|
SINAR
HARAPAN, 15 Mei 2013
Hampir
luput dari pantauan media dan diskusi publik, mulai 1-31 Mei 2013, dunia
pertanian Indonesia kembali disensus Badan Pusat Statistik (BPS).
Tujuan
sensus pertanian sepuluh tahunan itu antara lain untuk mendapatkan data dan
informasi tentang berbagai aspek pertanian yang akan digunakan sebagai basis
data dan informasi dasar pembangunan sektor pertanian hingga sepuluh tahun yang
akan datang.
Rakyat
Indonesia yang berdasarkan data Bappenas bermata pencaharian sebagai “petani”
tentunya dapat memanfaatkan agenda sensus pertanian ini sebagai media
“koreksi”, revisi, reformasi, bahkan “revolusi” dunia pertanian Indonesia ke
depan.
Oleh
karena itu, sensus pertanian semestinya tidak hanya sekedar “proyek” rutin BPS,
tetapi benar-benar ditindaklanjuti dalam aksi nyata berupa perbaikan,
perubahan, dan perombakan model-model pembangunan pertanian yang diakui atau
tidak, selama ini justru jalan di tempat bahkan mangkrak.
Kita
bisa belajar dari sensus BPS sepuluh tahun lalu. Sosialisasi BPS yang masif di
layar kaca menghabiskan dana tak kurang dari Rp 10 miliar, ternyata hanya jadi
“macan kertas”. Indonesia yang memiliki lahan pertanian produktif 98 juta hektare,
yang menurut ASEAN Watch sebagai negara dengan luas bentangan lahan pertanian
terluas di Asia, justru makin tergantung pada produk pertanian asing, dengan
nilai impor pertanian rata-rata meningkat sekitar 35 persen per tahun.
Ketidakjelasan
arah dan target agenda-agenda kebijakan dan pembangunan pertanian mengakibatkan
tak hanya sumber daya pertanian disfungsi, tetapi juga berhasil “memiskinkan”
petani Indonesia yang notabene kini baru mencapai sekitar 7,8 juta.
Bandingkan
dengan negara tetangga yang baru bangkit membangun dunia pertanian 10 tahun di
belakang Indonesia seperti Thailand, Vietnam, bahkan Malaysia yang rata-rata
justru terus meningkatkan kuantitas dan kualitas petani dan produk pertanianya.
Atas
dasar fakta tersebut, target sensus pertanian tahun 2013 semestinya jauh lebih
realistis, akurat, dan berkelanjutan. Bukan kelanjutan atas agenda sensus itu,
tetapi keberlanjutan aksi nyata pascadata dan informasi dari sensus pertanian
terkumpul di BPS. Apa keberlanjutan nyata pascasensus itu? Bagaimana
mengeksekusi hasil analsisi sensus pertanian di level regulator (pemerintah),
dunia usaha, dan petani?
Investasi
Pertanian
Mencermati
potensi krisis pangan dan produk pertanian Indonesia yang sudah akut ini,
pemerintah sebagai regulator dan menguasai sumber daya (keuangan, teknologi,
dan kebijakan) memang sudah saatnya mengubah paradigma pembangunan
pertaniannya. Salah satu paradigma global yang telah banyak dikembangkan di
negara maju seperti Jepang adalah implementasi pembangunan sektor pertanian berbasis
investasi.
Sektor
pertanian di negeri industri di Jepang sejak 1978 telah berkembang pesat
sehingga Jepang menjadi satu-satunya negara industri yang sukses
mengindustrialisasi sektor pertanian karena pemerintah Jepang menerapkan visi
global investasi pertanian. Sejak era PM Takeo Fukuda (1976-1978) Jepang telah
mengubah paradiga pembangunan pertanian dengan misi investasi pertanian.
Sejak
saat itu, semua infrastruktur pertanian dibangun secara masif-berkelanjutan,
termasuk sukses membangun waduk-waduk dan bendungan sumber pengairan-irigasi
sawah-sawah mencapai 2.100 bendungan dalam dua tahun.
Pembangunan
jalan dan jembatan baru di desa dan pinggiran kawasan kehutanan, perikanan,
peternakan, dan produksi hortikultura digenjot luar bisa sehingga dalam waktu
dua tahun, terhubung sepanjang 9.218 kilometer dengan menggerakkan kalangan
swasta untuk berpartisipasi dalam investasi pertanian.
PM
Takeo juga berhasil membuka lahan baru petanian hingga mencapai 12.000 hektare
setahun dengan mulai melarang lahan produksi pertanian sebagai kawasan industri
manufaktur. Langkah demikian ternyata sukses membuka “gerbang baru” dunia
pertanian Jepang dan berhasil menciptakan jutaan peluang kerja dengan
mengalihkan 4,3 juta petani Jepang yang semula menjadi “buruh tani”, atau
“pekerja pabrik” di kota-kota, menjadi 9,2 juta petani produktif.
Pemerintah
Jepang menjamin semua kebutuhan pertanian dan petani tercukupi, mulai
infrastruktur pertanian yang dibangun masif, kebijakan pembangunan mesin-mesin
pertanian, hingga peran besar para teknokrat dan ilmuwan pertanian dari
berbagai pergurun tinggi.
Jaminan
kepastian investasi pertanian itu telah mengubah struktur industri Jepang yang
sebelumnya melulu sebagai eksportir teknologi-permesinan murni, kepada
kombinasi industri-investasi pertanian hingga saat ini,
(Yamadashi Hanna dalam
Global Husbandry Investment, 2010).
Bandingkan
dengan nasib pertanian dan petani di Indonesia yang mengklaim sebagai negara
agraris. Di samping jumlah lahan terus menyusut, jumlah petani dan sumbangan
sektor petanian pun kini konon terus melorot.
Saat
ini sektor pertanian hanya menyumbang 14,7 persen dari produk domestik bruto
(PDB), melorot pada urutan kedua setelah industri pengolahan 24,3 persen. Pada
Februari 2012 BPS mencatat 36,5 persen, sekitar 41,2 juta orang dari 112,8 juta
penduduk bekerja menggantungkan hidup dari sektor pertanian pasif (Soebandrio,
2013).
Jumlah
rumah tangga petani (RTP) di Indonesia menunjukkan angka sangat besar
kemundurannnya. Data Sensus Pertanian 2003 menunjukkan jumlah RTP 25,4 juta.
Jika tiap rumah tangga petani diasumsikan terdiri atas empat jiwa, dalam
entitas sosial ini terdapat tidak kurang dari 101 juta jiwa yang kehidupan
secara struktural bergantung pada sektor pertanian. Sayang, apa yang mereka
makan kini harus bergantung pada subsidi dan produk asing.
Lebih
parah, sudah gagal membangun industri non-pertanian, industri-investasi
pertanian nyaris nihil. Sepanjang sejarah pertanian di negeri ini, pembangunan
sektor pertanian cenderung bias perkotaan. Alih fungsi lahan pertanian mencapai
28 persen per tahun hanya untuk membela kepentingan konsumen perkotaan dan
industri.
Secara
kasat mata petani selalu terbentur pada dua kekuatan eskploitasi ekonomi. Pada
pasar faktor produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan, dan sarana produksi
lain, mereka selalu dihadapkan pada kekuatan pasar monopolis. Giliran menjual
hasil panen, berhadapan dengan kekokohan tembok pasar monopsonis.
Tragisnya,
pemerintah sering hanya mengambil jalan pintas dengan impor dan impor secara
membabi buta. Potensi domestik yang amat besar dibiarkan hanya sebagai konsumen
pasif-submisif karena ketidakberdayaannya. Oleh karena itu hampir semua pihak
punya kepentingan besar terhadap kesuksesan pelaksanaan ST2013.
Sekali
lagi, bukan kesuksesan sekadar proyek sesuai perencanaan, melainkan BPS harus
dapat menjadi motor dan provokator bagi semua pihak, khususnya pemerintah dan
dunia usaha/investor Indonesia untuk segera dapat, mau dan mampu
menindaklanjuti hasil sensus menjadi aksi nyata pembangunan investasi pertanian
dalam arti luas.
Kerja
akbar dari bidang statistik ini menjadi momentum pembenahan database dan tindak
lanjut pembangunan sektor pertanian di negeri ini.
Tugas
pemerintah dan dunia usaha adalah menggerakkan seluruh sumber daya yang telah
tersedia dengan target dan tujuan jelas dan terukur, bukan sekedar seperti
selama ini terjadi. Sensus selesai, proyek dianggap sukses. Jadi, tanpa tindak
lanjut dalam paradigma terintegrasi investasi pertanian, sensus pertanian 2013
akan bernasib sama, teronggok dimakan kecoa.
Kita
dan rakyat petani Indonesia berkewajiban berpartisipasi secara jujur dan serius
sekaligus menunggu tindak lanjut sensus tersebut. Sebagaimana tema ST2013,
semua itu ditujukan agar masa depan petani menjadi lebih baik, bukan
semata-mata komoditas politik dan teman sementara bagi pencapaian tujuan
politik jangka pendek para elite seperti terjadi selama ini, melainkan
mewujudkan kemakmuran nyata bagi semua! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar