Kamis, 16 Mei 2013

Penyitaan Mobil Mewah Elit PKS : Dapatkah Ditolak?


Penyitaan Mobil Mewah Elit PKS : Dapatkah Ditolak?
M Yusfidli Adhyaksana Penerima Beasiswa ALA/ASA dari AUSAid, Sedang menyelesaikan studi S-3 di Fakultas Hukum, University of Wollongong, Australia
DETIKNEWS, 13 Mei 2013


Jika dilihat perkembangan sekarang, masyarakat Indonesia semakin sering disuguhi drama realitas hukum dalam sistem peradilan pidana, yang seringkali lebih menarik dari sinema elektronik di layar TV. Republik ini adalah negara yang memiliki potensi sumber daya yang luar biasa dan menikmati dampak ekonomi kelas menengah ke atas yang sedang tumbuh pesat, namun digerogoti berbagai permasalahan hukum yang kerap menyita banyak energi. 

Belum lepas dari perdebatan dan polemik eksekusi perkara pidana korupsi, kembali sistem peradilan pidana diuji kredibilitasnya dengan masalah penyitaan mobil mewah milik elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Permasalahan muncul ke ruang publik karena penolakan dari penjaga gedung tempat di mana mobil-mobil tersebut berjajar memamerkan gengsinya, sehingga KPK gagal membawa barang-barang mewah terkait perkara suap kuota impor sapi yang melibatkan elit PKS tersebut.

Artikel ini dimaksudkan untuk memberi pemahaman hukum agar masyarakat lebih bisa memahami realitas penegakan hukum pidana, khususnya mengenai upaya hukum penyitaan yang tentu dapat menimpa siapa saja. Menjadi menarik untuk membahas kedua klaim PKS dan KPK, yang tentu saja bertolak belakang. Bukan untuk mencari siapa yang benar atau siapa yang telah berbohong kepada publik, akan tetapi lebih untuk menjelaskan mekanisme yang bisa dilakukan guna mencegah terulangnya kejadian serupa. 

Pertama, akan dibahas kontruksi hukum apabila KPK yang benar, yaitu surat perintah penyitaan dan semua prosedur formal sudah terpenuhi, tetapi penjaga gedung PKS ‘tidak kooperatif’. Kedua, akan dijelaskan langkah yang bisa diambil apabila ternyata pihak PKS yang benar, dalam hal ini penyidik KPK tidak membawa dokumen sah yang diperlukan, sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh undang-undang.

Sanksi Bagi yang Menolak Penyitaan

Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) secara jelas mengadopsi ketentuan pidana obstruction of justice, yang intinya memberikan ancaman pidana penjara dan atau denda kepada orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Jadi, apabila penyidik KPK sudah melengkapi diri dengan surat perintah penyitaan, maka setiap penolakan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. 

Memang apabila kita kembali kepada KUHAP sebagai payung hukum prosedural, definisi ‘penyidikan’ berbeda dengan pengertian ‘penyitaan’. Namun demikian, perlu dipahami bahwa penyidikan akan meliputi pula upaya penyitaan guna mengumpulkan alat bukti yang sah. Pasal ini jelas mengakomodasi perbuatan yang dengan sengaja mengacaukan penyidikan, termasuk di dalamnya adalah menolak penyitaan, karena secara langsung atau tidak langsung menghambat penyidikan. 

Bukankah penyitaan dilakukan agar penyidikan menjadi lebih solid dan memiliki alat bukti yang kuat untuk digunakan lebih lanjut oleh penuntut umum di sidang pengadilan. Hal ini juga sejalan dengan strategi baru KPK untuk’memiskinkan koruptor’ melalui penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (rejim anti-money laundering) yang memang harus didukung oleh masyarakat.

Mekanisme Melawan Abuse of Power

Selanjutnya, bagaimana apabila KPK yang berbohong dengan menyampaikan kepada publik bahwa penyidik mereka membawa kelengkapan prosedural, namun ternyata tidak demikian faktanya? Jawabnya dikembalikan kepada hukum acara pidana yang berlaku, yaitu PKS tidak berkewajiban mengizinkan para penyidik masuk mengambil obyek yang akan disita apabila salah satu dari kedua syarat ini tidak terpenuhi: membawa surat perintah penyitaan atau mengantongi izin ketua pengadilan negeri setempat. 

Sementara segala keberatan mengenai mobil mewah yang menjadi obyek penyitaan dapat diajukan tersangka kepada pengadilan negeri yang berwenang, dengan dasar Pasal 95 ayat (1) KUHAP dan penjelasannya yang mengatur permintaan ganti rugi karena ‘tindakan lain’ penyidik, dalam hal ini penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Tentu saja terhadap penyidik yang melampaui melakukan abuse of power dapat dimintakan sanksi internal KPK. 

Sebenarnya, salah satu kelemahan KUHAP adalah ketidaktegasan dalam memberikan mekanisme gugatan pihak ketiga (innocent third party) yang memiliki kepemilikan yang sah terhadap obyek penyitaan. Konsekuensinya adalah, diskresi yang sangat besar sekarang ini ada pada penyidik, dan tentu ketua PN terkait yang memberi persetujuan/izin, untuk menentukan apakah penyitaan tepat sasaran atau salah target.

Rasa Keadilan Tanpa Meninggalkan Kepastian Hukum

Dari kedua masalah di atas dapat dilihat bahwa penyidik KPK tidak boleh dicegah, dirintangi dan dihalangi dalam melakukan tugas sesuai kewenangannya. Apalagi Pasal 211 KUHP juga memberian perlindungan hukum pidana kepada pejabat yang melaksanakan tugas dan fungsi sesuai undang-undang. 

Mungkin sudah saatnya KPK memberi pembelajaran kepada masyarakat, dengan mulai memasukkan Pasal 21 UU Tipikor sebagai bagian dari upaya meningkatkandeterrent factors. Kedua, pihak PKS, atau siapapun yang berada dalam situasi serupa, berhak menolak semua upaya penyitaan yang tidak membawa kelengkapan prosedural yang sah. 

Lebih jauh lagi, apabila berkeberatan terhadap obyek penyitaan, tersangka dapat menuntut ganti kerugian, misalnya karena mobil mewahnya tergores dan rusak, dan tentu saja meminta obyek tersebut dikeluarkan dari daftar penyitaan. Kesewenang-wenangan tentu tidak boleh dibiarkan dan dalam konteks ini, dan PKS memiliki ‘kekuatan’ untuk meningkatkan kontrol sosial. Sayangnya KUHAP tidak mengatur mekanisme gugatan oleh innocent third party yang sebenarnya mendapat perlindungan hukum.

Perlu untuk dicermati, polemik dan saling klaim sebagai pihak yang benar untuk membentuk opini masyarakat sekarang sedang menjadi trend dalam penyelesaian perkara pidana, khususnya berkaitan dengan perkara-perkara korupsi yang high profile. Menjadi penting untuk menyerap informasi dan pengetahuan yang benar agar tidak terjebak dalam penyesatan, baik yang disengaja maupun yang terjadi karena minimnya pengetahuan hukum pidana. 

Para pihak terkait yang sedang menghadapi masalah, hendaknya menyelesaikan persoalan dengan menempuh koridor hukum, guna menghindari konflik psikologis yang membingungkan masyarakat. Semoga perbedaan pendapat dan hambatan penyitaan mobil mewah ini tidak lalu dijadikan alasan bagi para tersangka perkara korupsi atau pihak ketiga untuk terus melakukan perlawanan terhadap para penyidik yang sudah melakukan kewenangannya secara sah dan dilindungi hukum. 

Sebaliknya, para penyidik juga diharapkan tetap cermat dalam menjalankan ketentuan hukum acara yang berlaku, guna menghindari permasalahan dan mencegahabuse of power dan arogansi penegak hukum. Pada akhirnya, masyarakat berhak untuk mendapat kedua prinsip penegakan hukum pidana sekaligus: kepastian hukum dan keadilan; tanpa harus memilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar