Kamis, 16 Mei 2013

Saatnya Menindaklanjuti Sensus Pertanian


Saatnya Menindaklanjuti Sensus Pertanian
Tasroh PNS di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Pemkab Banyumas, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
SINAR HARAPAN, 15 Mei 2013

Hampir luput dari pantauan media dan diskusi publik, mulai 1-31 Mei 2013, dunia pertanian Indonesia kembali disensus Badan Pusat Statistik (BPS).

Tujuan sensus pertanian sepuluh tahunan itu antara lain untuk mendapatkan data dan informasi tentang berbagai aspek pertanian yang akan digunakan sebagai basis data dan informasi dasar pembangunan sektor pertanian hingga sepuluh tahun yang akan datang.

Rakyat Indonesia yang berdasarkan data Bappenas bermata pencaharian sebagai “petani” tentunya dapat memanfaatkan agenda sensus pertanian ini sebagai media “koreksi”, revisi, reformasi, bahkan “revolusi” dunia pertanian Indonesia ke depan.

Oleh karena itu, sensus pertanian semestinya tidak hanya sekedar “proyek” rutin BPS, tetapi benar-benar ditindaklanjuti dalam aksi nyata berupa perbaikan, perubahan, dan perombakan model-model pembangunan pertanian yang diakui atau tidak, selama ini justru jalan di tempat bahkan mangkrak.

Kita bisa belajar dari sensus BPS sepuluh tahun lalu. Sosialisasi BPS yang masif di layar kaca menghabiskan dana tak kurang dari Rp 10 miliar, ternyata hanya jadi “macan kertas”. Indonesia yang memiliki lahan pertanian produktif 98 juta hektare, yang menurut ASEAN Watch sebagai negara dengan luas bentangan lahan pertanian terluas di Asia, justru makin tergantung pada produk pertanian asing, dengan nilai impor pertanian rata-rata meningkat sekitar 35 persen per tahun.

Ketidakjelasan arah dan target agenda-agenda kebijakan dan pembangunan pertanian mengakibatkan tak hanya sumber daya pertanian disfungsi, tetapi juga berhasil “memiskinkan” petani Indonesia yang notabene kini baru mencapai sekitar 7,8 juta.

Bandingkan dengan negara tetangga yang baru bangkit membangun dunia pertanian 10 tahun di belakang Indonesia seperti Thailand, Vietnam, bahkan Malaysia yang rata-rata justru terus meningkatkan kuantitas dan kualitas petani dan produk pertanianya.

Atas dasar fakta tersebut, target sensus pertanian tahun 2013 semestinya jauh lebih realistis, akurat, dan berkelanjutan. Bukan kelanjutan atas agenda sensus itu, tetapi keberlanjutan aksi nyata pascadata dan informasi dari sensus pertanian terkumpul di BPS. Apa keberlanjutan nyata pascasensus itu? Bagaimana mengeksekusi hasil analsisi sensus pertanian di level regulator (pemerintah), dunia usaha, dan petani?

Investasi Pertanian

Mencermati potensi krisis pangan dan produk pertanian Indonesia yang sudah akut ini, pemerintah sebagai regulator dan menguasai sumber daya (keuangan, teknologi, dan kebijakan) memang sudah saatnya mengubah paradigma pembangunan pertaniannya. Salah satu paradigma global yang telah banyak dikembangkan di negara maju seperti Jepang adalah implementasi pembangunan sektor pertanian berbasis investasi.

Sektor pertanian di negeri industri di Jepang sejak 1978 telah berkembang pesat sehingga Jepang menjadi satu-satunya negara industri yang sukses mengindustrialisasi sektor pertanian karena pemerintah Jepang menerapkan visi global investasi pertanian. Sejak era PM Takeo Fukuda (1976-1978) Jepang telah mengubah paradiga pembangunan pertanian dengan misi investasi pertanian.

Sejak saat itu, semua infrastruktur pertanian dibangun secara masif-berkelanjutan, termasuk sukses membangun waduk-waduk dan bendungan sumber pengairan-irigasi sawah-sawah mencapai 2.100 bendungan dalam dua tahun.

Pembangunan jalan dan jembatan baru di desa dan pinggiran kawasan kehutanan, perikanan, peternakan, dan produksi hortikultura digenjot luar bisa sehingga dalam waktu dua tahun, terhubung sepanjang 9.218 kilometer dengan menggerakkan kalangan swasta untuk berpartisipasi dalam investasi pertanian.
PM Takeo juga berhasil membuka lahan baru petanian hingga mencapai 12.000 hektare setahun dengan mulai melarang lahan produksi pertanian sebagai kawasan industri manufaktur. Langkah demikian ternyata sukses membuka “gerbang baru” dunia pertanian Jepang dan berhasil menciptakan jutaan peluang kerja dengan mengalihkan 4,3 juta petani Jepang yang semula menjadi “buruh tani”, atau “pekerja pabrik” di kota-kota, menjadi 9,2 juta petani produktif.

Pemerintah Jepang menjamin semua kebutuhan pertanian dan petani tercukupi, mulai infrastruktur pertanian yang dibangun masif, kebijakan pembangunan mesin-mesin pertanian, hingga peran besar para teknokrat dan ilmuwan pertanian dari berbagai pergurun tinggi.

Jaminan kepastian investasi pertanian itu telah mengubah struktur industri Jepang yang sebelumnya melulu sebagai eksportir teknologi-permesinan murni, kepada kombinasi industri-investasi pertanian hingga saat ini, 
(Yamadashi Hanna dalam Global Husbandry Investment, 2010).

Bandingkan dengan nasib pertanian dan petani di Indonesia yang mengklaim sebagai negara agraris. Di samping jumlah lahan terus menyusut, jumlah petani dan sumbangan sektor petanian pun kini konon terus melorot.

Saat ini sektor pertanian hanya menyumbang 14,7 persen dari produk domestik bruto (PDB), melorot pada urutan kedua setelah industri pengolahan 24,3 persen. Pada Februari 2012 BPS mencatat 36,5 persen, sekitar 41,2 juta orang dari 112,8 juta penduduk bekerja menggantungkan hidup dari sektor pertanian pasif (Soebandrio, 2013).

Jumlah rumah tangga petani (RTP) di Indonesia menunjukkan angka sangat besar kemundurannnya. Data Sensus Pertanian 2003 menunjukkan jumlah RTP 25,4 juta. Jika tiap rumah tangga petani diasumsikan terdiri atas empat jiwa, dalam entitas sosial ini terdapat tidak kurang dari 101 juta jiwa yang kehidupan secara struktural bergantung pada sektor pertanian. Sayang, apa yang mereka makan kini harus bergantung pada subsidi dan produk asing.

Lebih parah, sudah gagal membangun industri non-pertanian, industri-investasi pertanian nyaris nihil. Sepanjang sejarah pertanian di negeri ini, pembangunan sektor pertanian cenderung bias perkotaan. Alih fungsi lahan pertanian mencapai 28 persen per tahun hanya untuk membela kepentingan konsumen perkotaan dan industri.

Secara kasat mata petani selalu terbentur pada dua kekuatan eskploitasi ekonomi. Pada pasar faktor produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan, dan sarana produksi lain, mereka selalu dihadapkan pada kekuatan pasar monopolis. Giliran menjual hasil panen, berhadapan dengan kekokohan tembok pasar monopsonis.

Tragisnya, pemerintah sering hanya mengambil jalan pintas dengan impor dan impor secara membabi buta. Potensi domestik yang amat besar dibiarkan hanya sebagai konsumen pasif-submisif karena ketidakberdayaannya. Oleh karena itu hampir semua pihak punya kepentingan besar terhadap kesuksesan pelaksanaan ST2013.

Sekali lagi, bukan kesuksesan sekadar proyek sesuai perencanaan, melainkan BPS harus dapat menjadi motor dan provokator bagi semua pihak, khususnya pemerintah dan dunia usaha/investor Indonesia untuk segera dapat, mau dan mampu menindaklanjuti hasil sensus menjadi aksi nyata pembangunan investasi pertanian dalam arti luas.

Kerja akbar dari bidang statistik ini menjadi momentum pembenahan database dan tindak lanjut pembangunan sektor pertanian di negeri ini.

Tugas pemerintah dan dunia usaha adalah menggerakkan seluruh sumber daya yang telah tersedia dengan target dan tujuan jelas dan terukur, bukan sekedar seperti selama ini terjadi. Sensus selesai, proyek dianggap sukses. Jadi, tanpa tindak lanjut dalam paradigma terintegrasi investasi pertanian, sensus pertanian 2013 akan bernasib sama, teronggok dimakan kecoa.

Kita dan rakyat petani Indonesia berkewajiban berpartisipasi secara jujur dan serius sekaligus menunggu tindak lanjut sensus tersebut. Sebagaimana tema ST2013, semua itu ditujukan agar masa depan petani menjadi lebih baik, bukan semata-mata komoditas politik dan teman sementara bagi pencapaian tujuan politik jangka pendek para elite seperti terjadi selama ini, melainkan mewujudkan kemakmuran nyata bagi semua!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar