pekerja otot. Mengapa bangga? Pertama, ini indikator paling bermakna dalam mengukur kemajuan suatu bangsa. Pemerintah bertanggung jawab mendidik rakyatnya agar siap menghadapi tantangan zaman. Kedua, momentum itu tercatat sebagai titik awal meningkatnya kesejahteraan pekerja di AS. Pendapatan pekerja otak memang jauh di atas upah tenaga kasar. Ketiga, pekerja otak adalah ujung tombak setiap negara dalam kompetisi dunia. Pekerja otaklah yang menjadi penentu perubahan produk manusia kini dan masa datang. 

Arah pembangunan manusia setiap negara sudah jelas: meningkatkan kualitas-kuantitas pekerja otak dan mengurangi jumlah pekerja otot. Negara dinilai gagal bila jumlah pekerja kasarnya terus meningkat dan pekerja otaknya tidak layak pakai atau kalah bersaing dengan tenaga otak negara lain. 

Ribuan tahun lalu Plato mengingatkan, tugas utama negara adalah mendidik rakyatnya. Benar, "gagal negara" tak lain bersumber dari kegagalan pemerintah dalam memproduksi manusia terdidik dan berkualitas global.

Dalam perjalanannya ke Jepang, Mei 1992, Thomas Friedman terkejut melihat pabrik mobil Lexus. Penulis terkemuka itu menyaksikan pabrik yang memproduksi 300 mobil sedan mewah per hari itu hanya dikerjakan oleh 66 pekerja dan 310 robot. Si pekerja hanya melakukan quality control, selebihnya dikerjakan robot. Lexus berarti kualitas! Artinya, quality control adalah bagian paling vital! Harus dikerjakan oleh seorang yang memiliki keahlian tertentu dan dengan kepekaan sangat tinggi. 

Kisah itu menjelaskan: kian tidak ada tempat lagi untuk pekerja otot dan cut throat competition era telah hadir di ruang pekerja otak. Ilmu pengetahuan berkembang begitu cepat. Semua berubah dengan kecepatan tak terbayangkan. Produk, cara produksi, promosi, cara transaksi pun berubah dan terus akan berubah. Tantangan semua negara: terus-menerus memproduksi manusia yang match atau mendahului kebutuhan zaman. 

Pada 2015, zaman baru hadir. Secara ekonomi, bangsa Indonesia berganti identitas menjadi komunitas ASEAN. Sebanyak 240 juta penduduk Indonesia menyatu dengan sepuluh negara menjadi 565 juta warga ASEAN. Tanpa batas, single market and single production based. Produk domestik bruto (PDB) Indonesia pun akan berganti menjadi PDB ASEAN. Artinya, demi produktivitas semua hambatan harus dibasmi. Tidak ada lagi hak khusus bagi pekerja bangsa ini untuk bekerja di negerinya sendiri. Dan, persaingan terhebat terjadi di level pekerja otak. Sejak lama mereka (negeri jiran) tak memiliki tenaga kasar. Sumber daya alam Indonesia (milik bangsa Indonesia) bisa dieksplorasi habis demi kepentingan ASEAN.

"Berhentilah mengatakan tidak siap, berhentilah mengeluh. Mari kita lakukan sesuatu bersama agar Indonesia benar-benar siap," kata SBY sepulang dari KTT Ke-22 ASEAN di Brunei bulan lalu. SBY berinisiatif membentuk komite nasional yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, serikat buruh, dan pakar yang relevan mempersiapkan diri menghadapi era baru. Sungguh niat baik yang harus dihargai. Sayang, momentum banyak hilang! Waktu tinggal dua tahun, negara lain telah jauh di depan, kita baru bicara inisiatif.

Silakan buka google, ketik: Malaysian Agriculture Research and Development Institute (Mardi). Lihat, 40 tahun lalu Malaysia telah membangun agroindustri dengan rapi. Mulai riset bibit unggul, penyiapan lahan, bimbingan tenaga ahli, akses keuangan sampai kemasan dan pengiriman. Tidak heran Malaysia kini merajai pasar makanan kemasan. Siap atau tidak siap adalah tentang fakta, data, dan perhitungan. 

Di laporan Asia University Rankings 2013, Top 100, tidak satu pun perguruan tinggi negeri ini tercantum di daftar. Mampukah white collar worker kita (lokal) bersaing dengan mereka, para pekerja otak lulusan universitas kelas dunia? Membangun pendidikan bukan urusan 1-2 tahun, membutuhkan waktu lama. Kita tak punya 40 tahun lagi, hanya tersisa dua tahun untuk berbenah. Sementara masalah besar terus mendera negeri ini.

Kita harus menerima fakta, peta tenaga kerja ASEAN menunjukkan: Indonesia (sangat) dikenal sebagai eksporter tenaga kasar terbesar. Tampaknya peringatan Bung Karno "De natie van de koelies en de koelie van de naties" (bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa) kian mendekati kenyataan. Mari kita tunggu inisiatif SBY. Kita tahu, pemimpin yang baik tidak berhenti sampai pada inisiatif saja, tapi juga bertanggung jawab merealisasikannya. Semoga SBY paham. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar